Kendari (ANTARA) - Provinsi Sulawesi Tenggara yang terdiri dari 17 kabupaten kota sering dijuluki dengan sebutan Bumi Anoa. Saat ini dihuni sekitar 2,62 juta jiwa dengan wilayah terdiri atas daratan dan kepulauan, kemudian masih tergolong daerah agraris karena sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani.
Sebagai daerah agraris, tidak heran kalau berbagai komoditas perkebunan dan pertanian unggulan tumbuh di seluruh provinsi yang berdiri sejak tahun 1964.
Komoditas tanaman mete menjadi salah satu produk primadona di daerah itu, sehingga olahan biji mete yang disebut kacang mete menjadi oleh-oleh atau buah tangan terpopuler bagi setiap tamu luar Sultra yang berkunjung di daerah itu.
Tanaman mete tumbuh tersebar di 17 kabupaten kota di Sultra, bahkan menjadi tanaman penopang ekonomi warga yang berprofesi petani di daerah yang juga dikenal sebagai penghasil tambang nikel terbesar di Indonesia tersebut.
Sederet tanaman perkebunan lainnya juga menjadi komoditi unggulan di daerah itu, seperti tanaman kakao, pala, cengkih, padi, jagung, lada, kedelai, kelapa, nilam, kemiri dan kelapa sawit.
Seluruh komoditas tersebut memiliki kecocokan dengan tanah di Sultra, sehingga komoditas itu bisa dengan mudah ditemukan tumbuh di 17 kabupaten kota.
Menurut Kepala Balai Karantina Kendari, Prayitno Ginting, selama 2020 ada 12 komoditas tanaman perkebunan unggulan Sultra yang memiliki potensi ekspor atau menembus pasar internasional yakni minyak nilam, kelapa bulat, kopra, tepung kelapa, kemiri, cengkeh, kakao biji, biji mete, beras, jagung dan lada biji.
Potensi ekspor untuk 12 komoditas unggulan Sultra tersebut pada tahun 2020 totalnya mencapai 183.294 ton. Yang terbesar adalah Jagung sebanyak 60.320 ton, beras 31.991 ton, kopra 28.329 ton, mete biji 15.618 ton.
Selanjutnya, lada biji, 4.821 ton, cengkeh 7.707 ton, kakao biji 11.986 ton, kemiri 1.881 ton, kelapa bulat 12.989 ton, tepung kelapa 836 ton, minyak nilam 65 ton dan inti kelapa sawit 6.747 ton.
Tetapi dari 12 komoditas unggulan itu selama 2020 hanya empat komoditas yang diekspor yakni kacang mete, biji lada, kakao cair dan kelapa serabut dengan total volume ekspor 196,1 ton dengan negara tujuan Tiongkok, India, Jerman, Malaysia dan Vietnam.
Ini menjadi tantangan, peluang dan harapan bagi para pelaku usaha eksportir yang ada di Sultra agar mencari celah dan jalan sehingga bisa mengirim langsung berbagai komoditas perkebunan unggulan tersebut ke luar negeri menggunakan fasilitas yang sudah dibangun oleh pemerintah yakni Pelabuhan Kendari New Port, dibading harus diantarpulaukan ke kota-kota lain di Indonesia.
Dengan ekspor langsung, maka barang tidak perlu lagi diangkut ke, Makassar, Surabaya atau Tanjung Priok Jakarta lalu dipindahkan ke kapal lainnya, sehingga efisiensi biaya.
Kendari New Port
Selama ini kalau ke Surabaya atau Tanjung Priok dua kali turun naik kapal dan akan kena biaya pemindahan. Tapi dengan ekspor langsung maka komoditas yang mau diekspor bisa langsung sekali jalan ke negara akhir tujuan, sehingga keuntungan yang didapat pengrajin atau pengusaha meningkat.
Pemerintah melalui instansi terkait, seperti Bea Cukai, Karantina Pertanian, Dinas Perindag, Pelindo telah berkomitmen memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi dan dokumen ekspor kepada para pengusaha eksportir melalui pelabuhan Kendari New Port.
General Manager PT Pelindo IV (Persero) Cabang Kendari, Debby Duakaju, Pelabuhan Kendari New Port yang beroperasi sejak Maret 2019 lalu, langsung melayani pengiriman perdana komoditas ekspor serabut kelapa ke Tiongkok yang digunakan sebagai bahan baku jok mobil, spring bed dan sebagainya.
Pelabuhan Kendari New Port yang dibangun dengan total anggaran Rp936 miliar yang bersumber PT Pelindo sebanyak Rp301 miliar dan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp635 miliar telah menjadi kebanggaan masyarakat Sultra.
Dengan hadirnya pelabuhan ini, menjadi pintu bagi Sultra untuk memperkenalkan langsung komoditas unggulan ke tingkat internasional, dan d isisi lain bisa menekan atau mengurangi komoditi yang diantarpulaukan ke beberapa pelabuhan kota besar yang ada di Indonesia.
Karena komoditas yang diantarpulaukan tersebut, ketika di eksor ke negara lain, maka tidak memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekspor Sultra, karena komoditas itu tercatat sebagai ekspor daerah lain. Bila komoditas itu diekspor langsung dari Kendari, tentunya harga pembelian bahan baku ekspor itu akan lebih menguntungkan bagi petani.
Seyogyanya jika 12 komoditas unggulan Sultra itu dikelola secara maksimal termasuk pengelolaan dan pemasaraanya, maka bisa memberikan dampak ekonomi yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi bagi daerah.
Kalau perekonomian masyarakat dan daerah ini meningkat, maka dampaknya bisa menekan angka kemiskinan daerah ini berada di bawah 10 persen. Dengan menggenjot produksi pertanian dan perkebunan yang didukung pemasaran hingga ke luar negeri, harapan menekan angka kemiskina itu bisa tercapai.
Kepala BPS Sultra Agnes Widiastuti mengatakan Sultra jumlah penduduk miskin atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2020 adalah 301,82 ribu orang sekitar 11,00 persen, naik sebesar 1,85 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2019 yang berjumlah 299,97 ribu orang sekitar 11,04 persen.
Dibutuhkan kolaborasi peran antara petani, pemerintah dan pengusaha agar seluruh komoditas andalan kita tersebut semuanya mampu menembus pasar global. Semua elemen harus menambil peran siapa berbuat apa.
Pemerintah harus terus merangsang para petani melalui berbagai program, dan bantuan agar petani bisa lebih meningkatkan produksi pertaniannya, pemerintah bersama pengusaha harus memastikan pasar bagi produk tersebut.
Semoga komoditas perkebunan dan pertanian Sultra menjadi pilar penting dari semangat pemerintah setempat menjadikan Sultra sebagai masa depan Indonesia.
Baca juga: Sultra butuh tingkatkan pembangunan infrastruktur untuk genjot ekspor
Baca juga: Teten Masduki sebut produk UMKM Sultra memiliki pontensi ekspor
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021