Ada kenaikan Rp2.500 per kilogram, jadi kami pilih mogok jualan dulu dengan harapan harga turun. Ternyata harga tetap saja sama masih tinggi.
Palembang (ANTARA) - Sejumlah pedagang tempe dan tahu di pasar tradisional Kota Palembang, Sumatera Selatan, mulai berjualan kembali setelah selama tiga hari ‘mogok’ lantaran tingginya harga bahan baku kedelai.
Yitno, salah seorang pedagang tempe di Pasar Perumnas Palembang, Kamis, mengatakan sejumlah pedagang memutuskan tidak berjualan selama tiga hari terakhir lantaran harga kedelai saat ini mencapai Rp9.300 per kilogram.
“Ada kenaikan Rp2.500 per kilogram, jadi kami pilih mogok jualan dulu dengan harapan harga turun. Ternyata harga tetap saja sama masih tinggi,” kata Yitno.
Baca juga: Mendag sebut harga kedelai masih menguat sampai Mei 2021
Kenaikan harga bahan baku tersebut membuat dirinya terpaksa menaikkan harga jual hingga Rp1.000 per potong.
Dari sisi pembeli, menurutnya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Walau demikian, keuntungan sebagai pedagang tetap berkurang.
“Tidak bisa terlalu mahal, ini biasa jual Rp4.000 per potong ditambahi jadi Rp5.000 per potong,” kata dia.
Baca juga: Bantu perajin tempe, Kementan jamin pasokan dan harga kedelai 100 hari
Rudi, pedagang tempe di Pasar Lemabang Palembang juga membenarkan hal tersebut.
Sejak tiga hari lalu ia tidak berjualan tempe, dan baru berjualan lagi hari ini.
“Ini tempenya masih baru semua, karena baru buat hari ini,” kata dia.
Rudi dan sejumlah pedagang lain mendapatkan informasi dari pengelola koperasi bahwa harga kedelai akan bergerak naik lagi yang diperkirakan bakal tembus Rp10.000/kg.
Ayu, salah seorang pembeli di Pasar Perumnas mengatakan dirinya dalam beberapa hari terakhir tidak menjumpai tempe dan tahu di pasar.
“Bahkan di warung pun tak ada, saya baru tahu kalauada mogok. Ini harga sudah naik, ya tidak masalah baru naik Rp1.000 per potong,” kata Ayu.
Paguyuban Pengusaha Tempe di Palembang sepakat melakukan aksi mogok produksi dan jualan tempe sejak 11 Januari 2021 menanggapi harga kedelai yang meningkat pesat tanpa terkendali, dan membuat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tempe terus merugi.
Mogok berjualan tempe juga pernah terjadi pada 2003, 2008 dan terakhir pada 2011 lantaran pemerintah menyerahkan impor kedelai ke pasar bebas, sehingga harga menjadi tak stabil.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumsel mengimbau produsen tahu dan tempe untuk tidak menaikkan harga terlalu tinggi.
“Kami mengimbau para produsen (tahu dan tempe) tidak menaikkan harga terlalu tinggi apalagi saat ini masih pandemi COVID-19. Saat ini kami terus membangun koordinasi dengan pemerintah pusat untuk mengatasi persoalan ini,” kata dia.
Kenaikan kedelai dipicu oleh lonjakan permintaan dari China kepada Amerika Serikat selaku eksportir kedelai terbesar dunia.
Pada Desember 2020 permintaan kedelai China naik dua kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kontainer di beberapa pelabuhan Amerika Serikat, seperti di Los Angeles, Long Beach, dan Savannah sehingga terjadi hambatan pasokan terhadap negara importir kedelai lain termasuk Indonesia.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021