Jakarta (ANTARA) - Selama empat tahun Samuel Pisar mengalami penderitaan tak terperi, masuk satu kamp konsentrasi ke kamp konsentrasi lainnya, sampai satu hari pada April 1945 dia dipaksa berbaris bersama tahanan-tahanan Yahudi lainnya menuju kamp kerja paksa di Stuttgart.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba sebuah pesawat tempur terbang rendah memberondong mereka dan serdadu-serdadu Nazi Jerman yang menjaga mereka.
Semua kocar kacir. Pisar memanfaatkan kekalutan ini untuk kabur, lalu bersembunyi di tumpukan jerami di sebuah gudang kosong.
Baca juga: Kepala Keamanan Dalam Negeri Biden sumpah perangi terorisme domestik
Tak berapa lama terdengar deru tank mendekat. Ternyata itu tank angkatan darat AS. Pisar berlari mendekati tank AS tersebut kendati dihujani tembakan senapan mesin serdadu-serdadu Nazi dari kejauhan.
Palka atas tank itu terbuka. Seorang serdadu kulit hitam AS keluar meloncat untuk melindungi dia.
"Saya bersujud, merangkul kedua kaki si prajurit, mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris yang biasa diucapkan ibu saya kala terbebas dari bahaya," kata Pisar dalam memoarnya, lalu berseru, "God bless America."
Antony Blinken mengisahkan lagi cerita ini di Wilmington, Delaware, ketika presiden Amerika Serikat Joe Biden mengumumkan dia sebagai calon menteri luar negerinya.
Dari cerita Pisar yang tak lain kakek tirinya itu, Blinken menegaskan AS selalu menjadi negara untuk mereka yang menyelamatkan diri dari penindasan dan kekejaman.
"Bagi keluarga saya, Amerika adalah benar-benar harapan terakhir di Bumi," kata Blinken. Dan sang serdadu kulit hitam adalah representasi sejati siapa Amerika.
Posisi AS sebagai harapan dan tambatan dunia seperti itu pula yang diidealisasikan dan berusaha diciptakan Blinken bersama atasan sekaligus sahabat dan mentornya, Joe Biden.
Bagi kedua orang itu, AS tak boleh meninggalkan dunia. Pandangan ini kebalikan dari doktrin “American First”-nya Donald Trump yang dikalahkan Biden pada Pemilu 3 November 2020.
Baca juga: Presiden Korsel Moon berjanji tingkatkan aliansi dengan AS
Pembalikan drastis
Maka, tak mengherankan jika begitu disetujui Senat pada 26 Januari 2021, Blinken segera merealisasikan semua ideal kebijakan luar negeri sang mentor yang melucuti hampir semua peninggalan kebijakan luar negeri Trump.
Wajah Amerika yang aktif beraliansi dan menjadi tambatan negara lain seperti kisah selamatnya Samuel Pisar dari maut Nazi pun kembali terlihat dari kebijakan luar negeri Biden.
Trump dan Biden memang bagai bumi dan langit. Ketika dunia murka oleh pembersihan etnis Rohingya yang dilakukan militer Myanmar pada 2017, Trump nyaris bungkam, hanya wakilnya, Mike Pence, yang bersuara lantang.
Tetapi Biden lain. Sehari setelah militer Myanmar mengkudeta pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, Biden mengancam akan memberikan sanksi kepada junta Myanmar. Lalu, saat berpidato didampingi Blinken dan Wakil Presiden Kamala Harris guna menyampaikan kebijakan luar negerinya pada 4 Februari, dia menuntut militer Myanmar mundur dan segera membebaskan Suu Kyi.
Tak cukup di situ, Biden menanggalkan predikat organisasi teroris kepada pemberontak Houthi di Yaman yang dimasukkan ke daftar organisasi teroris oleh Trump sehari sebelum dia meninggalkan Gedung Putih.
Biden menyatakan akan mengakhiri "semua bantuan Amerika untuk operasi-operasi ofensif dalam perang di Yaman, termasuk penjualan senjata." Arab Saudi pasti terusik, tetapi Gedung Putih memang tengah berubah haluan.
Biden juga mungkin segera memasukkan lagi AS ke dalam Perjanjian Nuklir Iran 2015 yang dicampakkan Trump, walaupun Blinken tak mau gegabah melangkah untuk memasuki area isu ini. Yang pasti dia sudah bertemu dengan rekan-rekannya dari Inggris, Prancis, dan Jerman yang turut menandatangani kesepakatan nuklir Iran, bersama Rusia dan China.
Perjanjian-perjanjian internasional lain yang dulu ditinggalkan Trump juga segera dimasuki AS, termasuk Kesepakatan Paris.
Pada hari pertama memerintahnya, Biden langsung menandatangani surat masuknya kembali AS ke Kesepakatan Paris yang akan termaterialisasi Maret. Biden juga sudah mengeluarkan rencana iklim yang ambisius, menciptakan emisi nol di Amerika Serikat sampai 2050.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang ditinggalkan Trump ketika dunia memerlukan koordinasi global guna memerangi pandemi COVID-19 juga segera dimasuki Amerika Serikat.
Baca juga: AS tanggapi dingin usulan Iran untuk sama-sama kembali ke pakta nuklir
COVAX dan TPP
Dalam kaitan WHO itu, Biden telah memerintahkan pakar penyakit menular terkemuka Anthony Fauci agar berbicara dengan badan kesehatan PBB itu.
Sang pakar lalu memastikan bahwa AS segera masuk Akses Global Vaksin COVID-19 (COVAX) yang adalah prakarsa pimpinan WHO untuk menyalurkan dua miliar dosis vaksin COVID-19 ke seluruh dunia sampai akhir 2021.
Biden juga memasukkan kembali AS ke Badan Hak Asasi Manusia PBB yang ditinggalkan Trump karena dianggap bias terhadap Israel, meskipun prosedur administrasi mengharuskan keinginan ini baru bisa terwujud tahun depan.
Biden juga berusaha menghidupkan lagi Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang ditinggalkan Trump pada 2017, sekalipun tujuh negara anggota TPP sudah terlanjur membentuk Kesepakatan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP).
Kemudian, sekalipun memasang posisi diplomatik berseberangan dengan Rusia, termasuk menuntut Moskow agar membebaskan tokoh oposisi Alexei Navalny, Biden juga menghidupkan lagi Pakta Pengurangan Senjata Strategis Baru (New START).
Dia juga ingin AS memasuki kembali Pakta Langit Terbuka, Pakta Perdagangan Senjata, dan juga UNESCO yang sejak 2011 tak lagi didanai AS karena Washington kecewa badan PBB ini mengakui Palestina.
Upaya Biden dalam memberi sinyal bahwa AS siap beraliansi dengan dunia juga ditunjukkan dengan mendukung mantan menteri keuangan Nigeria, Ngozi Okonjo-Iweala, sebagai kepala Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang sejak Oktober 2020 sebenarnya sudah disetujui komite pemilihan WTO yang memiliki 164 anggota, tapi ditentang Trump karena menginginkan wakil dari Korea Selatan untuk mengurangi apa yang disebutnya pengaruh dominan China di WTO.
Itu semua adalah contoh aktual betapa Biden serius menggiring kembali AS aktif di panggung global.
Dia menyatakan penglibatan dengan negara-negara lain harus diawali dengan diplomasi yang berakar pada nilai-nilai demokrasi Amerika.
Menyebut aliansi-aliansi yang dibangun AS sebagai asset terbesar negaranya, Biden berjanji akan bahu membahu bekerja dengan sekutu-sekutu dan mitra-mitra penting Amerika, selain menghadapi setiap musuh dan pesaing dalam meja perundingan, bukan lagi dengan saling menggertak.
Dia bermaklumat, “Amerika telah kembali, diplomasi telah kembali.”
Baca juga: Kecam kudeta Myanmar, negara Barat minta hasil pemilu dihormati
Copyright © ANTARA 2021