pembangunan di kawasan rawan terus terjadiJakarta (ANTARA) - Peneliti Bidang Penduduk dan Lingkungan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gusti Ayu Ketut Surtiari mengatakan perlu adanya keseriusan pengurangan risiko bencana dan mempertimbangkan pengelolaan banjir yang lebih transformatif.
Gusti menuturkan bencana banjir yang terjadi belakangan ini bukanlah sesuatu kejadian ekstrem yang baru. Peristiwa serupa terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Kejadian dan respons yang serupa juga terlihat hampir sama dalam setiap kejadian.
"Ternyata berita bencana yang sama kita dapatkan lagi dari waktu ke waktu dan kemungkinan juga di masa berikutnya. Berbagai pembahasan tentang bencana banjir juga sudah banyak diulas dari tahun ke tahun. Sehingga, sebenarnya tidak ada saran signifikan yang mungkin bisa dianggap baru untuk disampaikan, namun ada satu hal yang perlu kita garisbawahi yaitu perlu adanya keseriusan dalam memahami konsep dan konteks risiko bencana dan kemudian menindaklanjuti dengan serius melalui kebijakan dan implementasi yang konsisten," kata Gusti saat dihubungi ANTARA, Jakarta, Rabu.
Gusti menuturkan secara berulang kota-kota besar dan juga di daerah lainnya mengalami kejadian banjir ekstrem di musim penghujan, seperti kejadian banjir besar di Kota Jakarta pada awal 2020 dan juga saat ini di Semarang yang dilanda banjir yang cukup besar. Sementara sudah banyak inovasi yang dilakukan dalam mengatasi banjir.
Baca juga: Mengatasi bencana banjir dengan strategi mitigasi
Baca juga: Keberpihakan politik dalam mitigasi banjir di tengah pandemi
Menurut Gusti, hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa pada dasarnya semua pihak sudah mengetahui adanya risiko tersebut. Pemerintah juga sudah banyak melakukan respons dengan menerapkan berbagai kebijakan dan program yang terkait dalam mengatasi banjir dan mengupayakan pengurangan risiko banjir.
"Itu bisa dilihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah atau program-program khusus penanganan banjir yang dilakukan secara independen oleh pemerintah daerah dan juga nasional atau bahkan dengan adanya dukungan dari lembaga-lembaga lain," katanya.
Namun, perlu keseriusan dalam menjalankan implementasi kebijakan tersebut karena masalah banjir adalah masalah yang kompleks dan tidak dapat diselesaikan secara terpisah-pisah antar sektor di berbagai level.
Seluruh pihak harus memiliki pemahaman risiko yang sama sehingga keputusan-keputusan yang diambil juga akan saling menguatkan dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Baca juga: BNPB gelar TFG untuk mitigasi ancaman banjir Ibu Kota Jakarta
Baca juga: Kesiapan Jakarta menghadapi banjir
Gusti mengatakan secara umum banjir disebabkan oleh dua faktor yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yaitu manusia dan alam.
"Manusia termasuk juga inovasi dan teknologi yang dikembangkannya, memiliki persepsi yang sangat beragam terhadap alam. Hak ruang atas alam sudah semakin diabaikan sehingga alih fungsi lahan terus terjadi secara masif di berbagai tempat. Pembangunan di kawasan rawan terus terjadi dan membuat manusia sendiri berada di kawasan yang rawan. Padahal keberlanjutan kehidupan manusia sangat tergantung pada keberlanjutan kelestarian alam," ujarnya.
Kedua, faktor alam, diantaranya perubahan iklim sudah semakin nyata dalam mempengaruhi peningkatan intensitas dan frekuensi curah hujan yang akan semakin membahayakan kehidupan manusia. Itu adalah fakta yang tidak dapat diabaikan.
Pengabaian ruang untuk alam oleh aktivitas manusia mengakibatkan ketika curah hujan yang semakin ekstrem terjadi tidak dapat diakomodasi oleh alam termasuk dan teknologi sehingga terjadi banjir di mana-mana.
Oleh sebab itu, Gusti menuturkan skenario perubahan iklim sangat perlu dipertimbangkan dalam pembangunan secara umum dan khususnya dalam penanganan banjir.
Baca juga: Tim SAR fokus evakuasi warga terdampak banjir di Pantura
Baca juga: BMKG prakirakan sampai Sabtu pantura Cirebon terdampak banjir rob
Bahkan ia mengatakan, perlu kebijakan yang transformatif yang mempertimbangkan keterkaitan antara tindakan atau strategi yang sudah dilakukan masyarakat secara spontan serta kapasitas modal sosial yang ada di masyarakat dengan program-program dan kebijakan dari pemerintah.
Selanjutnya yang paling utama adalah penegakan peraturan-peraturan yang sudah dibuat seperti terkait tata ruang ideal yang seharusnya diimplementasikan.
Skenario pembangunan yang bussiness as usual tanpa mempertimbangkan faktor skenario dampak perubahan iklim akan terus meningkatkan risiko di masa mendatang.
Untuk bisa melakukan transformasi dalam kebijakan, kata Gusti, perlu adanya pemahaman atau persepsi risiko yang sama dari berbagai pihak sebagai pengambil keputusan.
Baca juga: Wamen LHK sebut adaptasi solusi persoalan banjir rob pantura
Baca juga: Pemerintah kawal proyek pengaman pesisir Pantura Jawa Rp54,9 triliun
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021