Kementerian Sosial adalah institusi yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap isi data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).
Jakarta (ANTARA) - Presiden Jokowi dalam acara peluncuran program bantuan sosial (bansos) se-Indonesia pada tanggal 4 Januari 2021 menekankan agar penyaluran bansos tepat sasaran dan tidak ada potongan apa pun.
Hal itu diutarakan Presiden setelah terkuaknya kasus dugaan penerimaan suap sebesar Rp17 miliar oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terkait dengan pengadaan bansos berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI pada tahun anggaran 2020 dengan anggaran sekitar Rp5,9 triliun.
Menurut Presiden, pemerintah sudah menganggarkan Rp110 triliun untuk program perlindungan sosial pada tahun 2021 bagi jutaan keluarga penerima manfaat (KPM).
Namun, bagaimana cara agar uang triliunan rupiah tersebut diterima oleh orang yang tepat?
Kementerian Sosial adalah institusi yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap isi data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). DTKS memuat 40 persen data penduduk dengan tingkat pengeluaran terendah yang menggambarkan kesejahteraan terbawah/termiskin yang layak diberikan program Perlindungan Sosial.
Artinya, DTKS adalah basis data pemerintah untuk mengetahui siapa warga yang perlu dibantu dan siapa juga yang sudah mandiri.
DTKS sendiri berasal dari Basis Data Terpadu (BDT) 2015. Akan tetapi, pengkinian data khususnya proses verifikasi dan validasi DTKS tersebut belum berjalan optimal.
KPK pada tanggal 3 Desember 2020 telah mengirimkan surat kepada Menteri Sosial yang saat itu masih dijabat Juliari Batubara mengenai sejumlah masalah yang ditemukan KPK berdasarkan penelitian Litbang KPK terkait dengan Kajian Pengelolaan Bantuan Sosial Tahun 2020.
Baca juga: KPK amankan dokumen bansos geledah dua perusahaan di Jakarta
Masalah DTKS
Dalam surat yang ditandatangani oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata itu, KPK mengungkapkan sejumlah masalah DTKS.
Pertama, rendahnya kualitas data penerima bantuan sosial.
Berdasarkan hasil pemadanan DTKS Penetapan Januari 2020 dari Kementerian Sosial (Kemensos) dengan Data Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemdagri) yang dilakukan pada bulan Juni 2020 ditemukan 17,28 persen data tidak padan dengan data NIK Dukcapil dari 97.204.424 data di DTKS.
Dari 82,72 persen DTKS, masih terdapat 1,06 Juta data ganda dan 234.000 data yang sudah meninggal. Dari DTKS yang sudah padan dengan NIK, masih teridentifikasi 17.783.885 anggota keluarga inti lainnya baik kepala keluarga, suami, istri, dan anak yang justru tidak masuk dalam DTKS.
Misalnya, ada seorang punya kartu keluarga, punya NIK tetapi hanya dia saja yang masuk ke DTKS, sedangkan anak dan istrinya tidak masuk. "Jadi, ada yang dihilangkan ini juga perlu pemadananan," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (11/1).
Kedua, program-progam pemberian bantuan di Kemensos, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BNPT), dan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK) juga tidak merujuk pada DTKS.
KPK menemukan 8,84 persen data penerima PKH, khususnya pengurus/pemegang kartu tidak berasal dari DTKS atau sejumlah 884.417 keluarga penerima manfaat (KPM).
Baca juga: KPK desak perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Kemensos
Selanjutnya, sebanyak 5,76 persen data yaitu 1.096.844 KPM program Bantuan Pangan Non-Tunai/Kartu Sembako tidak berasal dari DTKS.
Sebanyak 26,3 juta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan tidak berasal dari DTKS dan 10,3 juta jiwa yang terdaftar pada DTKS belum terdaftar BPJS Kesehatan.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan diketahui sekitar 600.000 jiwa dalam DTKS terdaftar sebagai peserta segmen pekerja penerima upah penyelenggara negara (PPU PN) yang artinya merupakan anggota TNI, Polri, dan PNS.
Berdasarkan pemadanan yang dilakukan di internal Kemensos, kata Pahala, masih didapati data ganda pada penerima BPNT.
Contohnya berdasarkan pengelolaan data bantuan sosial di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih ditemukan penerima bansos reguler menerima bantuan terkait dengan penanganan COVID-19 seperti bantuan sosial tunai dan bantuan langsung tunai dana desa.
Masalah ketiga, adanya ketidaksinkronan regulasi yang mengatur tugas dan tanggung jawab lembaga dalam melaksanakan pendataan dan verifikasi dan validasi DTKS.
Aturan yang dimaksud KPK adalah Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu dengan Permensos No. 5 Tahun 2019 tentang Pengelolaan DTKS.
Akibat dari regulasi yang tidak sinkron, terdapat beberapa kali pemutakhiran antara DTKS dan pemutakhiran program Bantuan Sosial.
Baca juga: Mensos Risma minta KPK ikut bantu perbaikan data penerima bansos
Di lapangan, keluarga yang sama bisa dimutakhirkan tiga sampai empat kali masing-masing untuk data DTKS, PKH, PBI, dan BPNT. Padahal, yang terpenting dan terutama adalah memastikan pemutakhiran DTKS dan menentukan penerima program bantuan berdasarkan DTKS.
"Pemadanan data ini hanya mungkin kalau online. Kami sepakat mendorong DTKS online sehingga pendataan tidak harus per bulan, tetapi langsung real time," kata Pahala.
Keempat, terjadinya potensi inefisiensi anggaran untuk program pemutakhiran pada tahun 2021 akan terjadi sebesar Rp581 miliar.
KPK menemukan perincian rencana rata-rata anggaran verifikasi dan validasi per rumah tangga yang akan dikeluarkan Kemensos pada tahun 2021 ternyata jauh lebih besar daripada rata-rata anggaran pendataan dan verifikasi dan validasi yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk memutakhirkan data kesejahteraan sosial pada tahun 2020.
Program Kemensos menganggarkan rata-rata per data sebesar Rp30.218,00 dibandingkan dengan anggaran pemda sebesar Rp16.272,00 per data.
Apalagi, rencana pemutakhiran DTKS serempak yang diprogramkan pada tahun 2021 menggunakan pendekatan sentralistis. Penyelenggaranya adalah Kemensos sendiri di bawah Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos dan mencakup seluruh pemerintah daerah se-Indonesia.
Padahal, data terbaru per Juli 2020 di Kemensos menunjukkan bahwa mayoritas pemerintah daerah justru sudah melakukan pemutakhiran DTKS .
Baca juga: KPK geledah dua perusahaan di Jakarta terkait suap bansos Juliari
Sebanyak 406 pemerintah daerah melakukan finalisasi data, sebanyak 331 pemda di antaranya melakukan verifikasi dan validasi kepada lebih dari 10 persen jumlah DTKS; 63 pemda tidak melakukan pemutakhiran per Juli 2020; 48 pemda belum pernah melakukan pembaruan data sama sekali sejak 2015.
Berdasarkan temuan KPK itu, dapat disimpulkan bahwa pandemi COVID-19 secara tidak langsung telah menggugah partisipasi pemerintah daerah untuk berkontribusi dalam bentuk pemutakhiran DTKS.
Dari 81 pemda yang diambil sebagai contoh data oleh KPK, sebanyak 68 persen atau 55 pemda sudah menganggarkan dana APBD untuk pendataan, verifikasi, dan validasi DTKS pada tahun 2021.
Program pemutakhiran seretak DTKS oleh Kemensos malah akan menghasilkan tumpang tindih dengan kegiatan yang sama dengan sumber anggaran APBD.
Rekomendasi KPK
Atas berbagai permasalan data tersebut, Tri Rismaharini yang baru menjabat sebagai Menteri Sosial pada tanggal 23 Desember 2020 mengatakan akan terbuka terhadap data dan proses perbaikan data Kemensos.
"Ke depan saya terus terang berkirim surat ke KPK, kemudian Kejaksaan Agung, Mabes Polri dan Universitas Indonesia untuk membantu kami dalam proses langkah yang akan kami laksanakan untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan," kata Risma di Gedung KPK, Jakarta, Senin (11/1).
KPK pun merekomendasikan sejumlah hal kepada Kemensos.
Pertama, kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, basis datanya NIK tetapi ternyata tidak semua penduduk miskin punya NIK. Oleh karena itu, perlu menjangkau sasaran-sasaran yang lebih luas. Kedua, tata kelola masalah sosial bukan data yang statis tetapi juga dinamis.
Ghufron pun meminta pembaruan data sebagai kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga perguruan tinggi dan mengundang masyarakat untuk terlibat aktif agar memastikan data yang terhimpun valid.
Akhirnya melakukan integrasi data atas kegiatan bantuan sosial yang relatif identik. Integrasi tersebut menjadi ikhtiar untuk memastikan sumber daya organisasi teralokasi secara efisien dan efektif.
Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan supervisi, optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi juga menjadi sebuah keharusan.
Baca juga: Ketua BPK: Risiko korupsi lebih mudah terjadi di tengah pandemi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021