"Dunia menjadi terlihat mementingkan diri sendiri dan ego sentris"Kritik WHO
Tak banyak yang mengetahui dilema yang dihadapi kebanyakan pemerintah di dunia bahwa mereka menginginkan vaksin segara hadir tetapi saat bersamaan sebagian besar vaksin tidak tersedia dalam waktu secepat yang mereka inginkan.
Padahal, pandemi tak bisa diajak kompromi, sebaliknya terus merongrong reputasi dan kemampuan pemerintah, bahkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak terpilih lagi salah satunya karena penanganan pandemi.
Kebanyakan pemerintah, apalagi yang sama sekali tak memiliki akses ke produsen vaksin, menghadapi dua masalah sekaligus, yakni politisasi dan hambatan nasionalisme vaksin yang membuat hampir tak ada negara yang memikirkan bagaimana negara lain bisa mendapatkan vaksin COVID-19 karena seluruh dunia memang membutuhkan segera vaksin agar bisa segera menghentikan pandemi, termasuk negara sebesar Amerika Serikat.
Bagi negara-negara seperti Indonesia masalah itu mungkin hanya mendorong pemerintah untuk sering-sering memberikan penjelasan lebih meyakinkan mengapa memilih vaksin tertentu, tetapi bagi negara yang tak mampu mengadakan vaksin dan sama sekali tak punya akses ke produsen vaksin adalah malapetaka.
Dan itu merisaukan sejumlah pihak yang mempedulikan akses merata dan sama cepatnya ke vaksin COVID-19, termasuk WHO.
Bayangkan, berdasarkan catatan WHO, dari 39 juta dosis vaksin yang saat ini beredar hanya 49 negara berpendapatan besar, termasuk Indonesia, yang mendapatkannya. Baru 25 dosis saja yang diberikan kepada sebuah negara miskin.
WHO tak ayal mengkritik pendekatan “saya yang pertama” terkait distribusi vaksin COVID-19 karena membuat negara miskin tak punya kesempatan mendapatkan vaksin dan itu sama artinya dengan menutup peluang negara miskin terbebas dari pandemi.
Wajar jika kemudian Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom mendesak berbagai negara dan pabrikan vaksin agar mau menyebarkan vaksin secara merata ke seluruh dunia agar negara-negara miskin bisa mendapatkannya.
Namun, sekalipun WHO keras mendesak dan mengenalkan wadah COVAX agar vaksin diakses semua negara di seluruh dunia, sulit sekali mewujudkan keinginan tersebut karena hampir semua negara menghadapi tekanan domestik yang kencang, mulai dari politisasi sampai erosi ekonomi akibat dampak pandemi, sehingga yang pertama terbayang dalam pikiran mereka adalah bagaimana negaranya sendiri terbebas dari pandemi.
Mungkin baru China yang bersedia mengglobalkan vaksinnya karena memang tidak terlalu membutuhkan vaksin mengingat pandemi sudah mereka taklukkan lewat tindakan-tindakan keras tanpa menggunakan vaksin.
Ketersediaan vaksin China di pasar global pun tidak lepas dari motivasi mencari pengaruh serta akses ke negara-negara yang faktanya juga kebanyakan bukan negara miskin. ini pun tentu tidak akan bisa bebas dari politisasi.
Baca juga: WHO: Negara miskin akan terima vaksin pertama COVID kuartal I 2021
Baca juga: Epidemiolog ingatkan orang sudah divaksin tetap harus jaga 3 M
Copyright © ANTARA 2021