Surabaya (ANTARA) - Ahli Epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya Dr dr M Atoillah Isfandiari, MKes menegaskan bahwa vaksin hanya bisa diberikan kepada orang yang sehat, karena vaksin berbeda dengan obat.
"Obat itu untuk mengobati orang sakit, sementara vaksin untuk mencegah yang sehat agar tidak sakit," kata Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair itu, di Surabaya, Kamis.
Oleh karena itu, vaksin seperti Sinovac harus diberikan kepada orang yang masih sehat, sehingga jika sudah sakit, bukan menjadi target dari vaksin karena yang bersangkutan sudah mempunyai antibodi alami yang mungkin memang akan terdegradasi seiring waktu.
Perihal penggunaan Vaksin Sinovac, pria yang akrab dipanggil Ato ini mengatakan, saat ini perlu diprioritaskan untuk mereka yang belum punya kekebalan sama sekali, seperti tenaga kesehatan atau tim medis.
"Yang harus diberikan dulu ya tentunya yang bisa menolong dulu orang sakit, dalam hal ini adalah tenaga medis. Karena analoginya tenaga medis aman dari infeksi, maka selanjutnya bisa lebih optimal dalam menolong orang lain, termasuk juga menolong untuk mendapatkan kekebalan," katanya.
Ia menyebut vaksin Sinovac mempunyai beberapa keunggulan, seperti menggunakan platform lama yang sudah sangat dikenal produsen vaksin, yaitu inactivated virus atau virus yang dimatikan.
"Efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki keamanan yang sangat tinggi, meskipun memiliki efikasi vaksin sebesar 65,3 persen. Efikasi vaksin sebesar itu bisa dibilang jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya," kata Dr Atoillah.
Ato mengatakan, Sinovac juga relatif mudah disimpan dan tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih, seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat.
"Vaksin dari perusahaan China tersebut masih memungkinkan jika disimpan di dalam lemari pendingin biasa," ujarnya.
Ia menjelaskan, dikeluarkannya izin pakai darurat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sangat tepat, karena melihat semakin banyak korban COVID-19 berjatuhan.
Terkait efek samping pascauji klinis dilakukan, Ato mengatakan, waktu ideal yang dibutuhkan adalah enam bulan untuk pemantauan agar mengetahui efek sampingnya.
"Jadi, uji klinis fase 3-nya sudah selesai, sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis. Uji klinis sudah selesai hanya versi pemantauan pasca-uji-nya itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai ke-1 sampai ke-3 laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan," tuturnya.
Pewarta: A Malik Ibrahim/Willy Irawan
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021