Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri penggunaan perusahaan orang lain oleh tersangka Staf Khusus Edhy Prabowo sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Andreau Misanta Pribadi (AMP) untuk mendapatkan izin ekspor benih lobster (benur).
Untuk menelurusinya, KPK pada Selasa (9/2) telah memeriksa Bachtiar Tamin dan Baary Elmirfak Hatmadja masing-masing dari unsur swasta sebagai saksi untuk tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo (EP) dan kawan-kawan.
"Kedua saksi tersebut dikonfirmasi terkait dugaan penggunaan perusahaan milik para saksi oleh tersangka AMP dari tahun 2018 untuk mendapatkan izin sebagai eksportir benur di KKP Tahun 2020," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Saksi dikonfirmasi pemberian barang mewah dari stafsus Edhy Prabowo
Baca juga: Geledah rumah Stafsus Edhy Prabowo, KPK sita dokumen ekspor benur
Baca juga: PDIP hormati dan dukung langkah hukum KPK terhadap Andreau
Selain itu, Ali juga menginformasikan terdapat empat saksi yang tidak memenuhi panggilan penyidik pada Selasa (9/2), yakni tiga wiraswasta Sugianto, Dian Nudin, dan Bong Lannysia serta PNS (Kepala Karantina Jakarta 1) Habrin Yake.
"Tidak hadir dan tanpa konfirmasi. Tim Penyidik KPK akan segera kembali mengirimkan surat panggilan dan KPK tetap mengimbau para saksi untuk kooperatif hadir sesuai dengan jadwal pemanggilan selanjutnya," kata Ali.
KPK total menetapkan tujuh tersangka dalam kasus tersebut. Sebagai penerima suap, yaitu Edhy, Andreau, Staf Khusus Edhy sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Safri (SAF), Amiril Mukminin (AM) dari unsur swasta/sekretaris pribadi Edhy, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD), dan Ainul Faqih (AF) selaku staf istri Edhy.
Sedangkan tersangka pemberi suap, yakni Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito (SJT) yang telah rampung penyidikannya. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK juga telah melimpahkan berkas perkaranya ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
Edhy diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benur menggunakan perusahaan "forwarder" dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.
Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang saat ini jadi penyedia jasa kargo satu-satunya untuk ekspor benur itu selanjutnya ditarik ke rekening pemegang PT ACK, yaitu Ahmad Bahtiar dan Amri senilai total Rp9,8 miliar.
Selanjutnya pada 5 November 2020, Ahmad Bahtiar mentransfer ke rekening staf istri Edhy bernama Ainul sebesar Rp3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy dan istrinya Iis Rosita Dewi, Safri serta Andreau.
Antara lain dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istrinya di Honolulu, AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, dan baju Old Navy.
Selain itu, Edhy juga diduga menerima 100 ribu dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril.
Baca juga: KPK panggil enam saksi kasus suap Edhy Prabowo
Baca juga: KPK limpahkan berkas perkara terdakwa penyuap Edhy ke pengadilan
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021