Pekanbaru (ANTARA) - Semua orang pasti mengenal Lionel Messi ataupun Cristiano Ronaldo, pesohor sepakbola terkenal di era sekarang. Keseharian bintang lapangan hijau tersebut pasti diasupi makanan bergizi agar tetap bugar dalam mengolah si kulit bundar.

Hampir dipastikan, duo pesepakbola itu jarang atau bahkan tidak pernah memakan nasi sebagai menu utamanya. Inilah yang pernah dikemukakan pengamat ekonomi pertanian terkemuka Bustanul Arifin, "Bintang sepakbola atau Miss Universe tidak makan nasi tapi mereka hebat dan pintar," katanya dalam sebuah pertemuan.

Hal demikian diungkapkannya mengingat saat ini kebutuhan beras untuk masyarakat Indonesia terus bertambah namun lahan sawah semakin berkurang seiring bertambahnya jumlah penduduk.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya mulai saat ini terus digencarkan mencari makanan pokok alternatif pengganti beras yang fungsinya sama, sebagai sumber karbohidrat.

Baca juga: Kemenko Perekonomian: Pemanfaatan sagu di RI masih minim

Sebenarnya Indonesia memiliki beragam makanan pokok alternatif yang bisa dikembangkan dan dibudidayakan sebagai sumber pangan alternatif pengganti beras seperti jagung, ubi, singkong, sagu ataupun jenis umbi-umbian lainnya.

Bahkan bagi penderita diabetes ataupun yang sedang menjalani diet, nasi menjadi salah satu makanan "haram" karena banyak mengandung gula sehingga tidak baik untuk tubuh.

Salah satu produk pangan pengganti beras yang kini sudah dikenal luas adalah sagu. Sagu banyak dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di wilayah timur. Namun ada sagu yang berasal dari belahan barat Tanah Air, yakni di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Di Riau, kabupaten terpencil itu dikenal sebagai pengahsil sagu terkemuka.

Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Irwan Nasir terus mempopulerkan secara nasional besarnya potensi sagu yang dimiliki daerahnya dengan melakukan berbagai kunjungan ke luar Sumatera. Belum lama ini dia presentasi ke pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) di Jakarta.

"Kami ingin sampaikan bahwa petani sagu di (Kepulauan) Meranti sedang merasakan dampak dari pandemi COVID-19. Padahal sagu memiliki potensi ekonomi yang sangat besar," katanya di depan Sekjen HKTI Mayjen (Purn) Bambang Budi Waluyo dan beberapa sejumlah pengurus lainnya akhir tahun lalu.

Menurut dia, sagu bisa menjadi pangan seperti beras mengingat produksinya lebih stabil karena bisa dipanen sepanjang tahun. Di lain pihak, ketergantungan pada beras impor yang semakin meningkat dan harganya pun semakin meloncat.

"Lahan padi kita semakin berkurang dan panennya pada waktu tertentu. Terlebih lagi banyak kendala seperti gagal panen dan hama. Namun, sagu lebih konstan karena bisa dipanen sepanjang tahun dan bisa ditanam kapanpun," paparnya.

Irwan berharap HKTI juga ikut membina petani sagu mengingat luas areal sagu di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, terutama di Papua. Jika dikelola dengan baik maka sagu tidak hanya dapat mewujudkan ketahanan pangan nasional tetapi juga dapat mewujudkan kedaulatan pangan di Tanah Air.

"Saat ini perlu kerjasama semua pihak dalam hilirisasi dan pemasaran olahan sagu. Kami di Meranti memang sudah bisa ekspor namun justru konsumsi sagu dalam negeri masih rendah," tuturnya.

Di sisi lain, sagu bisa diolah menjadi sagu parut kering (sapuring) yang dapat dijadikan pakan ternak. Ini perlu dukungan semua pihak agar dapat membantu pengembangan sagu.

Bupati Irwan Nasir banyak memaparkan potensi ekonomi sagu dalam mengawal pertumbuhan ekonomi Kepulauan Meranti. "APBD kami hanya sekitar Rp1,3 triliun rupiah per tahun, sementara transaksi sagu mencapai dua triliun rupiah per tahun," kata Bupati.

Baca juga: Mempertahankan sagu bahan pangan asli Papua yang bergizi tinggi

Menurutnya, dalam hal kebijakan pemerintah, sagu bagaikan anak tiri. Di antaranya kebijakan penghentian izin dan penundaan izin baru (PIPIB) dari KLHK terhadap lahan-lahan yang banyak ditumbuhi sagu.

"Ini tentu menyulitkan petani sagu dan dunia usaha yang bergerak di bidang persaguan," ujarnya.

Hal lain yang dianggap sangat perlu, katanya, adalah pemasaran sagu. Irwan berharap Bulog ikut andil agar petani sagu dapat berkembang seperti petani beras dan tanaman lainnya.

Dengan kehadiran Bulog membeli sagu dari petani, tentu harga sagu dapat bersaing dan mensejahterakan petani. Terlebih sagu juga bisa berfungsi menjaga lingkungan dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan merupakan pangan sehat sehingga sagu bukan saja menjaga ketahanan pangan tetapi juga kedaulatan pangan Tanah Air.

Sementara Sekjen HKTI Bambang Waluyo menuturkan bahwa masyarakat perlu kesadaran bahwa pangan itu bukan hanya beras tetapi ada sagu yang lebih sehat.

"Kita perlu menindaklanjuti apa yang disampaikan Bupati. Ketergantungan terhadap beras memang perlu solusi, dan ini solusi terbaik dari Kepulauan Meranti," ungkapnya.


Defisit beras


Kementerian Pertanian RI melaporkan daerah yang mengalami defisit beras sampai saat ini mencakup empat provinsi yakni Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Maluku Utara.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau Hardianto juga mengaku prihatin dengan krisis pangan yang terjadi di tengah pandemi COVID-19. Menurutnya, pemerintah harus segera mengambil sikap agar kelangkaan beras tidak menimbulkan permasalahan baru di tengah masyarakat yang sangat disulitkan dengan bencana ini.

"Cukup memprihatinkan di tengah pandemi, kita malah dihadapkan dengan defisit beras. Ini tentu sangat dilematis karena Provinsi Riau hingga hari ini masih sangat bergantung pada provinsi tetangga untuk menyuplai kebutuhan beras," ucap Hardianto.

Hardianto menyarankan, agar Pemprov Riau dan Pemda kabupaten/kota menghidupkan kembali sentra pertanian dengan memberikan stimulus kepada petani untuk berproduksi.

Baca juga: Produktivitas rendah, Kementan akan perluas areal tanaman sagu

"Berikan dorongan stimulus pada petani. Kita hidupkan lagi sentra pertanian yang semula tidak jalan. Ini bisa dikerjakan. Karena kita tidak punya pilihan lain, kalau cetak sawah berkaitan dengan waktu dan anggaran yang tidak memungkinkan untuk dilakukan saat ini," ucap politisi Gerindra itu.

Dia juga menyarankan agar Pemerintah daerah untuk melirik sagu sebagai sumber pangan alternatif. Dimana, Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi daerah penghasil sagu terbesar di Indonesia sehingga komoditi ini bisa dimanfaatkan di tengah krisis pangan.

"Saat ini kan perkebunan sagu terbesar berada di Kepulauan Meranti. Nah mungkin saja, bisa dijadikan komoditas pangan alternatif," ucapnya.

Provinsi Riau merupakan penghasil sagu terbesar di Sumatera dan produktivitas sagu lahan gambut terdapat di Kabupaten Kepulauan Meranti, bisa mencapai 20 ton tepung per hektare dalam setahun sehingga bisa menjadi alternatif komoditas ekspor di masa mendatang.

Provinsi Riau telah menjadi salah satu produsen sagu paling besar di Indonesia. Potensi luas lahan gambut yang bisa dimanfaatkan untuk perkebunan Sagu juga sangat besar. Jika luas daratan Riau mencapai 86.411,90 km2, maka sekitar 47.526, 55 km2 (kurang lebih 55 persen) di antaranya merupakan hutan rawa gambut.


Tangkal COVID-19

Di tengah mewabahnya COVID-19, muncul alternatif untuk mengatasi virus berbahaya itu. Salah satunya nasi sagu rempah yang dipercaya mengandung antioksidan tinggi dan mampu mencegah COVID-19.

Akademisi Universitas Trisakti Dr Saptaring Wulan saat berkunjung ke Kepulauan Meranti belum lama ini mengemukakan produk sagu Meranti yang diolah menjadi nasi rempah menggunakan bahan asli Nusantara selain mempengaruhi aroma dan rasa, juga sebagai sumber antioksidan untuk tubuh yang bisa menangkal virus Corona.

Selain mi sagu yang kini tengah naik daun sebagai makanan populer di Indonesia, dia mengatakan ternyata sagu bisa diolah menjadi butiran beras untuk diolah menjadi nasi. Upaya pengembangan dan penelitian sagu menjadi butiran beras itu berlangsung sejak 2017 silam dengan melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Seiring waktu berjalan, hasil riset yang dia lakukan ternyata nasi sagu rempah kaya akan bahan antioksidan karena bumbu rempah yang digunakan seperti cengkeh, kapulaga, kayu manis, serai, jahe dan bermacam rempah lainnya. "Nah rempah-rempah itu yang mengandung antioksidan tinggi," ujarnya.

Selain itu, dia juga mengaku bahwa nasi sagu sangat baik untuk pengganti beras padi bagi pada penderita diabetes karena kandungan glukosa yang lebih rendah. Untuk itu, dia mengatakan akan terus berupaya mendorong sagu sebagai bahan makanan utama dan diterima masyarakat Indonesia dengan baik.

Sudah saatnya sumber pangan alternatif digalakkan di tengah kondisi seperti saat ini. Selain konsumsi sagu yang menyehatkan, produksi sagu yang masif juga bisa menggerakkan roda ekonomi masyarakat dengan dukungan penuh pemerintah.

Dari sagu bisa tercipta ratusan produk makanan lainnya yang siap bersaing. Dari Kepulauan Meranti, sagu siap menyongsong sumber pangan baru.

Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021