Jakarta (ANTARA) - Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat, Gerakan Reformasi Hukum (Gerah) Indonesia mengingatkan agar Hakim menyelaraskan hukum dan keadilan.

"Hakim dalam memutus perkara hendaknya tidak hanya terpaku kepada aturan normatifnya saja, tapi juga harus berfikir secara holistik, progresif dan komprehensif dengan mengedepankan nilai-nilai sosial, kemanusiaan dan human right dalam mewujudkan keadilan yang sesungguhnya. Tentunya harus berdasar juga pada bukti bukti dan fakta persidangan, alias tidak hanya berdasar kepada keyakinan hakim semata," kata Ketua Umum Gerah T Taufiq Lubis dalam siaran persnya, di Jakarta, Kamis.

Semangat itu, lanjut Taufiq, sesuai dengan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dalam menetapkan putusannya bertanggungjawab kepada Tuhan, kepada negara dan masyarakat pencari keadilan.

Baca juga: Perseteruan MA-KPK terkait pengurangan hukuman buat publik bingung

Menurut dia, wajah penegakan hukum di dalam negeri akan semakin dinamis dengan kompleksitas dan problem matikanya, oleh karenanya aparatur memiliki kewajiban untuk tidak hanya melaksanakan penegakan hukum, tapi juga menghadirkan keadilan, dan Hakim adalah salah satu ujung tombaknya

Hakim adalah wakil tuhan di dunia, karena berdasarkan UU no 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dia memiliki kewenangan untuk mengadili (Menerima, Memeriksa dan Memutus) sebuah perkara.

Kewenangan serupa diamanahkan dalam UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang undang untuk mengadili

"Kekuasaan dan kewenangan Hakim harus dioptimalkan menjadi garda terdepan untuk menghadirkan keadilan sejati dan menjawab kebutuhan berhukum rakyat indonesia, yang saat ini merasa masih banyak keputusan hakim yang belum memenuhi azas keadilan," kata Taufiq.

Baca juga: MA sebut tingkat kepercayaan publik pada lembaga peradilan tinggi

Tak hanya itu, dia menilai penegakan hukum selayaknya juga berorientasi pada pertumbuhan keadilan ekonomi demi bertumbuhnya harapan masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya.

"Pengusaha adalah aset negara. Yang mana negara wajib melindungi dari kegagalan sistim yang mengakibatkan banyak pengusaha tersandung hukum itu sendiri," katanya.

Terlebih saat ini, sedang terjadi trend kriminalisasi terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan kalangan pengusaha swasta dan korporasi yang terkesan dipaksakan, sehingga berpotensi menghambat aliran investasi.

"Dimana peran Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir sistem peradilan di Indonesia akan sangat menentukan. Sehingga ke depannya tidak menjadi momok bagi kalangan dunia usaha untuk berinvestasi di Indonesia, yang berpengaruh thdp pertumbuhan ekonomi nasional, akibat kriminalisasi dari sebuah keputusan bisnis murni yang di-cari-carikan pasal-pasal pidananya khususnya pidana korupsi tanpa melihat nya secara komperhensif," tuturnya.

Baca juga: Presiden Jokowi berharap reformasi peradilan dilakukan secara modern

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021