Jakarta (ANTARA) - Salah satu tugas DPR dalam sistem politik nasional adalah menjalankan fungsi legislasi, yaitu bersama pemerintah dan DPD menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) lalu disahkan menjadi UU.
Namun kinerja parlemen khususnya dalam bidang legislasi, banyak disorot masyarakat, sorotan tersebut beragam, ada yang terkait kualitas RUU maupun kuantitas yang dipertanyakan dalam capaiannya selama setahun bekerja.
Sebelum DPR bersama pemerintah dan DPD membahas sebuah RUU, DPR khususnya di Badan Legislasi menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, berisi daftar RUU yang akan dibahas selama setahun kedepan. Penyusunan Prolegnas tersebut melibatkan tiga unsur, DPR, pemerintah, dan DPD dengan mempertimbangkan masukan dari masyarakat.
Penyusunan Prolegnas Prioritas 2021 sebenarnya masih menjadi sorotan masyarakat karena telat diambil keputusan untuk disahkan, biasanya DPR bersama pemerintah dan DPD menetapkan Prolegnas pada bulan Desember atau sebelum pergantian tahun.
Karena itu tugas legislasi DPR bersama pemerintah dan DPD yang belum diselesaikan di Masa Persidangan II atau pada akhir 2020 adalah menetapkan Prolegnas Prioritas 2021.
Proses penetapan Prolegnas Prioritas 2021 sebenarnya sudah dibahas di tingkat Panitia Kerja Baleg DPR pada 17 November 2020 telah menginventarisir 37 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Lalu dilanjutkan dengan Rapat Panja Baleg DPR pada 25 November yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, dan perwakilan DPD, dengan agenda penetapan Prolegnas Prioritas 2021.
Dalam Rapat Panja pada 25 November 2020 itu, Baleg telah menginvetarisir 38 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Dari 38 RUU tersebut dengan rincian 26 RUU usulan dari DPR, 10 RUU usulan dari pemerintah dan 2 RUU usulan dari DPD.
Namun rapat tanggal 25 November tersebut belum berhasil mengambil kesepakatan terkait Prolegnas 2021 dan direncanakan pengambilan keputusan pada Jumat (27/11) namun rapat batal.
Hingga akhir penutupan Masa Sidang II Tahun Sidang 2020-2021 pada 11 Desember 2020, keputusan akhir terkait 38 RUU tersebut belum tercapai sehingga penetapan Prolegnas Prioritas 2021 harus ditunda.
Penundaan penetapan Prolegnas 2021 itu disebabkan karena masih adanya tiga RUU yang menjadi perdebatan dan polemik yaitu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU Bank Indonesia.
RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi usul inisiatif anggota DPR RI tidak lolos dari proses harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan di Baleg DPR. Hal itu karena dalam Rapat Panja RUU Ketahanan Keluarga di Baleg DPR, lima fraksi menyatakan menolak RUU tersebut dan empat fraksi menerima.
RUU HIP juga mendapatkan penolakan dari beberapa fraksi karena dikhawatirkan kalau tetap dilanjutkan pembahasannya akan menimbulkan polemik sehingga membutuhkan kajian yang lebih mendalam.
Sementara itu, terkait RUU Bank Indonesia, enam fraksi meminta RUU tersebut dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2021 karena materi dalam RUU tersebut sudah tercakup dalam RUU Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dengan metode omnibus law yang telah masuk dalam 38 RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas 2021.
Target Prolegnas 2021 disahkan
Memasuki awal 2021, Baleg DPR bersama pemerintah dan DPD bergerak cepat untuk membahas masa depan Prolegnas Prioritas 2021 yang masih menjadi "pekerjaan rumah" yang belum terselesaikan, sehingga pada Kamis (14/1) mereka menggelar rapat kerja membahas hal itu.
Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, memimpin rapat kerja itu yang berlangsung pada malam hari dan dihadiri secara langsung oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dan Ketua Panitia Perancangan Undang-Undang DPD, Badikanita Sitepu.
Rapat itu diwarnai perdebatan masing-masing fraksi terkait sikap mereka mengenai beberapa RUU yang diusulkan masuk Prolegnas 2021 atau tidak.
Namun akhirnya Raker tersebut mengesahkan 33 RUU masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, terdiri dari 20 RUU usulan dari DPR; 9 RUU usulan dari Pemerintah; 2 RUU usulan bersama dari DPR dan Pemerintah; dan 2 RUU usulan dari DPD.
Pengesahan 33 RUU itu disertai dengan catatan kritis dari beberapa fraksi, misalnya Fraksi PDI Perjuangan memberi catatan yaitu pertama, fraksi itu setuju agar RUU yang hanya menunggu Surat Presiden, pembahasannya tetap dilakukan; kedua, meminta peninjauan kembali terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Fraksi Partai Golkar pun memberi catatan, seperti penolakan terhadap empat RUU dalam Prolegnas yaitu RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama (RUU tentang Perlindungan Kiai dan Guru Ngaji), dan RUU Minuman Beralkohol.
Fraksi Partai Golkar juga memberikan catatan terkait RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila), fraksi tersebut setuju apabila RUU itu hanya mengatur soal kelembagaan (BPIP).
Fraksi Partai Gerindra pun memberikan catatan yang sama terkait RUU BPIP, dan juga memberi catatan pada judul RUU Larangan Minuman Beralkohol, fraksi tersebut masih keberatan terkait kata "Larangan" dalam RUU itu.
Fraksi tersebut pun meminta RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama (RUU tentang Perlindungan Kiai dan Guru Ngaji) dengan harapan dapat lebih disempurnakan agar RUU tersebut dapat mencakup untuk semua pihak dan inklusif.
Catatan pun diberikan Fraksi Partai NasDem yang meminta Pemerintah, DPR RI, dan DPD RI dapat mendukung pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU tentang Pendidikan Kedokteran.
Meskipun Raker bersama antara Baleg DPR, pemerintah, dan DPD telah mengambil keputusan Tingkat I untuk pengesahan Prolegnas Prioritas 2021, namun harus dibawa dalam Rapat Paripurna DPR untuk diambil keputusan Tingkat II.
Namun sejak rapat kerja pada 14 Januari hingga saat ini, rapat paripurna untuk pengambilan keputusan tingkat II mengesahkan Prolegnas Prioritas 2021 belum juga dilaksanakan. Padahal sebuah kebijakan bisa dikatakan telah menjadi keputusan DPR apabila telah diambil keputusan tingkat II yaitu dalam Rapat Paripurna DPR.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Ahmad, menyebutkan, Rapat Paripurna dengan agenda pengesahan Prolegnas Prioritas akan dilaksanakan sebelum penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2020-2021.
Menurut dia, DPR urung mengagendakan Rapat Paripurna untuk pengesahan Prolegnas Prioritas 2021 pada Kamis (21/1) karena Badan Musyawarah DPR hanya menetapkan agenda yaitu pelantikan anggota DPR Pergantian Antar Waktu dan penyampaian laporan hasil uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri atas nama Komisaris Jenderal Polisi Listyo Prabowo yang dilanjutkan dengan pengambilan keputusan.
Masa Persidangan III Tahun Sidang 2020-2021 DPR dilaksanakan sejak 11 Januari hingga 10 Februari 2021, dan masa reses dilaksanakan pada 11 Februari hingga 7 Maret 2021.
Raker Baleg DPR bersama pemerintah dan DPD pada 14 Januari 2021 telah mengesahkan 33 RUU masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Dari jumlah itu terdiri dari usulan DPR sebanyak 21 RUU; pemerintah 10 RUU; dan DPD sebanyak 2 RUU.
RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2021, jumlahnya lebih sedikit dari jumlah Prolegnas Prioritas 2020 sebanyak 37 RUU.
Namun yang menjadi catatan adalah, dari 33 RUU yang ada di Prolegnas Priortas 2021, sebanyak 21 RUU telah ada dalam Prolegnas Prioritas 2020. Karena itu bisa dikatakan sebanyak 21 RUU yang tidak bisa diselesaikan di tahun 2020, lalu dipindahkan ke tahun 2021 untuk diselesaikan.
Sebanyak 21 RUU tersebut yaitu RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; RUU tentang Masyarakat Hukum Adat; RUU tentang Profesi Psikologi (Judul RUU berubah menjadi RUU tentang Praktik Psikologi); RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol; RUU tentang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama.
RUU tentang Pelindungan Data Pribadi; RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia; RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika; RUU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (dalam Prolegnas 2020-2024 tertulis: Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah).
RUU tentang tentang Ibukota Negara (Omnibus Law); RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila); RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan; dan RUU tentang Daerah Kepulauan.
Kuantitas legislasi selalu menjadi persoalan klasik yang dihadapi parlemen tiap tahunnya, disebabkan DPR bersama pemerintah dan DPD seringkali memasang target prestisius untuk menyelesaikan sebuah RUU untuk disahkan menjadi UU.
Sebagai contoh, dari 37 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2020, berdasarkan catatan yang ada, hanya ada 3 RUU yang berhasil disahkan menjadi UU yaitu UU tentang Mineral dan Batubara (Minerba), UU tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), dan UU tentang Bea Materai.
Hal yang patut dipertanyakan adalah apakah target prestisius kuantitas legislasi akan sejalan dengan produk legislasi yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.
Karena itu ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan secara matang oleh DPR, pemerintah dan DPD dalam menetapkan Prolegnas Prioritas. Misalnya target Prolegnas 2020 yang awalnya menetapkan 50 RUU, lalu direvisi menjadi 37 RUU, keputusan itu sangat logis karena di tahun 2020 Indonesia mengalami pandemi Covid-19 yang mulai sejak Maret 2020.
Lalu apakah dalam penyusunan Prolegnas 2021 sudah dipertimbangkan terkait pandemi Covid-19? Karena pandemi akan berdampak pada efektifitas pelaksanaan rapat-rapat di parlemen khususnya pembahasan RUU yang harus mengikuti pola kenormalan baru seperti penerapan protokol kesehatan secara ketat salah satunya rapat dilakukan secara virtual dan kehadiran fisik.
Selain itu, pembahasan beberapa RUU khususnya yang menjadi perhatian publik, pasti menimbulkan sikap pro dan kontra, bahkan berujung pada aksi massa secara besar-besaran.
Misalnya RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan yang pernah memicu aksi massa dalam jumlah besar untuk menyatakan penolakan pengesahan kedua RUU tersebut menjadi UU. Lalu ada juga RUU Ciptaker yang memicu aksi massa untuk menolaknya khususnya dari kalangan buruh.
Sikap pro dan kontra terhadap sebuah RUU yang sedang dibahas sebenarnya merupakan hal yang wajar karena dalam sistem demokrasi, perbedaan pendapat merupakan keniscayaan dan ada saluran yang bisa digunakan untuk menyampaikan kritik dan perbedaan pendapat tersebut.
Dalam konteks tersebut, seharusnya parlemen dan pemerintah membuka ruang yang lebih luas dari masyarakat untuk menyampaikan sikap yang pro dan kontra terhadap sebuah RUU, serta bisa mengakomodir keinginan rakyat tersebut.
Kalau dilihat dari list Prolegnas Prioritas 2021, setidaknya ada dua RUU yang kemungkinan akan mendapatkan sorotan masyarakat yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dan RUU BPIP.
Awalnya, RUU P-KS merupakan usul inisiatif Komisi VIII DPR yang awalnya masuk dalam Prolegnas 2020, namun saat evaluasi Prolegnas sekitar bulan Juni 2020, RUU itu dikeluarkan dari daftar Prolegnas 2020.
Beberapa kalangan menilai RUU tersebut bukan hanya mempermasalahkan kekerasan seksual yang sudah masuk dalam kategori darurat namun justru mengaitkannya dengan isu seks dan hubungan sesama jenis.
Saat ini RUU P-KS masuk dalam daftar Prolegnas 2021, dan ada lima fraksi yang sangat mendukung RUU tersebut yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai NasDem, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi PKB.
Selain itu, RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila), di periode lalu RUU tersebut diberi nama RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Saat itu sikap penolakan pun disampaikan beberapa organisasi keagamaan terkait RUU HIP seperti Muhammadiyah, MUI, dan NU.
Penolakan tersebut karena RUU HIP dinilai banyak kalangan telah mereduksi makna Pancasila yang utuh dengan lima sila yang disepakati bangsa Indonesia dan termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Selain itu menginginkan agar memasukan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran.
Karena itu sudah seharusnya tiap tahapan dalam proses pembahasan dan penyusunan RUU dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mudah diakses oleh masyarakat. Misalnya, masyarakat harus tahu apa isi dari sebuah RUU yang dibahas DPR bersama pemerintah dan DPD RI sehingga tidak menimbulkan kecurigaan di ruang publik.
Hal itu perlu dilakukan karena salah satu ciri parlemen modern adalah adanya keterbukaan dan transparansi dalam setiap proses pembahasan yang terkait masyarakat luas.
Selain itu, institusi legislatif dan eksekutif harus bijak dalam merespon kritikan dan masukan dari masyarakat terkait sebuah RUU, bahkan kalau diekspresikan melalui aksi massa, sikap melindungi harus dikedepankan dalam konteks penyampaian aspirasi dan pendapat.
Kedua institusi tersebut juga perlu mengakomodir masukan dan kritik tersebut, sehingga gelombang penolakan terhadap sebuah RUU semakin meluas dan tentu itu tidak baik apalagi Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021