Jakarta (ANTARA) - Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah berkomitmen kuat merawat dan menjaga demokrasi di Indonesia.
Hal itu disampaikan Jaleswari dalam siaran pers KSP di Jakarta, Sabtu, menyikapi Laporan “Democracy Index 2020: in Sickness and in Health?” dari The Economist Intelligence Unit (EIU) 2021 yang menempatkan Indonesia pada kategori demokrasi yang belum sempurna.
"Terlepas dari angka indeks demokrasi EIU, pemerintah berkomitmen kuat merawat demokrasi, demokrasi yang menyelamatkan negara dan Indonesia yang plural," jelas Jaleswari.
Laporan EIU menempatkan Indonesia pada peringkat 64 secara global, serta peringkat 11 di regional Asia dan Australia. Secara total Indonesia mendapat skor 6,48 dan digolongkan pada kategori demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies).
Dari 5 indikator penilaian, Indonesia mendapat nilai 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,14 fungsi pemerintah, 6,11 partisipasi politik, 5,63 budaya politik demokrasi, dan 5,59 kebebasan sipil.
Baca juga: Mahfud: Demokrasi Indonesia masih fase demokrasi prosedural
Laporan Indek Demokrasi oleh EIU dibuat sejak tahun 2006. Pada rentang waktu tersebut, dari 4 kategori yang dibuat yaitu demokrasi penuh (full democracies), demokrasi belum sempurna (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoritarian (authoritarian regimes), Indonesia senantiasa dalam kategori negara demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies).
Jaleswari menyampaikan hal ini artinya, Indonesia sampai dengan saat ini terus berjuang untuk tidak merosot pada kondisi yang lebih buruk. Indonesia berusaha untuk tidak jatuh pada rezim hibrida atau otoriter, dan berhasil untuk itu.
"Dalam kategori tersebut, Indonesia tengah berjuang menjadi negara demokrasi penuh," jelasnya.
Jaleswari mengatakan jika melihat data Indek Demokrasi EIU, mulai tahun 2017 angka Indek Demokrasi Indonesia menunjukkan titik balik membaik dan kemudian di tahun 2020 turun.
Hal itu dipengaruhi oleh aktifnya langkah pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap aksi intoleransi yang membahayakan ideologi negara.
Di satu sisi ukuran indeks demokrasi bersifat global tanpa mempertimbangkan situasi internal negara.
Baca juga: Bappenas pertimbangkan kearifan lokal dalam menyusun Indeks Demokrasi
Dia menyampaikan menguatnya intoleransi perlu direspons melalui langkah penegakan hukum yang menjadi identitas negara demokrasi yaitu rule of law.
"Dengan demikian harus dilihat bahwa ada kebutuhan negara untuk memperteguh ideologi Pancasila, mengokohkan toleransi dan menggencarkan deradikalisasi," ujarnya.
Berbagai upaya itu secara tidak langsung merupakan upaya pemerintah merawat demokrasi tetap hidup. Pemerintah, kata dia, tidak ingin ditengah masyarakat berkembang ideologi yang membahayakan keberlangsungan negara, maraknya intoleransi, dan berbagai ekpresi radikalisme.
Selain itu, ditengah pandemi COVID-19, pemerintah membutuhkan efektivitas pemerintahan dan terjaganya stabilitas untuk keluar dari berbagai permasalahan yang ditimbulkannya.
"Penilaian sepintas, proses tersebut tentu akan memengaruhi penilaian publik tentang demokrasi kita, tapi itu sesungguhnya justru pilihan tepat agar demokrasi tetap hidup dan keluar dari situasi sulit yang dihadapi," katanya.
Dia mengatakan demokrasi merupakan sebuah pergerakan yang harus dijaga bersama-sama. Indek demokrasi yang ada menjadi catatan untuk melakukan evaluasi dan mengambil kebijakan strategis atas aspek-aspek yang perlu diperbaiki.
Baca juga: Indeks Demokrasi Indonesia gambarkan keberadaan demokrasi di daerah
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021