Jakarta (ANTARA) - Peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja jangan sampai kontra produktif bagi pengembangan usaha mikro kecil dan menengah, kata Ketua Umum Kolaborasi Masyarakat Usaha Kecil dan Menengah (Komnas UKM) Sutrisno Iwantono.
"Kami melihat bahwa perumusan peraturan pemerintah belum sepenuhnya menampung aspirasi usaha mikro dan kecil," kata Iwantono dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Iwantono antara lain meminta agar PP memberikan kepastian bahwa pesangon tidak merupakan kewajiban bagi usaha mikro dan kecil, melainkan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja. Demikian juga mengenai besaran upah juga didasarkan atas kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja.
Sebab, katanya, pada kenyataannya usaha mikro dan kecil sudah pasti tidak akan mampu mengikuti peraturan yang berlaku bagi usaha menengah dan besar. "Kami minta agar Menteri Tenaga Kerja bersedia berdialog dengan kami," katanya.
Baca juga: Teten Masduki: UU Ciptaker momentum tumbuhkan UKM
Selanjutnya, Iwantono meminta usaha mikro dan kecil diberi kemudahan atau penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Insentif perpajakan tersebut seharusnya ditingkatkan batasan atasnya yang saat ini dikenakan pajak final 0,5 persen untuk peredaran tahunan sebesar maksimal Rp4,8 miliar. Ia mengatakan, besaran ini sudah tidak relevan lagi karena sudah bertahun-tahun belum dilakukan penyesuaian.
Ia mengatakan, draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) besaran peredaran tahunan justru ini diturunkan menjadi Rp2 miliar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan dari UU Ciptaker yang bertujuan memberikan keringanan dan kemudahan bagi usaha mikro dan kecil.
"Kami mengusulkan agar batas ambang atas ditingkatkan menjadi peredaran usaha paling banyak Rp7,5 miliar setahun, dengan mempertimbangkan tingkat inflasi suku bunga dan perkembangan ekonomi selama ini," katanya.
Jangka waktunya juga tidak dibatasi seperti saat ini hanya antara 3 sampai 7 tahun sesuai bentuk badan usahanya. Seharusnya tidak dibatasi jangka waktunya, selama masih berstatus usaha mikro, kecil maka ketentuan perpajakan tersebut seharusnya tetap berlaku.
Baca juga: Menteri Teten: Kemudahan izin UU Cipta Kerja dorong transformasi UMKM
Selain itu, sektornya usahanya seharusnya juga tidak dibatasi hanya sektor tertentu, namun selama kriterianya memenuhi kriteria usaha mikro kecil maka tetap memperoleh perlakuan yang sama. "Kriteria usaha mikro, usaha kecil, dan menengah harus sederhana. Batas peredaran tahunan sampai Rp15 miliar untuk usaha kecil," katanya.
Berkenaan dengan investasi, lanjutnya, sebaiknya usaha kecil dan menengah mendapatkan perlindungan dari persaingan dengan usaha skala besar dan usaha asing. Saat ini invetasi di atas Rp10 miliar terbuka oleh asing, hal ini tentu merugikan bagi usaha kecil dan menengah.
"Kita mengusulkan agar besar Rp10 miliar tersebut ditingkatkan, paling tidak Rp25 miliar, dengan pengecualian diperbolehkan di bawah Rp25 miliar tetapi wajib bermitra dengan usaha kecil.
Demikian juga sektor-sektor seharusnya tidak dibuka terlalu lebar bagi usaha asing. Sektor restoran kecil, kedai minuman, akomodasi harian hotel/penginapan kecil dan akomodasi harian seharusnya jangan dibuka untuk usaha besar dan asing.
"Kita meminta agar pejabat di BKPM, lebih terbuka dalam soal perlindungan investasi bagi UKM ini. Kami minta agar pejabat di BKPM berkenan berdialog dengan kami," kata Iwantono.
Selanjutnya Iwantono meminta agar asosiasi-asosiasi usaha mikro, kecil dan menengah dari berbagai sektor ekonomi dapat dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan dan program-program pemerintah agar aspirasi UMKM dapat ditampung sesuai dengan permasalahan riil di lapangan.
Pewarta: Unggul Tri Ratomo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021