Pengawasan paralel antarinstitusi pemerintah dan masyarakat lokal/masyarakat adat merupakan salah satu solusi di tengah pandemi.

Makassar (ANTARA) - Kejahatan dapat terjadi jika ada niat dan kesempatan. Itulah yang kerap dikatakan seseorang agar selalu waspada dengan keadaan di sekitarnya.

Kata-kata bijak tersebut setidaknya tercermin dalam kasus kejahatan kehutanan, khususnya pembalakan liar (illegal logging) di Sulawesi Selatan yang meningkat pada masa pandemi COVID-19 dengan pola memanfaatkan masyarakat lokal sekitar hutan untuk melakukan pembalakan.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif JURnaL Celebes Mustam Arif ketika menyoal hasil pemantauan tim independen yang diturunkan ke lokasi pembalakan liar di Sullsel.

Kondisi di lapangan menunjukkan penegakan hukum umumnya sampai pada pelaku lapangan, bahkan jarang menyentuh pedagang kayu maupun aktor di belakang layar.

Dari sembilan kasus (hampir dua kali lipat sebelum pandemi) penangkapan kayu ilegal yang dicatat JURnaL Celebes selama pandemi, hampir semua pelaku yang diproses hukum adalah warga. Umumnya mereka diminta atau bekerja sama dengan pembeli atau pengusaha kayu.

Adapun pihak yang menggunakan jasa mereka, hampir semuanya lolos dari jerat hukum, kecuali kasus perusakan hutan di kawasan konservasi Komara, Takalar.

Setelah seorang warga diproses hukum sampai vonis pengadilan, pihak kepolisian mengembangkan kasus ini. Akhirnya menetapkan tersangka dan menahan seorang tokoh masyarakat yang juga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Takalar berinisial HJB (58).

Baca juga: 1.380 batang kayu ilegal di Kalbar diamankan

Pebisnis atau penjual kayu tampaknya memanfaatkan kesempatan pada masa pandemi. Ketika aktivitas masyarakat dibatasi terkait dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), momentum ini dimanfaatkan untuk melakukan pembalakan di hutan karena situasi relatif aman.

Kesempatan pada masa pandemi bukan hanya dimanfaatkan para pedagang kayu, melainkan masyarakat lokal sekitar hutan yang pendapatannya berkurang akibat dampak pandemi juga ikut-ikutan.

Akibatnya, baik pihak pengusaha/pedagang maupun masyarakat yang sama-sama terdesak kebutuhan. Mereka bersimbiosis mutualisme melakukan pembalakan liar. Sama-sama memanfaatkan situasi ketika intensitas pengawasan hutan menurun terkait dengan pemberlakuan PSBB.

Dari hasil pemantauan para pemantau independen dampingan JURnaL Celebes di beberapa kabupaten, ditemukan indikasi kejahatan pembalakan liar yang melibatkan atau bekerja sama dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan.

Dalam hal ini, pengusaha atau pengepul kayu memanfaatkan orang-orang lokal untuk melakukan penebangan.

Batang kayu yang ditebang dikumpulkan di tempat tertentu. Setelah kayu terkumpul, diangkut truk ke tempat pengumpulan, atau langsung ke industri pengolahan kayu, atau tempat penggergajian.

Baca juga: JPIK apresiasi Polri ungkap sindikat pembalakan kayu Kalimantan

Dari hasil pemantauan kegiatan yang didukung Food and Agriculture Oraganization (FAO)-FLEGT Programme ini, ada indikasi masyarakat lokal yang terlibat dalam jual beli kayu punya risiko hukum lebih besar ketimbang pengusaha atau pembeli kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat lokal.

Ketika pelaku lapangan diketahui petugas, yang ditangkap dan diproses hukum adalah pelaku yang tak lain adalah warga dekat kawasan hutan. Masyarakat yang menebang kayu kalau tidak sempat melarikan diri, akan ditangkap petugas, lalu diproses hukum sampai ke pengadilan.

Sementara itu, pihak pengusaha atau pendagang kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat jarang tersentuh hukum. Padahal, mereka sebenarnya adalah pemilik kayu ilegal dan menjadi otak dari kasus pembalakan liar ini.

Pemantau menduga di antara pihak pembeli maupun penebang ada kesepakatan untuk tutup mulut dengan kompensasi tertentu. Dugaan lain, penebang kayu dari masyarakat setelah ditangkap petugas, tidak bisa mengungkap siapa yang mengajak kerja sama melakukan pembalakan liar karena sudah kehilangan jejak.

Pemantau juga menduga pelaku kejahatan dari pihak pembeli/pengusaha kayu dengan cara ilegal menggunakan pola 'rantai putus' untuk menghilangkan jejak.

Baca juga: DLHK NTB: Ada korelasi antara kebutuhan kayu dengan pidana kehutanan

Hukum Senyap

Kasus-kasus pembalakan liar pada masa pandemi ini semuanya diproses hukum sejak 2020 hingga awal 2021. Pada tahap awal, petugas Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi menangkap pelaku, kemudian diserahkan ke kepolisian.

Dalam persoalan ini ada yang diproses sampai pengadilan. Akan tetapi, ada pula dihentikan karena dianggap tidak cukup bukti, misalnya. Publik jarang mengetahui hasil akhir dari kasus pembalakan liar atau kayu peredaran kayu ilegal.

Penyelesaian akhir kasus-kasus hukum ini juga menjadi senyap karena selalu luput dari pantauan atau tindak lanjut media. Media hanya sampai memberitakan kasus dalam tahap awal ketika ada penangkapan dan proses hukum di Gakkum KLHK atau kepolisian.

Namun, proses hukum tersebut perlahan-lahan senyap. Tidak pelak lagi, masyarakat sudah tidak mengetahui keputusan akhir. Situasi ini sering menimbulkan kecurigaan publik bahwa penanganan kasus pembalakan liar dilakukan dengan tidak tegas, tidak memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan kehutanan ini.

Dari hasil lokakarya yang dilakukan JURnaL Celebes di akhir 2020, seorang penyidik dari Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi mengemukakan bahwa masih tidak sinkronnya proses hukum kejahatan kehutanan sebab proses hukum kerap berakhir di institusi penegak hukum tertentu.

Baca juga: Pimpinan daerah di NTB satu suara hentikan laju kerusakan hutan

Truk mengangkut kayu setiap hari di Mahalona, Luwu Timur, Sulsel. ANTARA/HO-JURnaL Celebes

Pembalakan Masif

Sejak pandemi COVID-19, pembalakan kayu secara masif terjadi di hutan Towuti, Luwu Timur, terutama di kawasan Mahalona Raya. Sejak pertengahan 2020, bunyi mesin chainsaw masih kerap terdengar di kawasan ini di sepanjang jalan ke Mahalona atau di desa-desa, kawasan Mahalona.

Truk-truk mengangkut kayu bermuatan kayu log mondar-mandir setiap hari maupun terparkir di halaman rumah penduduk dengan muatan kayu log atau gelondongan.

Bila menelusuri jalan dari Wawondula, ibu kota Kecamatan Towuti ke kawasan Mahalona, akan menjumpai truk bermuatan kayu bulat atau kayu setengah jadi terseok-seok beban muatan. Di jalan antardesa di Kawasan Mahalona, hampir setiap hari juga menjumpai warga yang membawa chainsaw.

Kondisi ini sudah lama terjadi di kawasan Mahalona. Akan tetapi, menurut warga setempat, Ardi, aktivitas angkutan kayu log meningkat sejak pandemi. Penebangan kayu di hutan-hutan sekitar Mahalona makin meningkat dan masif.

Hal ini makin memperparah kondisi hutan Mahalona yang selama ini memang terjadi deforestasi (berkurangnya tutupan hutan) yang luar biasa.

Selain ekspansi perkebunan dan permukiman, deforestasi cukup parah di Kecamatan Towuti. Hal ini juga akibat masifnya masyarakat membabat hutan untuk menam merica (lada). Komoditas ini sejak beberapa tahun terakhir harganya relatif mahal meski fluktuatif. Tidak mengherankan apabila masyarakat di Luwu Timur sangat antusias menanam merica.

Berdasarkan keterangan informan yang dihimpun pemantau independen JURnaL Celebes diketahui bahwa kondisinya sangat prihatin karena hutan-hutan di kawasan dataran rendah yang subur itu sudah nyaris tidak ada lagi.

Aktivitas pengambilan kayu oleh warga Mahalona dan warga dari luar daerah itu. Mereka bekerja sama dengan warga setempat. Warga dari luar diduga mengupah warga setempat untuk menebang kayu. Ada yang hanya datang dengan truk untuk mengambil kayu langsung ke tempat penebangan atau tempat pengumpulan.

Kawasan Mahalona Raya ditempuh dari Wawondula, ibu kota Kecamatan Towuti sekitar 20 kilometer melewati kawasan hutan yang sudah terdegradasi, di antara Danau Towuti dan Danau Mahalona, dua dari tiga danau (satu adalah Danau Matano) merupakan rangkaian danau tektonik di kawasan Danau Malili. Kawasan dengan empat desa ini berbatasan dengan Morowali, Sulawesi Tengah.

Baca juga: Sulawesi Selatan perlu 1.000 polisi hutan jaga kawasan dari pembalakan

Sesuai dengan informasi, truk-truk pengangkut membawa kayu itu ke Wawondula. Sebagian dibawa ke desa-desa sekitarnya untuk menjadi tiang rambat tanaman merica (lada).

Dari data yang dihimpun pemantau independen JURnaL Celebes, sebagian besar kayu gelondongan dibawa ke tempat pengolahan kayu di Wawondula. Di tempat ini ada puluhan usaha pengolahan/penggergajian kayu di dekat dan tepi Danau Towuti. Sebagian kayu-kayu dari hutan Mahalona atau sekitarnya itu didistribusikan untuk kebutuhan lokal atau setempat.

Namun, menurut warga yang dekat dengan tempat pengolahan kayu, selalu ada angkutan kayu yang ketika meninggalkan tempat tersebut, bahkan muatannya sudah tertutup dengan terpal. Hal ini bisa dibenarkan karena jika melihat begitu banyaknya angkutan kayu yang keluar dari kawasan Mahalona setiap hari. Hal ini patut dicurigai.

Ada dugaan kayu itu diolah atau diangkut keluar Towuti melalui cara ilegal untuk bisa lolos dari pantauan petugas berwewenang.

Terkendala Aturan

Pada masa pandemi, pengawasan terkendala aturan penanganan COVID-19 yang menekankan jaga jarak dan PSBB. Pihak Balai Gakkum Wilayah Sulawesi mengakui pada masa pandemi ini ada kendala melakukan pengawasan lapangan secara maksimal. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Seksi I Balai Gakkum Wilayah Sulawesi Muhammad Amin.

Karena kurang pengawasan, Amin mengaku kasus-kasus pembalakan liar meningkat di tengah wabah. Pandemi menjadi kendala karena kegiatan pemantauan dan proses hukum hampir tidak bisa secara virtual. Gelar perkara bisa secara virtual. Akan tetapi, verifikasi faktual di lapangan, sulit melalui sarana online (daring).

Atas kondisi ini, JURnaL Celebes merekomendasikan institusi pemerintah terkait dan pemangku kepentingan untuk bekerja sinergi terhadap penegakan hukum mengatasi kejahatan kehutanan, terutama pembalakan liar.

Pengawasan paralel antarinstitusi pemerintah dan masyarakat lokal/masyarakat adat merupakan salah satu solusi di tengah pandemi. Rekomendasi untuk tidak mengabaikan pembalakan liar terus mendegradasi hutan karena perlahan-lahan tetapi pasti akan menuai bencana, dampak perubahan iklim, dan kehilangan keragaman sumber daya hayati serta sumber pangan.

Sementara itu, upaya pelatihan pemantau independen dari masyarakat adat dan masyarakat lokal ini merupakan satu komponen program untuk meningkatkan kapasitas masyarakat sipil agar bisa mengambil peran.

Baca juga: Komisi IV: Anggaran kecil picu pembalakan liar

Selain pelatihan, pemantauan hutan bagi masyarakat adat/masyarakat lokal juga lokakarya membangun sinergi untuk instansi pemerintahan dan pelaku industri di bidang kehutanan.

Mencermati fenomena itu, tampaknya perlu adanya sinergitas penegak hukum untuk penanganan pembalakan liar ini dari hulu hingga ke hilir, termasuk peran serta masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan hutan agar membantu menjaga hutan dari tangan-tangan kotor yang merusak keseimbangan alam.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021