Melalui pasar lelang itu, seratusan petani cabai di desanya bisa menjual hasil panen.
Yogyakarta (ANTARA) - Awal 2020 merupakan masa paling berat bagi Yatman. Petani di Desa Bibis, Klumbungrejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman ini kebingungan harus menjual hasil panen cabainya ke mana.
Kala itu para tengkulak dari luar kota yang biasa membeli hasil panen cabai di desanya memutuskan libur. Rumah makan sampai hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta juga tutup seiring dengan kabar mewabahnya COVID-19 di Tanah Air sehingga makin memperburuk serapan hasil pertanian.
Meski penjualan tersendat, Yatman tak lantas putus asa dan menghentikan aktivitas bertanam. Prinsipnya sederhana, dia yakin setiap orang pasti butuh makan dan tentu membutuhkan hasil pertanian.
"Saya yakin dengan bertani justru saya bisa bertahan hidup," kata petani berusia 41 tahun ini.
Tak ingin berlama-lama terpuruk, dia bersama sejumlah petani sayur-mayur di desanya memutar otak agar untuk bisa bertahan atau setidaknya bisa mendapatkan penghasilan sekadar untuk membeli pupuk serta mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Mustahik binaan Baznas Riau panen raya ubi casesa
Agar tidak terlalu merugi, sebagian petani di desa itu ada yang memiliki siasat dengan tidak memanen seluruh tanaman yang siap panen, kecuali ada orang yang siap membelinya.
Kegigihan para petani ini direspons oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan membantu mewujudkan titik kumpul hasil pertanian. Melalui titik kumpul atau disebut subterminal agribisnis (STA) para petani di Desa Bibis bisa menjual seluruh hasil panen mereka.
Meski harga jual cabai saat awal pandemi masih rendah, setidaknya seluruh hasil pertanian yang disetor para petani ke STA laku terjual tanpa sisa.
Setiap hari rata-rata 4 ton sampai 5 ton cabai disetor petani ke STA yang dikelola sendiri oleh para petani di desa setempat.
Yatman mengaku amat terbantu dengan keberadaan STA. Menurut dia, para petani di desanya tidak perlu lagi kebingungan mencari pasar. Mereka hanya perlu datang menyetor hasil pertanian ke STA atau cukup menunggu hasil panennya dijemput kendaraan roda tiga yang diberikan pemerintah daerah untuk STA.
Ia yang saat ini dipercaya sebagai koordinator STA Desa Bibis mengaku ingin berpartisipasi dalam pencatatan data hasil panen petani yang dibutuhkan pemerintah.
Baca juga: Petani di Aceh Utara rugi Rp42 miliar lebih akibat banjir
Sementara itu, petani cabai Karman (61) asal Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo mengatakan bahwa di desanya tidak dikenal istilah STA. Meski fungsinya sama, para petani di desanya lebih mudah dengan menyebut "pasar lelang".
Sebelum ada "pasar lelang", kata Karman, para petani cabai di Kulon Progo hanya pasrah dengan penjualan hasil panen. Sebagian besar petani merugi karena tidak semua cabai yang dipanen laku terjual. Sekalipun terjual harganya jatuh dengan hanya dihargai Rp4.000,00—Rp5.000 per kilogram.
"Bayangkan saat itu dari hasil panen cabai 1 ton hanya dihargai Rp5 juta. Untuk bayar tenaga dan pupuk, sudah habis," ujar Karman.
Seiring dengan penerapan jaga jarak sosial serta pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), akses pasar cabai dari desanya ke berbagai daerah, seperti Sumatera, Jawa Barat, DKI Jakarta, serta berbagai provinsi lainnya juga terhambat.
Meski merugi dan pasar kala itu tidak menentu, Karman mengaku tidak terbersit untuk beralih profesi. Selain tidak mudah mencari profesi lain, menanam cabai telah dirintis dan menjadi mata pencahariannya selama 30 tahun.
Baca juga: SPI minta Kementan antisipasi harga gabah anjlok akibat La Nina
"Sebetulnya asal kami diberikan akses pasar para petani sudah sangat senang. Petani itu asal pasarnya lancar, harganya bagus sudah senang," katanya.
Harapan para petani di desanya pun terjawab. Pemprov DIY melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY serta Bank Indonesia (BI) memfasilitasi sebuah bangunan untuk dimanfaatkan sebagai lokasi pasar lelang.
Melalui pasar lelang itu, menurut dia, seratusan petani cabai di desanya bisa menjual hasil panen. Cabai yang disetor para petani ke pasar lelang pernah mencapai 60 ton dan seluruhnya laku terjual dalam sehari.
Seiring dengan penerapan adaptasi kebiasaan baru, harga jual pun berangsur membaik dan melonjak signifikan dari Rp4.000,00—Rp5.000,00 per kilogram untuk cabai rawit, kini pulih mencapai Rp50.000,00/kg.
Menurut Karman, cabai yang dijual di desanya memiliki harga yang bagus karena para tengkulak yang hendak membeli harus bersaing dengan sistem lelang.
"Sekarang justru kami yang kewalahan memenuhi permintaan pasar yang tinggi," ucap Karman.
Plt. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Syam Arjayanti mengatakan bahwa upaya memfasilitasi para petani melalui STA tidak hanya bertujuan untuk menampung hasil pertanian. Melalui sarana itu, harga jual hasil pertanian tidak akan anjlok karena menerapkan penjualan dengan sistem lelang.
Baca juga: Mentan tinjau panen raya dan persediaan beras di Pariaman Sumbar
Menurut Syam, STA telah berdiri hampir di seluruh desa di masing-masing kabupaten di DIY. Untuk mendukung operasionalnya, pemerintah menyediakan bantuan sarana seperti kendaraan roda tiga, laptop, timbangan duduk, hingga meja kerja.
Penerapan sistem lelang di STA agar petani bisa mendapatkan harga yang bagus. Mereka tidak diombang-ambingkan harga karena panjangnya rantai pemasaran.
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021