“Saya tahu kekuatan yang memecah belah kita itu dalam dan nyata. Namun saya tahu itu bukanlah hal baru.”
Pembusukan politik

Fenomena Trumpisme itu bukan hanya menjadi ancaman terbesar Biden, tetapi juga ancaman bagi demokrasi Amerika.

Para cedikia pemerhati demokrasi, mengutip wartawan senior National Public Radio (NPR) Alan Greenblatt, menyebut ancaman itu segera mewujudkan diri begitu Biden resmi menjabat presiden AS. Biden juga mewarisi tantangan-tantangan terberat yang dihadapi Trump selama menjabat presiden yang jika tak dikelola dengan baik akan kian membelah Amerika.

Biden sendiri mengakui hal itu;“Saya tahu kekuatan yang memecah belah kita itu dalam dan nyata. Namun saya tahu itu bukanlah hal baru.”

Pengakuan ini membenarkan memang ada masalah besar dalam hal integrasi yang bermula dari kejenuhan publik terhadap institusi demokrasi yang dianggap lebih melayani elite kemapanan.

Ironisnya masalah itu makin membesar selama Trump yang uniknya dicitrakan sebagai antitesis dari kemapanan itu.

Trump juga menjadi ironi dari demokrasi suara terbanyak yang menyingkapkan ketidakefektifan lembaga-lembaga demokrasi termasuk partai politik, sampai-sampai teorisi politik terkenal penulis buku“The End of History and the Last Man”, Francis Fukuyama, menyebutnya sebagai pembusukan politik.

Pembusukan itu kian besar karena lembaga-lembaga politik sulit mereformasi diri akibat besarnya kuasa aktor-aktor politik, selain oleh sikap intelektual yang kaku.

Sebaliknya pembusukan itu membuat rakyat Amerika mendambakan tatanan atau aktor baru yang mereformasi kemapanan itu. Dan aspirasi ini bersemayam di kedua spektrum pemilih AS; demokrat dan republiken, atau liberal dan konservatif.

Kemunculan pemimpin alternatif seperti Bernie Sanders di Demokrat dan Donald Trump di Republik seketika memicu gairah besar publik sampai kedua tokoh luar partai itu menjadi penantang serius untuk kaum elite kemapanan. Trump bahkan akhirnya menjadi presiden setelah menyisihkan politisi-politisi karier produk institusi politik.

Para pemilih di kedua spektrum sama-sama menggugat kaum kemapanan sebagai korup dan sama-sama beralih ke sisi radikal di kedua spektrum; ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Mereka berhasil mengantarkan Trump naik berkuasa, bahkan nyaris menciptakan duel Trump dan Sanders dalam pemilu 3 November.

Parahnya, pilihan mereka kepada Trump tak membuat demokrasi lebih baik, sebaliknya kian buruk, sampai berpuncak kepada rusuh 6 Januari di Capitol.

Sementara kondisi yang seharusnya menjawab pembusukan politik malah tak tercipta. Pemerintahan tetap dikuasai kelompok elite yang kuat mengatur kebijakan demi keuntungan sendiri sambil merusak legitimasi rezim. Di sini, sistem sudah terlalu kaku untuk mereformasi diri.

Keadaan itu diperburuk oleh teknologi komunikasi baru yang berkontribusi pada hilangnya basis faktual bagi musyawarah untuk demokrasi, dan apa yang dulunya perbedaan kebijakan antar faksi belaka, antara "biru" (Demokrat, liberal) dan "merah" (Republik, konservatif), telah berubah menjadi perpecahan budaya.

Baca juga: Pelantikan Joe Biden dan Harris diwarnai sepinya jalanan di Washington
Baca juga: Jelang pelantikan Biden, simpatisan Trump di Tokyo gelar aksi

Selanjutnya: Kiri radikal dan kanan radikal sama-sama ingin menggoyahkan elite kemapanan

Copyright © ANTARA 2021