Jakarta (ANTARA News) - Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) mengajukan anggaran antara Rp10 miliar sampai Rp15 miliar ke Departemen Keuangan untuk mengoperasikan kembali Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum).
"Kita mengajukan antara Rp10 miliar sampai Rp15 miliar, semoga kami tidak salah hitung," kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta di sela-sela pidato awal tahun di Depkumham, Selasa.
Menurut Andi, anggaran itu akan digunakan untuk belanja alat, sistem, dan sumber daya manusia dalam proyek Sisminbakum. Dengan demikian, diharapkan proyek tersebut tidak lagi menggandeng PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD).
Sisminbakum adalah program pelayanan pendirian badan hukum secara online. Kejaksaan Agung menduga ada unsur tindak pidana korupsi dalam proyek yang dijalankan sejak 2001 itu.
Andi Mattalatta menjelaskan, operasional Sisminbakum dengan menggunakan anggaran dari Departemen Keuangan harus didahului dengan penentuan jenis dan nilai tarif dalam mengakses Sisminbakum.
"Itu untuk mengantisipasi pelanggaran hukum yang mungkin terjadi," kata Andi.
Menurut Andi, operasional Sisminbakum bisa juga dilakukan dengan tetap menggunakan alat yang pernah digunakan sewaktu Sisminbakum dijalankan oleh SRD dengan mengacu pada kesepakatan tertentu.
Sementara itu, Sekjen Depkumham Abdul Bari Azed menegaskan, Depkumham
lebih cenderung untuk tidak lagi menggandeng SRD.
"Iya kita akan mengelola sendiri," kata Abdul.
Dengan demikian, kata Abdul, pihaknya akan mengoptimalkan kerjasama dengan Departemen Keuangan, terkait permohonan anggaran untuk proyek
tersebut.
Selain mengenai anggaran Sismimbakum, rapat dengan Departemen Keuangan juga akan membahas tentang jenis dan besaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Depkumham yang akan disetor ke negara.
Depkumham mengusulkan biaya akses Sisminbakum menjadi salah satu pos
pendapatan di Depkumham yang dimasukkan dalam PNBP.
Terkait hubungan dengan SRD, Abdul menjelaskan, Depkumham akan menemui pimpinan perusahaan itu untuk membicarakan penghentian kerjasama.
"Kita akan duduk baik-baik bicara dengan SRD. Kalau dulu dengan mereka bermesra, mengakhiri juga mesra," kata Abdul.
Menurut Abdul, harus ada pembicaraan yang jelas, terutama terkait keberadaan alat Sisminbakum.
Abdul menyebut kemungkinan penyelesaian sengketa keberadaan alat Sisminbakum, antara lain dengan menggunakan penetapan pengadilan untuk
menggunakan alat tersebut sambil menunggu kasus hukum Sisminbakum selesai.
Kasus Sisminbakum bermula sejak tahun 2001 dengan dibukanya laman Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) dengan alamat www.sisminbakum.com.
Dalam laman itu ditetapkan biaya akses dan biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Biaya akses itu dikenakan untuk pelayanan jasa pemerintah berupa pemesanan nama perusahaan, pendirian dan perubahan badan hukum, dan sebagainya.
Namun biaya akses itu tidak masuk ke rekening kas negara melainkan masuk ke rekening PT SRD dan dimanfaatkan oleh sejumlah pejabat Depkumham, sehingga diperkirakan merugikan negara Rp400 miliar.
Dalam kasus itu, Kejagung sudah menetapkan lima tersangka, yakni Zulkarnain Yunus dan Romli Atmasasmita (mantan Dirjen AHU), Syamsuddin Manan Sinaga (Dirjen AHU), Yohannes Woworuntu (Dirut PT SRD), dan Ali Amran Jannah (mantan Ketua Koperasi Depkumham).
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009