Jakarta (ANTARA) - Gratifikasi dianggap pemberian suap sebagaimana diatur dalam pasal 12b UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidananya, yaitu empat sampai 20 tahun penjara dan denda dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Menurut penjelasan pasal 12B UU Nomor 20/2001, gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain.
Gratifikasi itu baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Namun, ancaman pidana itu tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sebagaimana ketentuan pasal 12c UU Nomor 20/2001 itu. KPK mengimbau kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk menolak gratifikasi yang dilarang pada kesempatan pertama.
Jika terpaksa menerima, laporan dapat disampaikan ke KPK melalui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) pada instansi masing-masing atau melalui aplikasi "Gratifikasi Online" atau GOL pada gawai pribadi dengan mengunduh aplikasi itu.
UPG adalah motor penggerak Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) yang memiliki peran penting dalam melakukan diseminasi aturan tentang gratifikasi dan pengelolaan laporan gratifikasi.
Sedangkan PPG adalah program pencegahan yang KPK kembangkan untuk mengendalikan penerimaan gratifikasi secara transparan dan akuntabel melalui serangkaian kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif lembaga pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat untuk membentuk lingkungan pengendalian gratifikasi.
Tujuannya, PPG akan mendorong terbentuknya lingkungan berintegritas yang diwujudkan dengan kesadaran pegawai untuk menolak setiap pemberian gratifikasi atau tertib melaporkan penerimaan gratifikasi jika terpaksa menerimanya.
Dalam momen hari raya keagamaan dan perayaan hari besar lainnya, KPK pun selalu mengimbau penyelenggara negara menolak penerimaan gratifikasi dalam bentuk apapun.
Teladan
Terkait kepatuhan pelaporan gratifikasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah memberikan keteladanan yang baik.
Sebelumnya, KPK telah menyerahkan 12 barang gratifikasi senilai Rp8,7 miliar kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan bertempat di Kantor Sekretariat Presiden, Jakarta, Selasa (9/2).
Barang-barang itu diterima Jokowi dari Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dalam kunjungan kerja dia ke Arab Saudi pada 15 Mei 2019.
KPK memutuskan 12 barang itu ditetapkan menjadi milik negara melalui Surat Keputusan Nomor 1527/2020 tanggal 27 Oktober 2020.
Adapun 12 barang itu, yaitu satu lukisan bergambar Ka'bah, satu kalung dengan taksiran emas 18 karat, satu gelang dengan taksiran emas 18 karat, satu pasang anting dengan taksiran emas 18 karat, satu cincin dengan taksiran emas 18 karat, satu jam tangan Bovet AIEB001, satu cincin bermata safir biru 12,46 karat.
Selanjutnya, cufflink bermata safir biru 6,63 karat dan 8,01 karat, satu pulpen berhias berlian 17,57 karat, tasbih berbahan batu mulia (berlian dan safir biru), dua minyak wangi, dan satu set Al-Quran.
Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan, Ipi Maryati Kuding, menyatakan dengan alasan keamanan, barang-barang tersebut tidak dibawa ke KPK tetapi tetap di Kantor Sekretariat Presiden selama KPK dan tim penilai bekerja atas barang-barang tersebut yang kemudian dilakukan klarifikasi, analisa, dan proses serah terima dari KPK kepada DJKN.
Sekretariat Presiden pun merencanakan untuk menyimpan barang-barang gratifikasi yang pernah dilaporkan Jokowi di Museum Gratifikasi yang akan dibangun sebagai sebuah pembelajaran. KPK pun mengapresiasi rencana itu
Untuk mewujudkan rencana penyimpanan barang-barang tersebut di museum, maka Sekretariat Negara sebagai satuan kerja (satker) akan mengajukan Penetapan Status Penggunaan (PSP) kepada Kementerian Keuangan atas 12 barang itu.
"PSP juga akan diajukan atas barang-barang yang pernah dilaporkan ke KPK pada 2017 oleh Presiden Jokowi dan beberapa pejabat lainnya dari Raja Salman yang nilainya mencapai Rp108 miliar," kata Kuding.
Pada 2017, KPK bahkan pernah memberikan penghargaan kepada Jokowi sebagai pelapor gratifikasi dengan nilai terbesar. Adapun berbagai barang yang dilaporkan saat itu berupa jam tangan, perhiasan, cincin, pulpen, hingga lukisan.
Capaian 2020
Dalam "Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi 2020", KPK telah menerima 1.748 laporan gratifikasi dengan total nominal Rp24,4 miliar sepanjang 2020.
Adapun sebanyak 621 laporan gratifikasi di antaranya dinyatakan sebagai milik negara dan sebesar Rp1,2 miliar telah disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Laporan itu berasal dari 281 pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, 60 BUMN/BUMD, 59 lembaga negara/pemerintah, dan 32 kementerian.
Dari sisi teknis pelaporan, KPK menerima laporan yang mayoritas dilakukan secara daring dengan jumlah 1.379 laporan yang berasal dari aplikasi GOL.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan, banyaknya laporan secara daring menunjukkan fasilitas pelaporan KPK telah mendukung kemudahan sehingga sesungguhnya tidak ada alasan melapor gratifikasi itu sulit.
Pada November 2020, KPK juga menyelenggarakan lomba UPG terbaik pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan BUMN/D dengan menyelenggarakan ajang "Penghargaan UPG Terbaik 2020".
Penghargaan itu diberikan sebagai apresiasi kepada UPG yang telah berkontribusi dalam penerapan PPG di instansi sekaligus menjadi motivasi serta contoh bagi UPG lainnya.
Penghargaan dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kementerian/lembaga, pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dan BUMN/BUMD dengan komponen penilaian meliputi aspek administratif, kualitas implementasi PPG, dan hasil.
Sebagai contoh, KPK mengukur kualitas program pengendalian gratifikasi di instansi antara lain terkait kualitas laporan gratifikasi UPG, kepercayaan pegawai terhadap UPG, dan data pengaduan masyarakat.
Dalam "Penghargaan UPG Terbaik 2020" untuk kategori kementerian/lembaga, peringkat 1 diraih Otoritas Jasa Keuangan (OJK), peringkat 2 Kementerian Keuangan, dan peringkat 3 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Selanjutnya kategori BUMN/BUMD, peringkat 1 PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, peringkat 2 PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan peringkat 3 PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
Terakhir kategori pemerintah daerah, peringkat 1 Pemerintah Kabupaten Boyolali, peringkat 2 Pemerintah Kabupaten Banyumas, dan peringkat 3 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Selain penghargaan kepada instansi, KPK pada 2020 untuk pertama kalinya juga memberikan penghargaan atas pelaporan gratifikasi yang dilakukan oleh individu.
KPK pun memberikan penghargaan kepada tiga orang dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan BUMN karena konsisten melapor penerimaan gratifikasi.
Tiga orang itu adalah Wahyu Listyantara selaku Junior Manager Pengamanan Pengawalan Kereta di PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), Budi Ali Hidayat, selaku penghulu madya dan kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimahi Tengah, Cimahi, dan Apriansyah, sebagai kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Mukomuko, Bengkulu.
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, mengharapkan penghargaan yang diberikan untuk tiga orang itu dapat menjadi contoh teladan bagi pegawai lainnya di institusinya masing-masing.
Ia juga mengharapkan penghargaan tersebut nantinya tidak membuat tiga pegawai itu malah dikucilkan bahkan disingkirkan di institusinya karena telah melapor gratifikasi.
Pertama, Listyantara merupakan anggota Brimob Kepolisian Indonesia sejak 2008 hingga memutuskan untuk pensiun dini pada 2018 dan saat ini menjadi pegawai tetap PT KCI.
Pada suatu kesempatan, dia dengan pihak pemberi selaku rekanan/vendor PT KCI makan siang bersama dalam rangka menjalin silaturahmi.
Ia dan pihak pemberi sudah mengenal pelapor sejak lama sebelum di PT KCI dan dalam undangan makan siang tersebut, dia bercerita tentang alasannya pensiun dini dari Brimob, karirnya di PT KCI, keluarganya hingga kondisinya tinggal sendirian di kos karena sudah berpisah dengan istrinya.
Pihak pemberi kemudian bersimpati dan memberikan amplop berisi satu lembar cek uang dari bank sebesar Rp100.000.000 dan menyampaikan uang itu sebagai bentuk bantuan kepada dia agar dapat membeli rumah untuk tempat tinggal tanpa ada permintaan kepada dia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu kepada pihak pemberi.
Ia sudah menolak pada kesempatan pertama, namun pihak pemberi tetap memaksa. Merasa tidak enak hati karena sudah mengenal lama, akhirnya dia terpaksa menerima.
Setelah menerima cek itu, dia berkonsultasi kepada temannya, apa tindakan yang harus ia lakukan setelah menerima cek itu, dan disarankan temannya untuk melaporkan itu ke KPK. Listyanto pun datang ke bank untuk memastikan apakah benar cek itu dapat dicairkan.
Setelah mengetahui bahwa cek tersebut bisa dicairkan, dia kemudian melaporkan penerimaan tersebut dan menitipkan uang tersebut kepada UPG PT KCI serta menyampaikan laporan itu sebagai laporan gratifikasi.
Kedua, Hidayat pada 2019 selaku kepala KUA Cimahi Tengah sering bertugas menjadi penghulu akad nikah.
Dalam setiap tugas, dia kerap diberikan uang dari masyarakat selaku penerima layanan sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikannya. Mengetahui bahwa ia sudah menerima gaji dari negara dan penerimaan itu sesuatu yang salah sehingga ia melaporkan gratifikasi itu ke KPK.
Pada 2013, KPK mengumumkan, pemberian apapun kepada petugas pencatat nikah yang menikahkan pasangan mempelai di luar gaji adalah gratifikasi.
Ia pun melaporkan gratifikasi itu kepada KPK melalui aplikasi GOL dalam waktu 30 hari kerja dari tanggal penerimaan. Total yang telah dilaporkannya sebanyak 88 laporan terdiri 64 laporan penerimaan dan 24 laporan penolakan dengan total nilai gratifikasi sebesar Rp16.190.000 dan yang ditetapkan menjadi milik negara sebesar Rp13.540.000 sehingga Budi menjadi pelapor dengan frekuensi melaporkan gratifikasi terbanyak sepanjang 2019-2020.
Terakhir, Apriansyah pada 2018 saat menjabat sebagai kepala Dinas PUPR Kabupaten Mukomuko bekerja sama dengan pihak pemberi selaku rekanan terkait proyek pengerjaan pengaspalan jalan di daerah Mukomuko, Bengkulu.
Pihak rekanan berkali-kali menyampaikan secara implisit kepada Apriansyah bahwa setelah pengerjaan jalan di lingkungan proyek selesai, pihak pemberi akan mengaspal jalan di halaman depan rumah Apriansyah, namun ia tidak mengetahui pengaspalan jalan akan dilaksanakan.
Pada 7-9 Desember 2019, Apriansyah melakukan perjalanan dinas ke Medan. Sekembalinya dari dinas, ia mendapati jalan akses pribadi ke rumahnya sudah diaspal pihak rekanan secara sepihak.
Atas penerimaan pengaspalan jalanan pribadi itu, ia kemudian berkoordinasi kepada UPG Kabupaten Mukomuko dan melaporkannya ke Direktorat Gratifikasi KPK sebagai laporan gratifikasi dan bersedia mengganti biaya aspal jalan tersebut sejumlah biaya pengaspalan jalan yang telah diterima sebesar Rp17.270.000 untuk menjadi milik negara.
Rencana 2021
Tahun ini, KPK mendorong instansi untuk segera menyampaikan rencana kerja UPG. Rencana kerja ini merupakan daftar kegiatan pengendalian gratifikasi yang akan dilakukan oleh UPG di instansi masing-masing dan menjadi target kerja UPG.
Rencana kerja UPG itu akan dimonitor KPK per semester dan merupakan salah satu komponen penilaian/evaluasi atas penerapan sistem pengendalian gratifikasi Tahun 2021.
Sebelum mengisi rencana kerja, pengelola UPG harus mengunduh hasil evaluasi penerapan sistem pengendalian gratifikasi Tahun 2020.
Evaluasi tersebut merupakan penilaian KPK atas implementasi PPG oleh UPG di masing-masing instansi dan menjadi dasar untuk melakukan perbaikan di Tahun 2021.
Dari total 804 instansi, per 14 Januari 2021 KPK mencatat sebanyak 332 instansi sudah mengunduh hasil evaluasi pengendalian gratifikasi 2020 dan 20 instansi sudah mengunggah rencana kerja UPG pada 2021.
Tidak ada alasan sulit sebenarnya untuk melaporkan gratifikasi namun memang dibutuhkan kesadaran, tugas KPK di sini untuk selalu mengingatkan agar menumbuhkan budaya antikorupsi.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021