Ini dalam rangka menjaga kualitas
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah hanya akan menggunakan alat tes cepat atau rapid test yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk tes dan pelacakan kontak erat COVID-19 guna memastikan sensitivitas dan spesifisitas dalam menentukan kasus konfirmasi positif.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi dalam konferensi pers daring yang dipantau di Jakarta, Rabu, mengatakan penggunaan rapid test untuk peningkatan tes dan pelacakan COVID-19 di Indonesia hanya menggunakan produk yang direkomendasikan oleh WHO, mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dan Eropa (EMA).
Jika tidak termasuk dalam kriteria tiga hal tersebut, penggunaan alat rapid test masih dimungkinkan asalkan alat tes tersebut memiliki sensitivitas lebih dari 80 persen dan spesifisitas lebih dari 97 persen yang ditetapkan oleh lembaga lain yang dipilih oleh Kemenkes.
"Ini dalam rangka menjaga kualitas. Karena produk rapid test antigen ini sudah dapat secara langsung memastikan konfirmasi positif. Maka kita memastikan produk rapid test antigen baik yang disediakan oleh pemerintah daerah maupun oleh Satgas Penanganan COVID-19 harus memenuhi kriteria sesuai standar," kata Nadia.
Baca juga: Ahli: Rapid test menunjukkan positif belum tentu positif COVID-19
Baca juga: Ahli: Tes cepat tidak bisa jadi tolok ukur COVID-19
Kementerian Kesehatan akan menggunakan alat rapid test antigen di puskesmas untuk mendiagnosis pasien dengan gejala COVID-19 dan untuk melacak kontak erat kasus konfirmasi positif. Secara total Kemenkes telah mendistribusikan dua juta tes cepat antigen di seluruh Indonesia, dan tambahan 1,7 juta rapid test antigen untuk 98 kabupaten-kota dengan status zona merah.
Nadia menyebut pemerintah juga akan meningkatkan jumlah pelacakan kontak erat pada tiap satu kasus konfirmasi positif yang sebelumnya lima sampai 10 orang, menjadi 20 hingga 30 orang kontak erat yang dites COVID-19 melalui tes cepat antigen.
Untuk mengantisipasi hasil rapid test negatif kendati seorang pasien memiliki gejala yang diduga kuat COVID-19, maka akan dilakukan tes RT-PCR apabila daerah tersebut memiliki akses terhadap laboratorium pemeriksaan COVID-19. Namun jika tidak terdapat akses untuk tes PCR, maka akan dilakukan pemeriksaan ulang menggunakan rapid test antigen dalam kurun waktu kurang dari 48 jam.
"Dengan penggunaan rapid test antigen ini hasil dengan cepat kita dapatkan, tes kita lakukan secara masif, dan pada akhirnya mempercepat tracing. Berikutnya kalau tracing bisa kita lakukan seoptimal mungkin, maka kita bisa memutuskan rantai penularan melalui isolasi atau karantina dengan memisahkan kasus positif dari populasi," kata Nadia.
Baca juga: Epidemiologi : masyarakat perlu dijelaskan manfaat vaksinasi COVID-19
Baca juga: Informasi utuh dan komprehensif tantangan vaksinasi COVID-19
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021