Mereka pantas disebut gugur karena meninggal dunia saat menjalani tugas-tugas kemanusiaan, bagaikan seorang prajurit di medan perang. Seorang perawat wanita, misalnya, ada yang sampai dua bulan tidak bisa pulang karena harus melayani pasien di rumah sakit gara-gara virus corona. Bahkan, ada pula kisah seorang dokter yang gugur menjelang hari pernikahannya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin baru- baru ini mengungkapkan bahwa lebih dari 600 tenaga kesehatan, mulai dari dokter hingga perawat, telah meninggal dunia akibat proses membantu para penderita COVID-19. Budi Gunadi amat berharap agar rakyat Indonesia menghormati pengorbanan para nakes tersebut.
Dalam upaya menekan penyebaran COVID-19, Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta pada Rabu, 27 Januari 2021, untuk kedua kalinya telah menerima vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh China dan kemudian ditangani PT Bio Farma (Persero) di Bandung, Jawa Barat.
Kepala Negara dalam kesempatan itu mengatakan bahwa masyarakat juga bisa diberi suntikan vaksin ini mulai bulan Februari mendatang. Saat ini yang diutamakan adalah tenaga kesehatan, kemudian anggota Polri dan TNI. Diperkirakan jumlah warga Indonesia yang harus divaksin antara 170 juta hingga 171 juta jiwa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan biaya pembelian vaksin serta vaksinasi adalah kurang lebih Rp73 triliun. Jadi, rakyat bisa membayangkan betapa besarnya biaya menanggulangi virus corona ini. Pemerintah harus “gali lobang, tutup lobang“ untuk mengatasi rakyat yang terkena virus yang berasal dari Kota Wuhan, China.
Yang sekarang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah seluruh rakyat Indonesia sudah mendukung langkah-langkah pemerintah pusat dan daerah untuk memberantas penyakit berbahaya ini?.
Rakyat di mana pun berada telah diminta untuk menerapkan protokol kesehatan 3M yaitu memakai masker, mencuci tangan secara teratur hingga menjaga jarak.
Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kewajiban untuk memakai masker saja, masih banyak warga di berbagai kota yang tidak mematuhinya. Di Jakarta saja, umpamanya setiap hari dilaksanakan Operasi Yustisia oleh Satpol PP Pemda DKI Jakarta yang didukung oleh Polri dan TNI terhadap warga yang tidak memakai masker. Mereka disuruh memilih apakah denda Rp 250.000 atau kah membersihkan alias menyapu jalan di sekitar mereka ditangkap.
Baca juga: Menkes : Momen untuk berduka dan bekerja sangat keras
Baca juga: Angka kematian nakes akibat COVID-19 memuncak di Desember
Baca juga: 10 hari dirawat, bidan positif COVID-19 di Tulungagung meninggal
Rendahnya disiplin
Banyaknya warga yang dipergoki tidak menggunakan masker secara langsung ataupun tidak langsung menunjukkan bahwa disiplin masyarakat masih rendah. Dalih mereka beraneka ragam misalnya lupa membawa masker, atau jarak perjalanan mereka hanya dekat sehingga dia merasa “tanggung” mengenakan alat untuk menutupi hidung dan mulut mereka sendiri.
Hingga Rabu, 27 Januari 2021, di Tanah Air telah tercatat 1.024.298 orang telah terkena virus menakutkan ini. Sementara itu, kurang lebih 28.000 orang meninggal dunia. Mau atau sudikah orang-orang yang menolak memakai masker itu kehilangan ayah, ibu, kakak atau adiknya gara-gara corona?.
Pemerintah telah menerapkan berbagai program pengendalian misalnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kemudian Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Melalui penerapan PSBB dan PPKM tersebut, misalnya, waktu untuk mengunjungi mal, pusat belanja, hingga restoran atau warung makan dibatasi alias dikendalikan.
Pemerintah tentu berharap agar bertemunya warga apalagi dalam jumlah banyak, bisa dibatasi sehingga berkurangnya kontak fisik (social distancing). Kemudian dengan memakai masker maka sangat diharapkan sangat berkurangnya tersebarnya virus korona dalam setiap pembicaraan antarorang.
Akan tetapi pada kenyataannya masih saja terjadi pelanggaran oleh begitu banyak oknum masyarakat. Ada saja acara pernikahan yang mendatangkan puluhan undangan bahkan ratusan orang sehingga harus dibubarkan Satpol PP bersama anggota Polri dan TNI. Lalu harus bagaimana?
Pemerintah berusaha dengan baik-baik untuk mengajak rakyat guna menekan berkembangnya virus corona yang berbahaya tersebut. Namun tetap saja ada yang menolak, bahkan membangkang.
Para pejabat rasanya tidak mungkin bertindak keras atau kasar terhadap warga yang masih saja melanggar peraturan. Jadi, betapapun juga aparat pemerintah tidak boleh bosan-bosannya melakukan pendekatan bersifat kemanusiaan terhadap para warga itu.
Pemerintah bisa mengundang para sosiolog, pakar psikolog serta banyak pakar lainnya agar ikut aktif membantu pejabat-pejabat guna mendekati dan “merayu” rakyat agar memahami betul persoalan berat yang kini dirasakan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.
Mintalah para pakar itu untuk menemui masyarakat dan yakinkan semua WNI untuk aktif dan agresif memberantas virus ganas ini. Masak rakyat tidak mau mendengarkan nasihat-nasihat para jagoan berbagai keilmuan itu. Di negara mana pun juga, petuah para ilmuwan pasti didengar dan diikuti oleh masyarakatnya.
Pemerintah harus terus meyakinkan masyarakat bahwa COVID-19 tidak terselesaikan hanya dalam waktu satu hari, satu minggu bahkan satu bulan saja. Setiap warga bisa berperan aktif sesuai dengan kemampuannya masing- masing sehingga akhirnya COVID-19 bisa enyah dari Sabang hingga Merauke. Jadi setiap WNI harus ikut aktif untuk menyingkirkan virus corona.
Masyarakat jangan membayangkan semua pejabat boleh hanya bekerja sendirian, karena dukungan rakyat sangat mutlak. Ingatlah pengorbanan ratusan tenaga kesehatan yang gugur itu bukan demi diri mereka sendiri melainkan untuk rakyat dan negara,
*) Arnaz Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982—2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987-2009.
Baca juga: Presiden gelar ratas bahas kasus positif COVID-19 yang tembus 1 juta
Baca juga: Tujuh wafat, IDI Aceh sebut 400 tenaga kesehatan positif COVID-19
Baca juga: 199 Nakes di Riau terpapar COVID-19, satu meninggal
Copyright © ANTARA 2021