tidak semua daerah di Papua cocok ditanami padi. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan beras di Papua harus ditopang pasokan beras dari luar Papua
Jayapura (ANTARA) - Sagu merupakan salah satu makanan pangan lokal pokok bagi masyarakat di Papua yang memiliki kandungan gizi tinggi namun belum menjadi bahan makanan utama warga di wilayah Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia itu.
Meski Sagu sebagai salah satu makanan pokok masyarakat di wilayah Papua dan memiliki nutrisi yang baik bagi tubuh namun sebagian warga Papua menjadikan sagu sebagai makanan pendamping selain beras.
Berdasarkan data catatan halo dokter disebutkan, di dalam sagu terdapat karbohidrat dalam jumlah yang cukup banyak. Selain itu, bahan ini juga memiliki protein, vitamin, dan mineral, meski jumlahnya tidak banyak.
Dalam 100 gram sagu kering, terdapat 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium, dan 1,2 mg zat besi. Kalori yang dihasilkan 100 gram sagu adalah sebanyak 355 kalori.
Meski sagu mengandung lemak, karoten, dan asam askorbat, namun jumlahnya sangat sedikit sehingga sering kali diabaikan, pemanfaatan sagu selain sebagai makanan pokok
Menurut data, beberapa manfaat dari sagu dengan bahasa Latin, Metroxylon sagu Rottb. di samping sebagai makanan pokok juga sebagai bahan pembuat glukosa.
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa tepung sagu di Malaysia dijadikan sebagai bahan dasar untuk memproduksi glukosa. Mengingat 90 persen lebih dari sagu adalah karbohidrat, maka hal tersebut sangat mungkin bisa dilakukan.
Sagu juga memberikan energi untuk aktivitas fisik. Pemakaian lain dari sagu ternyata juga dipakai untuk menunda rasa lelah ketika melakukan aktivitas fisik.
Sebuah penelitian bahkan mengungkapkan, kombinasi sagu dan protein dari kedelai berguna untuk memperkuat stamina tubuh ketika melakukan aktivitas fisik.
Penelitian ini membandingkan antara konsumsi campuran sagu dan protein kedelai, dengan konsumsi karbohidrat dalam bentuk suplemen.
Hasilnya menunjukkan bahwa kombinasi dari sagu dan protein kedelai bisa menunda munculnya rasa lelah pada orang yang melakukan kegiatan olahraga dengan intensitas yang tinggi.
Sagu juga sebagai pakan ternak, sagu merupakan salah satu bahan yang mudah didapat, murah, dan memiliki kandungan nutrisi yang baik bagi hewan ternak.
Tidak hanya dalam sektor peternakan, sagu juga banyak digunakan dalam industri pangan. Tepung sagu kerap dipakai sebagai bahan pengental, penebal, hingga penambah tekstur pada aneka kue dan makanan ringan.
Manfaat lain sagu sebagai bahan pangan ini juga memiliki peranan yang cukup signifikan dalam industri tekstil.
Sagu digunakan sebagai pengikat serat, sehingga membuat mesin lebih mudah melakukan pemintalan. Kemampuan sagu dalam mengikat kumpulan serat akan memudahkan proses pembuatan kain sebagaimana yang diinginkan.
Jika kita teliti, kain atau pakaian yang baru biasanya mengandung sisa-sisa sagu yang akan hilang setelah dicuci. Tak hanya itu, saat ini sagu juga sudah digunakan sebagai bahan pembuat plastik ramah lingkungan (biodegradable).
Potensi dan prospek Sagu memiliki potensi yang paling besar untuk digunakan sebagai makanan pengganti beras.
Keuntungan sagu dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya adalah tanaman sagu atau hutan sagu sudah siap dipanen bila diinginkan.
Pohon sagu dapat tumbuh dengan baik di rawa-rawa dan pasang surut, dimana tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar tumbuh.
Syarat-syarat agronominya juga lebih sederhana dibandingkan tanaman lainnya dan pemanenannya tidak tergantung musim. Kandungan kalori pati sagu setiap 100 gram ternyata tidak kalah dibandingkan dengan kandungan kalori bahan pangan lainnya.
Perbandingan kandungan kalori berbagai sumber pati adalah (dalam 100 g): jagung 361 Kalori, beras giling 360 Kalori, ubi kayu 195 Kalori, ubi jalar 143 Kalori dan sagu 353 Kalori.
Pohon sagu banyak dijumpai diberbagai daerah di Indonesia, terutama di Indonesia bagian timur dan masih tumbuh secara liar.
Diperkirakan luas areal tanaman sagu di dunia kurang lebih 2.200.000 hektare, 1.128.000 hektare diantaranya terdapat di Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 7.896.000 – 12.972.000 ton pati sagu kering per tahun.
Umumnya teknologi pengolahan pohon sagu menjadi pati sagu, di Indonesia masih dilakukan secara tradisional dilakukan masyarakat asli Papua.
Negara pengimpor membutuhkan puluhan ribu ton pati sagu tiap-tiap tahunnya untuk dibuat sirup glukosa, sirup fruktosa, sorbitol dan lain-laim
Produk-produk makanan sagu tradisional dikenal dengan nama papeda, sagu lempeng, buburnee, sagu tutupala, sagu uha, sinoli, bagea, dan sebagainya.
Sagu juga digunakan untuk bahan pangan yang lebih komersial seperti roti, biskuit, mie, sohun, kerupuk, hunkue, bihun, dan sebagainya. Pati sagu dalam industri digunakan
Pangan lokal
Pemerintah Provinsi Papua sesuai dengan arah kebijakan Gubernur Papua Lukas Enembe membangun Papua berdasarkan potensi dan kearifan lokal di lima wilayah adat, maka Sagu yang sejak lama menjadi bahan pangan lokal bagi masyarakat adat pesisir Papua.
Seperti diketahui sagu memiliki berbagai manfaat, termasuk melindungi sistem percernaan dan mengobati asam lambung. Akan tetapi, sagu menjadi semakin jarang dikonsumsi masyarakat di Papua, karena kalah popular dibandingkan beras.
Namun, tidak semua daerah di Papua cocok ditanami padi. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan beras di Papua harus ditopang pasokan beras dari luar Papua.
Mama Ike, penjual sagu di pasar Hamadi Jayapura mengakui, pembeli sagu yang dijualnya biasanya dari kalangan warga asli Papua sendiri.
"Masyarakat asli Papua sudah familiar dengan sagu, ya meski saat ini masih suasana pandemi COVID-19 namun makanan lokal ini masih diminati warga Papua," katanya.
Ia mengakui, harga jual sagu asli khas Papua tidak terlau mahal di pasaran dijual berkisar Rp20 ribuan per bungkus ukuran plastik sedang.
"Saya berjualan sagu tidak banyak setiap harinya di pasar Hamadi Kota Jayapura karena pembelinya dari masyarakat yang membutuhkan di luar kota Jayapura.
Sementara itu, Sagu adalah tanaman lokal khas Papua di negeri Cenderawasih sebagai tanaman penghasil pati dari family Arecaceae ini merupakan menu makanan lokal bergizi tinggi yang dapat diolah menjadi varian cemilan.
Tanaman sagu di wilayah bumi Cenderawasih tersebar luas di sejumlah daerah. Bahkan, tanaman sagu Indonesia menyumbang 85 persen dari total lahan sagu dunia.
Berbagai penelitian dan sosialisasi dilakukan Kementerian Pertanian melalui BPTP Balitbangtan Papua maupun Pemkab di Provinsi Papua yang bertujuan untuk mengangkat, melestarikan dan membudidayakan sagu di Papua.
Peneliti yang sangat tertarik terhadap budidaya tanaman pangan lokal Papua Dr Alberth Soplanit mengakui, tim melakukan pengumpulan bibit sagu untuk dilakukan kajian agronominya.
Adapun kajian tersebut hendak melihat metode pembibitan yang sesuai dengan kondisi spesifik lokasi (speklok) untuk pertumbuhan sagu.
Dua metode yang dikaji adalah pertama metode pembibitan menggunakan Polybag yang diletakkan dalam rumah kaca, naungan paranet serta tanpa penaung di lapang serta kedua metode pembibitan di habitat aslinya dengan cara perendaman di rakit yang diletakkan di dusun sagu pada area air mengalir.
Laboratorium Balitbangtan BPTP Papua, dusun sagu kampung Kuadewar dan dusun sagu kampung Sabron menjadi tempat dilaksanakannya perlakuan pembibitan sagu di rakit.
Empat hari setelah peringatan Hari Sagu III yang jatuh pada 21 Juni 2019, dilakukan kegiatan pertama yang meliputi pembibitan pada polybag di area Labpratorium Balitbangtan BPTP Papua.
Sebelum ditempatkan pada polybag, pengambilan data karakteristik agronomi pada 100 anakan sagu (sucker) dikerjakan oleh Tim Sagu.
Kegiatan tersebut meliputi pemangkasan sucker (anakan sagu), penimbangan awal bobot sucker, perhitungan jumlah akar primer, akar sekunder dan akar primer terpanjang, serta diameter bongkol.
Untuk memperoleh data pengamatan yang valid terhadap berat awal, anakan sagu lebih dahulu dicuci sehingga tidak terdapat tanah menempel pada anakan sagu. Tidak hanya itu, pencegahan terhadap infeksi penyakit pun tidak luput dari fokus tim kajian sagu.
Setiap anakan setelah diambil data agronominya, direndam dalam larutan campuran fungisida untuk mencegah infeksi jamur dan untuk kemudian dilabeli guna mempermudah pengamatan.
Perlakuan kedua dan ke tiga yaitu metode rakit pada air mengalir dilakukan dengan mengambil data karakteristik agronomi yang sama seperti metode dengan polybag pada masing-masing 300 anakan di Dusun Kampung Kuadewar dan 200 anakan di Dusun Kampung Sabron.
Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Tenaga Kerja Omah Laduani Ladamay mengakui, sagu Papua tidak saja menjadi kebutuhan pangan lokal Papua semata tetapi telah menjadi pangsa bisnis yang sangat menjanjikan ke depan.
"Pada pameran pekan sagu di Jakarta Provinsi Papua mendapatkan rekor MURI, karena itu potensi sagu yang begitu melimpah di Papua harus bisa memberikan manfaat secara ekonomis bagi warga asli Papua,"harapnya.
Di tengah pandemi COVID-19 pemanfaatan pangan lokal asli Papua, tanaman sagu telah menjadi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan makanan bagi masyarakat Papua.
Pengembangan tanaman sagu di Papua diharapkan tidak saja menjadi solusi bagi warga untuk pemenuhan kebutuhan pangan lokal tetapi sebagai bukti nyata akan keberpihakan pemerintah dalam melindungi tanaman sagu sebagai salah satu menu kebutuhan lokal asli warga Papua.
Pemanfaatan sagu saat ini tidak hanya sebagai makanan pokok. Banyaknya pemanfaatan sagu tersebut sebaiknya diiringi dengan pemeliharaan lingkungan yang baik, agar tanaman tersebut tetap dapat dilestarikan di tanah Papua sebagai penyedia kebutuhan pangan masyarakat asli Papua.
Baca juga: Pelaku usaha ungkap potensi pengembangan sagu Papua dan tantangannya
Baca juga: Bulog luncurkan produk baru mie sagu pada Pekan Sagu Nusantara
Baca juga: Penerbitan izin pembangunan kawasan hutan sagu dilarang Pemprov Papua
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021