Jakarta (ANTARA) - Sudah jelas kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk berbagai jenis gagasan di Tanah Air dilindungi oleh konstitusi.
Sesuai amanat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan berpendapat dan berekspresi, adalah tanggung jawab negara.
Namun survei yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi justru menunjukkan kebebasan berpendapat dan berekspresi kian dibatasi.
Dalam survei yang dilakukan pada Juli-Agustus 2020 dengan melibatkan 1.200 responden berusia 15-59 di 34 provinsi itu, sebagian besar responden menilai kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik masih wajar, tetapi ada juga yang menilai merasa tidak bebas.
Sebanyak 78,2 persen responden mengetahui kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak warga negara yang dilindungi oleh UUD 1945.
Namun, sejumlah 29,4 persen responden merasa tidak bebas mengkritik pemerintah di ruang publik, sedangkan 52 persen merasa kebebasan mengkritik pemerintah masih dalam batas wajar dan sisanya 18,6 persen menilai terlalu bebas.
Kemudian untuk membawa atau memakai atribut-atribut yang menunjukkan kelompok tertentu, sebanyak 26 persen merasa tidak bebas, 55,7 persen merasa bebas dan 18,3 menilai terlalu bebas.
Sementara dalam menyatakan pilihan politik dan berkampanye di ruang publik, 22,5 persen responden menilai tidak bebas, 60,6 persen menilai wajar dan 16,9 menilai terlalu bebas.
Meskipun lebih dari seperdua responden merasa bebas berpendapat di ruang publik, terdapat lebih dari sepertiga responden merasa takut menyampaikan pendapat di ruang siber, yakni sebanyak 36,2 persen. Responden yang paling banyak merasa kebebasan berpendapat terlanggar adalah Generasi Z dan berstatus ekonomi atas.
Baca juga: Komnas HAM mencatat kebebasan berpendapat dan berekspresi terbatasi
Dari semuanya, responden dari Indonesia bagian timur lebih banyak merasa kebebasan berpendapat dan berekspresi terlanggar dibanding bagian barat atau tengah, yakni sebanyak 31 persen, sementara bagian tengah 28 persen dan barat 22 persen.
Sementara pihak yang dinilai paling berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah kepolisian, aparat pemerintah pusat, organisasi massa, pemerintah daerah dan pelaku di ranah siber.
Meski survei Komnas HAM itu memotret kondisi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi pada suatu waktu, tetapi Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga menyebut terdapat gambaran melemahnya kebebasan berekspresi.
Senada dengan survei yang dilakukan Komnas HAM itu, menurut pemantauan Amnesty International Indonesia, sepanjang 2020, jumlah orang yang dihukum karena dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap pemerintah atau menyebarkan berita bohong meningkat.
Amnesty menilai penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sewenang-wenang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Berdasarkan catatan Amnesty, sepanjang 2020 setidaknya terdapat 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, jumlah itu merupakan terbanyak dalam enam tahun terakhir.
Perlindungan dan Etika
Terkait data itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan data hasil survei itu penting untuk ditindaklanjuti.
Akan tetapi, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo Widodo Muktiyo menilai esensi kebebasan berpendapat dan berekspresi perlu ditinjau kembali dalam perkembangan teknologi yang membawa konsekuensi banyaknya media penyampai informasi.
Dilihat dari data pengguna internet di Indonesia sebanyak 197 juta orang, ia menyampaikan terdapat tren penyampaian pendapat secara lisan lebih sedikit dibandingkan melalui ketikan jari-jari.
Ruang siber disebutnya melahirkan tuntutan etika komunikasi agar kebebasan individu tidak berbenturan dengan kebebasan orang lain. Sementara kecenderungan yang terjadi adalah etika komunikasi di internet justru keluar dari nilai sosial dan ideologi Pancasila dan adanya sikap diri sendiri paling benar.
Baca juga: LBH Pers: Ada lima hal bayangi kebebasan berekspresi pada 2020
Menurut Widodo Muktiyo, media sosial dan aplikasi perpesanan pun kian hiruk pikuk dengan hoaks, ujaran kebencian dan fitnah sehingga kadang warga takut mengekspresikan diri di ruang siber karena kelelahan melihat informasi yang tidak jelas.
Dampaknya, orang yang aktif di media sosial semakin aktif untuk kepentingannya dan yang apatis semakin tidak mau menyampaikan pendapatnya.
Di situlah pemerintah harus hadir sesuai amanat UU ITE, yakni untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan penyalahgunaan informasi elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Hal itu, kata dia, perlu dimaknai dengan prasangka baik, yakni apabila pemerintah tidak melindungi maka yang terjadi adalah hukum rimba.
Dari sudut pandang pemerintah, informasi yang dinilai menjadi racun perlu dimampatkan, sementara informasi yang bergizi dibuka seluas-luasnya. Perlindungan ini bukan untuk membangun tirani.
Standar jelas
Melihat dua sisi itu, akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang Wiratraman berpendapat diperlukan kehati-hatian dalam standar pemberian sanksi terhadap suatu pendapat agar tetap sejalan dengan prinsip HAM.
Argumen dalam memberikan sanksi, kata dia, semestinya tidak sekadar tudingan tanpa dasar memadai agar sejarah represi terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di Tanah Air tidak terulang kembali.
Ia mengingatkan pendapat seseorang dari artikulasi berpikir tidak boleh dicampur tangan oleh negara, sementara pendapat yang menghasut kekerasan--yang ini melanggar HAM-- perlu dibatasi negara.
Apabila pemerintah mendapat koreksi terhadap kebijakan yang keliru dan tidak berbasis jelas pun, ujar dia, selama disampaikan dalam mekanisme yang sudah diatur, semestinya dapat diterima.
Sebagai negara hukum demokratis yang menjunjung HAM, Indonesia tidak boleh mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat serta kebebasan akan informasi.
Sebuah pendapat dapat menimbulkan perbedaan sikap dalam menghadapinya, yang jelas penindakan berlebihan hanya akan memberangus demokrasi.
Ada baiknya perbedaan diselesaikan dengan cara lama: duduk bersama dan bicara. Untuk demokrasi yang lebih dewasa.
Baca juga: Indonesia, Malaysia tekankan pentingnya kebebasan berekspresi di ASEAN
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021