Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan cara berpikir sempit menyebabkan negara dengan mayoritas penduduk Muslim mengalami ketertinggalan, khususnya di sektor ekonomi, yang dikenal dengan istilah underdeveloped country.
"Hal itu yang menjadi salah satu penyebab mengapa banyak negara berpenduduk Muslim masih tergolong underdeveloped country dan mengalami ketertinggalan dalam bidang ekonomi, pendidikan, iptek, dan bidang lainnya," kata Wapres Ma’ruf dalam Seminar Internasional berjudul Membangun Peradaban Islam Berbasis Masjid secara daring dari Jakarta, Kamis.
Wapres mencontohkan perilaku berpikir sempit yang muncul akhir-akhir ini ialah terkait adanya kelompok yang menganggap pandemi COVID-19 adalah konspirasi elite global, sehingga hal itu menghambat penanganannya. Cara berpikir sempit juga menghambat dan kontraproduktif dalam upaya membangun kembali peradaban Islam.
Baca juga: Wapres: Cara berpikir wasathy kembalikan era keemasan peradaban Islam
"Contoh sederhana cara berpikir sempit adalah tidak percaya bahwa COVID-19 adalah nyata atau percaya pada teori-teori konspirasi, tanpa mencoba untuk memahami fenomena dengan akal sehat dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan," katanya.
Menurut Wapres Ma'ruf, cara berpikir sempit merupakan salah satu penyebab munculnya sifat radikal, egois, dan tidak mau menghargai perbedaan, sehingga jika hal itu terus dibiarkan akan dapat merusak tatanan kehidupan negara yang toleran.
"Cara berpikir sempit juga bisa melahirkan pola pikir yang menyimpang dari arus utama atau bahkan menjadi radikal yang dapat menjustifikasi kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Karena itu, saya tidak ingin umat Islam, ikut dalam arus berpikir sempit, seperti fenomena yang muncul belakangan ini," katanya.
Baca juga: Wapres: Umat Islam di Indonesia jangan ikut arus berpikir sempit
Wapres mengatakan, cara berpikir merupakan kunci utama yang menentukan kemajuan atau kemunduran suatu peradaban. Sehingga, cara berpikir yang harus dikembangkan dan diutamakan oleh umat Islam dalam mengamalkan ajaran agama ialah wasathy atau moderat.
"Bagi saya, cara berpikir yang moderat dan dinamis tersebut berarti bahwa kita tidak bisa hanya memahami secara tekstual pada teks semata serta menolak perkembangan ilmu pengetahuan," katanya.
Dalam menyikapi persoalan di kehidupan sehari-hari, kata dia, umat Islam tidak bisa juga bergantung sepenuhnya pada ilmu pengetahuan dan mengabaikan motivasi agama, karena hal itu akan menimbulkan pola pikir liberal.
Baca juga: Wapres: Pengarusutamaan Islam "wasathiyah" mendesak untuk dilakukan
Oleh karena itu, harus ada batasan dalam menjalankan kehidupan beragama, yakni di tengah-tengah antara tidak berpedoman pada teks semata dan tidak menjadi liberal.
"Dengan demikian, cara berpikir Islami itu tidak tekstual dan tidak liberal, la tektualiyan wala liberaliyan, tetapi moderat, wasathiyan atau tawassuthiyan," ujarnya.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2021