Tepi Barat/Gaza (ANTARA) - Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Jumat (15/1) mengumumkan pemerintah akan menggelar pemilihan presiden dan anggota parlemen untuk pertama kalinya setelah absen selama 15 tahun.

Langkah itu ditempuh demi memulihkan perpecahan antarkelompok di Palestina.

Beberapa pihak meyakini pemilu jadi salah satu respons pemerintah dalam menjawab kritik atas keabsahan institusi politik di Palestina, termasuk kepemimpinan Abbas sebagai presiden.

Rencana menggelar pemilu itu diumumkan oleh Palestina beberapa hari sebelum pelantikan presiden Amerika Serikat terpilih, Joe Biden. Palestina berharap Biden dapat memulihkan hubungan AS-Palestina yang terpuruk akibat beberapa kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump.

Otoritas Palestina (PA), lembaga yang memiliki otonomi terbatas di Tepi Barat, mengumumkan pihaknya akan menggelar pemilihan legislatif pada 22 Mei dan pemilihan presiden pada 31 Juli 2021. Tepi Barat dan Yerusalem Timur merupakan daerah yang diduduki paksa oleh Israel setelah perang 1967.

"Presiden menginstruksikan komite pemilihan umum dan seluruh lembaga untuk menggelar pemilihan umum yang demokratis di seluruh kota di tanah air," demikian isi pengumuman dari PA atau kantor kepresidenan. Pemilu nantinya akan digelar di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur.

Beberapa faksi di Palestina kembali memulihkan hubungan dan mereka berusaha menunjukkan Palestina yang bersatu setelah Israel membentuk hubungan diplomatik dengan empat negara Arab.

Hamas, faksi garis keras Islam yang menjadi rival Abbas di dalam negeri, menyambut baik pengumuman tersebut.

"Kami telah berusaha menghadapi seluruh tantangan selama beberapa bulan terakhir sehingga kita dapat tiba di hari ini (menggelar pemilu, red)," kata Hamas melalui pernyataan tertulisnya.

Hamas mendorong pemerintah menggelar pemilu yang adil sehingga rakyat dapat menentukan pilihannya tanpa hambatan atau tekanan.

Sementara itu, seorang pengamat wilayah Gaza, Hani Habib mengatakan Palestina ingin menyampaikan pesan kepada pemerintah AS yang baru bahwa mereka siap bekerja sama. Namun, seorang pengamat senior Tepi Barat, Hani al-Masri, ragu bahwa pemilu akan benar-benar berlangsung.

Al-Masri mengatakan pemilu sulit digelar karena masih ada perpecahan antara Fatah dan Hamas. Tidak hanya itu, AS, Uni Eropa, dan Israel menentang adanya pemerintahan di Palestina dan keterlibatan Hamas, yang dicap sebagai grup teroris.

"Apakah (pemilu, red) itu akan mengakhiri atau meneruskan perpecahan ... dan apakah hasilnya nanti akan diterima oleh warga Palestina, Israel, dan AS?" Masri mengajukan pertanyaan itu lewat unggahan di akun media sosialnya.

Persaingan erat

Pemilihan parlemen yang digelar oleh Palestina pada 2006 dimenangkan oleh Hamas dan hasil mengejutkan itu menyebabkan konflik internal di Palestina kian dalam, khususnya setelah Hamas mengambil alih kendali militer di Gaza pada 2007.

Beberapa hasil jajak pendapat menunjukkan pemilu akan diwarnai pertarungan ketat antarkelompok. Jajak pendapat yang digelar oleh Pusat Kebijakan, Riset, dan Survei Palestina menunjukkan 38 persen warga akan memilih calon anggota parlemen dari Fatah dan 34 persen akan memilih calon yang diusung oleh Hamas.

Lembaga survei itu juga memprediksi 50 persen warga akan lebih memilih calon presiden yang didukung Hamas, yaitu Ismail Hanniyeh, sementara 43 persen sisanya akan memilih Abbas.

Abbas mendapatkan suara terbanyak pada pemilihan presiden 2005, tetapi saat itu Hamas tidak mengusung calon presiden untuk bersaing dengannya.

Hamas mencabut boikot terhadap pemilu satu tahun setelahnya dan kelompok itu mengedepankan slogan "Perubahan dan Reformasi" pada seluruh kampanye politiknya. Hamas pun berhasil memperoleh suara mayoritas dan mengalahkan Fatah, yang dinilai korup, penuh dengan nepotisme, dan terpecah belah.

Sejauh ini belum jelas bagaimana Abbas akan mengatasi masalah logistik untuk menggelar pemilu di tiga daerah yang dikendalikan oleh otoritas berbeda.

Israel menduduki Yerusalem Timur setelah perang di Timur Tengah pada 1967 dan mencoplok wilayah tersebut meskipun ditentang oleh masyarakat internasional.

Israel mengandaikan seluruh wilayah Yerusalem sebagai ibu kotanya, sementara Palestina berupaya menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya pada masa depan.

Israel melarang Otoritas Palestina menggelar aktivitas pemerintahan di Yerusalem karena itu dianggap akan melanggar perjanjian damai yang disepakati oleh dua pihak pada 1990-an.

Sumber: Reuters

Baca juga: Prancis kecam rencana Israel bangun 800 rumah di Tepi Barat

Baca juga: PM Israel perintahkan pembangunan rumah di Tepi Barat dilanjutkan

Baca juga: Palestina akan terima vaksin COVID-19 pertamanya Maret 2021

Presiden Jokowi di Sidang Umum PBB tegaskan dukungan Indonesia untuk Palestina

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021