"Cukai sebagai instrumen utama yang langsung mempengaruhi industri rokok, terutama terhadap harga. Memang tidak terlalu elastis, tetapi kalau naik signifikan akan dapat menurunkan konsumsi rokok," kata Faisal dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta secara daring, Senin.
Faisal mengatakan pemerintah memang telah menaikkan cukai rokok. Namun, industri rokok mampu menahan agar kenaikan tersebut tidak sepenuhnya dibebankan kepada konsumen.
Akibatnya harga rokok di tingkat ritel tidak naik proporsional sehingga kenaikan cukai yang telah dilakukan tidak berdampak pada konsumsi rokok secara signifikan.
"Di desa, banyak iklan rokok berupa spanduk-spanduk yang mengiklankan harga tidak sampai Rp10.000 per bungkus. Mereka melakukan penetrasi sampai ke desa-desa. Tidak tahu itu iklannya bayar atau tidak," tuturnya.
Faisal mengatakan konsumsi rokok sulit diturunkan karena industri rokok masih menjadi salah satu andalan untuk penerimaan keuangan negara melalui pajak dan cukai.
Pada 2020, realisasi penerimaan cukai tembakau mencapai 103,21 persen yang berarti melampaui target penerimaan cukai yang ditetapkan pemerintah.
"Padahal, industri pengolahan tembakau sepanjang Januari 2020 hingga September 2020 mengalami kontraksi 4,06 persen," katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Indonesia Vid Adrison mengatakan tujuan pengenaan cukai pada suatu barang dan jasa berbeda dengan pengenaan pajak.
"Tujuan utama cukai adalah pengendalian konsumsi, dengan efek penerimaan negara. Bila penerimaan dari cukai tinggi, apakah bisa diartikan sebagai hal yang baik? Penerimaan tinggi berarti konsumsinya tinggi. Padahal tujuannya adalah mengendalikan konsumsi," katanya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021