Tapi yang terjadi di antara perusahaan dan buruh garmen di wilayah Jawa Barat, khususnya Kabupaten Bogor dan Purwakarta ini agak berbeda. Pengusaha memang menanggung beban berat karena aturan UMK (Upah Minimum Kabupaten) yang tinggi, namun buruh tidak menggelar demo untuk menuntut upah tinggi, malah bersedia diupah di bawah UMK.
Harapan buruh yang rata-rata berpendidikan SD sampai SMP itu memang sederhana, sesederhana pendidikan mereka. Mereka hanya ingin kepastian agar pabrik tidak tutup atau relokasi ke daerah lain yang memiliki UMK lebih rendah, sehingga mereka masih bisa bekerja dan dapur keluarga tetap berasap atau mengepul.
Mereka juga menyadari bahwa pendidikan yang rendah membuat mereka tidak mempunyai banyak pilihan dan bekerja di pabrik garmen yang padat karya menjadi satu-satunya pekerjaan yang harus dipertahankan demi untuk bertahan hidup di bawah pandemi seperti sekarang ini.
Sebanyak tujuh orang buruh garmen yang tergabung dalam paguyuban dari berbagai pabrik garmen di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, beberapa hari lalu berkumpul di Cibubur, Jakarta Timur.
Tujuan mereka hanya satu, memperjuangkan nasib puluhan dan ratusan ribu buruh pabrik garmen agar tidak semakin banyak korban PHK berjatuhan. Kehilangan pekerjaan dalam kondisi pandemi yang tidak kunjung memperlihatkan tanda-tanda mereda, adalah bencana yang akan menambah penderitaan mereka dan keluarga.
“Permintaan kami tidak muluk-muluk. Kami hanya ingin tetap bekerja agar asap dapur tetap mengepul. Kalau perusahaan tidak sanggup memenuhi UMK, kami juga bersedia dengan upah yang sesuai dengan kemampuan perusahaan meski di bawah UMK,” kata Aceng Yusup Ashari (37 tahun), wakil ketua paguyuban pekerja garmen se-Kabupaten Bogor.
Baca juga: Perusahaan garmen terpukul pelemahan rupiah
Menurut Aceng dari PT. JS, produsen jaket yang berlokasi di Cileungsi, tanda-tanda bahwa perusahaan asal Korea Selatan itu akan hengkang dari Bogor sudah terlihat. Saat ini, meski masih mempertahankan pabrik di Cileungsi, PT JS juga sudah membuka pabrik di Boyolali, Jawa Tengah yang mempunyai UMK hampir separo lebih rendah dibanding di Bogor.
Yang ditakutkan Aceng dan sekitar 5.000-an pegawai lainnya adalah jika pabrik di Cileungsi ditutup karena tidak mampu lagi bertahan dan dipindahkan ke Boyolali.
Sementara itu Ny Rerie (52 tahun), pekerja di bagian gudang PT GA Indonesia yang berlokasi di Cibinong mengakui bahwa sepanjang 2020, sama sekali tidak ada pesanan produk . Nasib buruh di pabrik yang memproduksi merek Lacoste itu ternyata tidak sementereng merek yang mereka hasilkan.
Karena situasi yang semakin sulit dan tidak ada pesanan, perusahaan terpaksa memangkas jumlah buruh dari 2.000 sehingga hanya tinggal 800 orang.
“Beruntung kami sempat menerima pesanan APD (alat pelindung diri) dari Depkes dan BNPB sebanyak 12 juta potong. Tapi sebagian dari APD tersebut sekarang lebih banyak ditumpuk di gudang,” katanya.
Baca juga: Buruh garmen Asia hadapi ancaman perbudakan yang menguat saat COVID-19
Sementara itu Marni Lumbangaol dari PT Tradewind Indonesia yang berlokasi di Gunung Putri, mengakui bahwa sebanyak 90 persen dari para pekerja di pabrik garmen adalah perempuan dan bahkan banyak di antara mereka yang justru menjadi tulang punggung keluarga.
“Bagi kami, hidup ini sudah seperti dunia yang terbalik karena justru kami sekarang kaum perempuan pekerja di pabrik yang menjadi tulang punggung keluarga. Banyak di antara rekan-rekan buruh perempuan harus menjalankan tugas sebagai kepala keluarga karena suami yang sebelumnya pengojek online sudah kehilangan pelanggan,” katanya.
Dilema UMK
Tingginya Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, Jawa Barat membuat sebagian besar perusahaan garmen benar-benar dalam kondisi sekarat dan terancam gulung tikar atau memilih relokasi ke daerah lain agar bisa bertahan.
UMK di Kabupaten Bogor dan Purwakarta saat ini merupakan yang tertinggi di banding daerah lain di Jawa Barat, yaitu masing-masing Rp4.217.206 dan Rp4.173.569, lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Bandung sebesar Rp3.742. 276. Angka tersebut juga jauh lebih tinggi dibanding UMK di Kota Semarang, Jawa Tengah sebesar Rp3.241.929.
Dari sudut pandang pengusaha, Yan Mei Phang, general manajer PT Fotexco Busana International, menegaskan bahwa kenaikan UMK sebenarnya tidak adil jika diterapkan untuk sektor garmen yang padat karya dengan pendidikan buruh yang rata-rata tamat SD atau SMP.
“Sebagai pengusaha, kami tentu ingin meningkatkan kesejahteraan para pegawai berdasarkan kemampuan perusahaan. Tapi besaran UMK di Kabupaten Bogor sungguh tidak adil jika juga diterapkan untuk kegiatan padat karya seperti buruh garmen,” kata Yan Mei.
Baca juga: Riset ILO: ekspor garmen dari Asia turun hingga 70% akibat pandemi
Yan Mei menegaskan bahwa ia meminta kepada pihak yang berkepentingan dalam penentuan UMK bahwa kebijakan terhadap upah mereka yang bekerja di bagian padat karya seperti pekerja garmen harus diberi pengecualian dan tidak bisa disamakan dengan sektor lain.
Menurut Yan Mei, permasalahan UMK yang sangat tinggi dan sangat berat untuk dipikul pengusaha akan berdampak terhadap order atau pesanan barang dari luar negeri karena calon pembeli dari luar tidak akan bersedia membuat pesanan kepada perusahaan yang tidak mampu membayar pekerja sesuai UMK.
"Pengangguran di Kabupaten Bogor sudah mencapai 14,26% dan saat ini pengusaha dan para pekerja yang bekerja di perusahaan adalah pihak yang benar- benar mengetahui kondisi perusahaan masing-masing,” kata Yan Mei yang didampingi Dessy Sulastry, Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor dari unsur Apindo dan Sariat Arifia, jurubicara Perkumpulan Jurubicara Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Jawa Barat (PPPTJB).
Menurut Sariat Arifia, kantor berita Korea Selatan, Yonhap beberapa waktu sempat mengangkap isu kenaikan drastis UMK di Kabupaten Bogor dan Purwakarta yang berdampak terhadap banyak perusahaan garmen yang sebagian besar milik pengusaha Korea Selatan.
“Dalam sembilan tahun terakhir, terdapat kenaikan sampai 300 persen upah di Jawa Barat dan hal ini membuat perusahaan garmen sangat kesulitan, akibatnya perusahaan Korea Selatan memilih tutup dan sekarang tersisa 258 dari jumlah 317 sebelumnya. Pandemi COVID-19 yang belum mereda membuat kondisi semakin sulit,” kata Sariat.
Baca juga: Paus Fransiskus I kecam "perbudakan" Bangladesh
Ia mencontohkan, sepanjang tahun 2019 saja telah terjadi penutupan puluhan pabrik garmen dengan jumlah pekerja yang di-phk kurang lebih 25 ribuan karyawan di Kabupaten Bogor dan Purwakarta.
"Apabila tidak dilakukan langkah penyelamatan yang serius, maka tahun 2021 banyak perusahaan yang akan melakukan penutupan pabrik. Dalam hal ini asosiasi, merasakan ketidak adilan dan diskriminasi dalam penetapan kebijakan pengupahan," urai Sariat.
Melihat kondisi yang dilematis tersebut, Sariat mengharapkan perhatian semua pihak, termasuk media agar benar-benar peduli terhadap nasib ratusan ribu buruh di Jawa Barat yang saat ini terancam kehilangan pekerjaan.
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2021