Amanah Presiden untuk mengintegrasikan antarmoda tersebut termasuk moda darat dan kareta api (KRL/MRT/LRT) adalah tepat sebagai indikator keberhasilan ‘shifting’ (perpindahan) ke transportasi umum....
Jakarta (ANTARA) - Fungsi Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sebaiknya lebih dioptimalkan untuk mengatur integrasi moda serta pembayaran angkutan massal di Jabodetabek, kata Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang.
“Amanah Presiden untuk mengintegrasikan antarmoda tersebut termasuk moda darat dan kareta api (KRL/MRT/LRT) adalah tepat sebagai indikator keberhasilan ‘shifting’ (perpindahan) ke transportasi umum. Namun terlalu banyak eksekusi teknisnya yang mengabaikan fungsi regulasi lainnya. Sebenarnya untuk integrasi aglomerasi wilayah Jabodetabek kita sudah punya BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek),” kata Deddy dalam keterangannya di Jalarta, Jumat.
BPTJ dibentuk berlandaskan hukum Peraturan Presiden Nomor 103 Tahun 2015 yang telah ditetapkan pada 18 September 2015.
“Mengapa tupoksi BPTJ ini tidak dioptimalkan ? Jadi ada fungsi regulatornya di samping PT MITJ yang berfungsi sebagai operator. Kalau hanya MITJ saja, nantinya berpotensi buat aturan sendiri dan dilaksanakan sendiri,” katanya.
Baca juga: Jalur dwi ganda optimalkan interkonektivitas angkutan massal
Menurut dia, dalam Perpres tersebut sudah sangat jelas bahwa BPTJ mempunyai tugas mengembangkan, mengelola, dan meningkatkan pelayanan transportasi secara terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dengan menerapkan tata kelola organisasi yang baik.
Terdapat 12 Fungsi dalam BPTJ, tiga di antaranya, yakni sebagai fasilitasi teknis, pembiayaan dan/atau manajemen dalam rangka pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana penunjang penyediaan pelayanan angkutan umum perkotaan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kedua, pemberian rekomendasi penataan ruang yang berorientasi angkutan umum massal;
Ketiga, pemberian perizinan angkutan umum yang melampaui batas provinsi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dan pemberian rekomendasi untuk angkutan terusan (feeder service).
“Dari tugas dan tiga fungsi di atas, cukup bagi BPTJ untuk mengelola transportasi terintegrasi dan rekomendasi TOD,” katanya.
Baca juga: Udara bersih, pandemi dan transportasi terintegrasi
BPTJ telah mempunyai master plan penataan transportasi terintegrasi di Jabodetabek, dengan nama Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
RITJ ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Tahun 2018-2029. RITJ inipun juga kurang dijadikan landasan kreasi dalam pengembangan konsep konektivitas antarmoda.
Menurut Deddy, para pemangku kebijakan cenderung lebih suka menunjuk operator langsung untuk integrasi antar moda ataupun antarwilayah.
“Contoh paling sederhana adalah integrasi pembayaran elektronik. Memang bukan konsep intermodal, sampai kinipun integrasi pembayaran hanya bisa melalui kartu-elektronik dari penerbit bank, untuk kartu pembuat dari operator KRL dan MRT pun masih belum bisa terintegrasi. Terlalu naif apabila integrasi pembayaran e-ticketing antaroperator BUMN dan BUMD tidak dapat dilaksanakan karena terganjal oleh aturan/regulasi,” katanya.
Dia berpendapat operator jalan tol pun dapat berjalan dengan tarif tunggal tanpa harus bersatu secara korporasi karena telah ada mengatur, yakni BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol). Peran BPTJ bisa saja sama seperti BPJT.
“Sebenarnya BPTJ ada di ruang fasilitas koordinasi ini untuk dapat melakukan integrasi antar lini. Dari dulu masalah integrasi angkutan umum tersebut selalu terkendala akibat ego-sektoral dan masih lemahnya regulasi yang mengatur. Bila masalah ini terlalu lama eksekusinya, pengguna/konsumen yang akan dirugikan dan target mode-share 60 persen publik transport semakin sulit untuk tahun 2029,” ujarnya.
Deddy menuturkan tugas BPTJ tetap mengatur perizinan dan regulasi integrasi untuk semua operator baik moda berbasis rel ( KRL, MRT, LRT) dan berbasis jalan ( BRT/bus, feeder dan paratransit ).
Dia mencontohkan Singapura yang 1996 telah mempunyai LTA (Land Transport Authority) karena sama-sama mengelola transportasi metro.
LTA berada dibawah Kementerian transportasi Singapore (Kemenhub), sama halnya dengan BPTJ di bawah Menteri Perhubungan.
Di Singapura operator LRT, MRT, BRT, Angkutan umum/Taxi berada di bawah LTA.
“Kenyataan ini sama seperti perizinan angkutan darat di wilayah aglomerasi Jabodetabek berada di bawah kendali BPTJ, hanya perizinan perkeretaapian masih tanggung jawab DJKA Kemenhub. Kalau konsisten seperti angkutan darat antarwilayah Jabodetabek, perizinan LRT Jabodebek pun harus di BPTJ karena termasuk mengelola integrasinya,” katanya.
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021