Pakar pendampingan dan dukungan psikososial kebencanaan itu dalam konferensi pers yang disiarkan dari Graha BNPB Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa dia meneliti kondisi 145 penyintas COVID-19 dan semuanya mengaku melakukan stigmatisasi diri, menyalahkan diri sendiri setelah terinfeksi virus corona.
"Jadi secara kuantitatif dari 145 responden itu mereka 100 persen mengatakan bahwa mereka mengalami self stigmatization (stigmatisasi diri). Jadi mereka mensitgma dirinya sendiri," katanya.
Kondisi tersebut, menurut Endang, mempengaruhi sosialisasi mereka dengan lingkungan sekitar dan produktivitas mereka setelah sembuh dari COVID-19.
"Penurunan produktivitas itu sangat terlihat. Kemudian ada juga disfungsi psikologis," katanya.
Menurut dia, rata-rata penyintas COVID-19 yang mengalami stigmatisasi diri berusia 18 hingga 30 tahun.
"Ini tentunya sangat cukup atau harusnya cukup menjadi perhatian, karena pada masa itu juga banyak dari mereka yang mengalami quarter life crisis (krisis seperempat usia)," kata Endang.
"Jadi secara psikologis tahap perkembangannya juga sedang mengalami krisis, kemudian mereka menjadi penyintas. Nah, ini betul-betul perlu mendapat perhatian dari awal," ia menambahkan.
Endang mengatakan bahwa penanganan masalah psikologis itu perlu dilakukan secara personal dan secara intensif karena kondisi psikologis masing-masing orang berbeda.
Dukungan keluarga dan teman, menurut dia, sangat diperlukan agar penyintas COVID-19 bisa membangkitkan ketahanan diri dalam menghadapi masalah.
Baca juga:
Psikiater: Penyintas COVID-19 bisa alami distorsi psikologis
Ahli: Antibodi penyintas COVID-19 bertahan tiga hingga delapan bulan
Pewarta: Katriana
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021