Rencana pemasangan alat pendeteksi likuefaksi tersebut telah masuk dalam tahap awal dengan bentuk prototype yang rencananya akan diproduksi pada Oktober 2021.
Palu (ANTARA) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Tengah yang bekerja sama dengan Universitas Tadulako akan memproduksi alat pendeteksi likuefaksi dan akan ditempatkan di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Sigi.
Salah satu dosen Universitas Tadulako yang juga peneliti pembuatan alat pendeteksi likuefaksi tersebut, Rizana Fauzi mengeukakan di Palu, Jumat, alat ini akan lebih fokus dalam memonitor potensi bencana, khususnya likuefaksi pada suatu daerah.
''Nama alatnya alat monitoring potensi likuifaksi pada suatu daerah. Jadi alat ini fungsinya lebih ke monitoring dan pencatatan data data potensi likuifaksi,'' ungkapnya
Rizana menjelaskan, pihaknya juga akan melengkapi alat tersebut dengan data loger untuk mencatat perubahan yang terjadi setiap saat di wilayah yang akan dipasangkan alat tersebut, serta sirene yang akan berbunyi jika di daerah itu, data menunjukan potensi likuefaksi yang tinggi serta terjadi gempa dengan magnitudo yang cukup kuat.
Baca juga: Korban likuefaksi Balaroa minta kejelasan ganti untung tanah
''Kalau itu (sirene) pasti ada dan kita lengkapi, tapi bukan hanya sirene saja kelengkapannya. Kami juga gunakan data loger untuk mencatat perubahan-perubahan yang terjadi setiap saat. Saat sirene berbunyi, data menunjukkan potensi likuefaksi yang tinggi di daerah tersebut dan kedua adanya gempa besar terjadi,'' jelasnya.
Cara kerja alat ini sendiri nantinya akan mendeteksi nilai kelembapan, suhu, serta perubahan gerak tanah dengan kedalaman kurang lebih lima meter. Namun hal itu akan terdeteksi jika terjadi suatu getaran atau terjadinya gempa bumi.
''Kalau terjadi getaran dan terjadi perubahan pada hal-hal itu, dipastikan daerah tersebut berpotensi terjadinya likuefaksi,'' tuturnya.
Ia menjelaskan jika alat tersebut telah terpasang dan terdapat suatu daerah dengan potensi yang cukup tinggi terjadinya likuefaksi, maka akan dikeluarkan rekomendasi kepada warga untuk segera mengamankan diri.
Baca juga: Korban likuefaksi Balaroa minta kejelasan ganti untung tanah
Biaya yang dikeluarkan untuk membuat satu unit alat pendeteksi likuefaksi ini ditaksir mencapai enam sampai tujuh juta rupiah per unit, sementara untuk komponen alat pendeteksi itu (sensor), Universitas Tadulako Palu akan memesan dari China.
''Ia, untuk sensor kami pesan dari China, tapi selain sensor sebagian besar panelnya sudah ada di Indonesia ,'' tambahnya.
Rencana pembuatan dan pemasangan alat pendeteksi likuefaksi ini melibatkan tiga unsur yakni BPBD Provinsi Sulawesi Tengah, Jurusan Elektro Fakultas Tekhnik,
Universitas Tadulako serta LPP ProAction.
Sementara itu, Ashrafudin, Kepala Sub Bidang Kesiapsiagaan BPBD Sulteng mengungkapkan alat pendeteksi dini likuefaksi ini akan dibuat sebanyak delapan unit.
Dan untuk titik penempatan alat tersebut, BPBD akan berkoordinasi dengan pihak Geospasial dari Badan Geologi.
Baca juga: Korban likuefaksi hibahkan tanah 120 hektare untuk pembangunan huntap
"Untuk titiknya kami akan koordinasi dengan geospasial karena mereka yang lebih tau soal titik titiknya," Jelasnya
Jika berhasil dipasang, alat pendeteksi likuefaksi ini menjadi alat pertamadi Indonesia. BPBD berharap alat tersebut juga bisa menjadi percontohan untuk daerah daerah lain.
"Semoga ini berhasil untuk ke depannya lagi. Karena belum ada kan di Indonesia alat untuk likuefaksi," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, pada 28 September 2018, sejumlah titik di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Sigi dilanda bencana gempa bumi yang disusul oleh likuefaksi.
Data BPBD mencatat lokasi terdampak parah di Palu yakni Kelurahan Balaroa dan Petobo, sedangkan di Kabupaten Sigi, kerusakan parah terjadi di Desa Jono Oge dan Sibalaya Selatan.
Baca juga: Data sisa rumah rusak korban bencana Palu diverifikasi kembali
Pewarta: Rangga Musabar
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2021