Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona menilai rencana revisi UU Pemilu adalah murni urusan politik praktis terkait hitungan untung rugi bagi partai-partai politik menghadapi Pilpres 2024.
"Ini adalah strategi perburuan kekuasaan partai-partai politik di DPR, juga jalan legal mengamankan kepentingan kelompok oligarki politik yang selama ini mencengkeram beberapa partai politik secara nasional untuk mengamankan posisi mereka," kata Mikhael Bataona di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa.
Pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Unwira) Kupang tersebut mengemukakan hal itu terkait dengan pro kontra seputar rencana revisi UU Pemilu.
Artinya, menurut dia, selain untuk mempertahankan dominasi perolehan kursi partai-partai politik yang selama ini sudah "nyaman" di parlemen, juga untuk memastikan kekuatan partai-partai besar dan menengah dalam menghadapi Pilpres 2024 nanti.
Baca juga: Akademisi nilai revisi UU Pemilu tidak mendesak dilakukan
Oleh karena itu, kata dia, jangan heran apabila yang juga dihitung adalah apakah Pilkada 2022 dan 2023 memberi manfaat secara elektoral atau tidak bagi sebuah partai politik.
"Inilah yang menjadi variabel politik yang bermain dalam perang kepentingan dan perang opini yang sedang dimainkan beberapa 'klik' politik nasional dalam menyikapi kontroversi UU Pemilu ini," katanya.
Menurut dia, hal paling krusial yang dihitung partai-partai politik terutama partai besar seperti Golkar adalah soal masa jabatan para bupati dan gubernurnya yang baru saja menang dalam Pilkada 2020 yang masa tugas mereka bisa hanya 3,5 tahun jika pilkada serentak harus dilakukan sebagaimana amanat UU Nomor 10 Tahun 2016 bahwa pilkada serentak akan dilakukan pada 2024.
"Tetapi tidak hanya itu, saya kira semua partai politik juga berhitung tentang suksesi politik di beberapa provinsi di Pulau Jawa, karena sebagai barometer politik nasional, suksesi kepemimpinan gubernur di Jawa akan berdampak secara psikologis bagi suksesi kepemimpinan nasional," katanya.
Dia mengatakan, strategi "saling kunci" dalam rangka mengamankan kepentingan terkait suksesi kekuasaan di tiga daerah paling krusial di Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur ini memang sudah terbaca dari apa yang disampaikan para jubir partai belakangan ini.
"Ini murni perwujudan pragmatisme politik dan bukan hitungan tentang membaik tidaknya kualitas pemilu," katanya.
Baca juga: Netfid nilai revisi UU Pemilu belum perlu di tengah situasi pandemi
Menurut dia, ada semacam "mitos politik" yang terlanjur dipercaya sejak fenomena Jokowi pada tahun 2014 bahwa siapa pun yang menang menjadi Gubernur DKI Jakarta misalnya, bisa mulus menjadi Presiden Indonesia.
"Oleh karena itu, pilihan mempercepat Pilkada ke tahun 2022 dan 2023 adalah hitungan strategis dan rasional bagi partai politik yang ingin memanfaatkan hajatan tersebut sebagai momentum untuk mem-'branding' figur yang mereka persiapkan dan mengamankan kekuatan partai mereka di Jawa," katanya.
Ia mengatakan keyakinan bahwa pilkada di Jawa akan cukup berpengaruh dalam "branding" citra partai politik secara nasional juga didukung oleh variabel lain yang lebih ke arah kalkulasi ekonomi politik.
"Harus diingat bahwa Pilkada di DKI Jakarta misalnya akan menjadi pertarungan para baron dan oligarki politik yang menjadi penyuplai dana bagi para figur," katanya.
Jadi, mereka yang selama ini disebut-sebut akan dipersiapkan untuk Pilpres 2024 akan ditopang secara finansial oleh baron-baron politik dan pemodal besar yang menargetkan kekuasaan nasional setelah Jokowi nanti.
Menurut dia, siapa pun paham bahwa pilkada di tiga provinsi besar di Jawa ini punya pengaruh cukup besar secara nasional dan tokoh yang menang akan mudah di-"rebranding" untuk pilpres.
Baca juga: PAN: revisi UU Pemilu belum tentu lebih baik
Ada keyakinan politik bahwa siapa yg berhasil di-"branding" dalam Pilkada DKI Jakarta misalnya, akan dengan mudah di-"rebranding" untuk pilpres.
"Jadi, menurut saya, rencana menyatukan dua aturan pemilu, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dalam perspektif pertama adalah murni urusan politik praktis dan hitungan strategis untuk Pilpres 2024," kata Bataona yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fisip Unwira.
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2021