Semarang (ANTARA) - Legitimasi politik merupakan hal yang penting dalam menjalankan roda kepemerintahan daerah setelah pasangan calon terpilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Muncul pertanyaan seberapa besar pengaruh pilkada pada legitimasi politik kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan bermuara pada keberhasilan pemerintah provinsi/kabupaten/kota ke depannya. Namun, terlebih dahulu perlu mengetahui batasan lema legitimasi.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengandung dua arti. Makna pertama, legitimasi adalah keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keterangan adalah betul-betul orang yang dimaksud. Berarti pula kesahan. Makna kedua legitimasi mengandung arti pernyataan yang sah (menurut undang-undang atau sesuai dengan undang-undang); pengesahan.
Legitimasi (legitimize) versi Wikipedia bermakna kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan. Lema ini dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan, atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin.
Legitimasi politik ini tidak lepas dari produk pemilihan kepala daerah yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil. Selain kompetisi secara sehat, garansi utama legitimasi adalah tingkat partisipasi yang tinggi.
Pada pilkada serentak di 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota), 9 Desember 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menargetkan angka partisipasi sebesar 77,5 persen dari daftar pemilih tetap (DPT).
Walau capaiannya 76,09 persen, tingkat partisipasi mengalami peningkatan 7,03 persen dari angka partisipasi pada Pilkada 2015. Capaian pada Pilkada Serentak 2020, bisa dikatakan, luar biasa karena pelaksanaannya di tengah pandemik Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Upaya KPU dan Bawaslu beserta pemangku kepentingan lainnya untuk mengajak masyarakat yang punya hak pilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS), 9 Desember 2020, patut mendapat apresiasi.
Baca juga: 7 sengketa pilgub diterima MK
Baca juga: Hingga hari terakhir pendaftaran, MK terima 114 sengketa pilbup
Meski dibayangi rendahnya minat masyarakat untuk mendatangi TPS akibat wabah COVID-19, penyelenggara pilkada tetap berupaya untuk mendongkrak minat pemilih, di antaranya memaksimalkan sosialisasi secara daring (online) dengan platform berbagai bentuk media sosial.
Ditambah lagi, pada hari-H pencoblosan penyelenggara memberikan masker kepada pemilih yang tidak bermasker begitu tiba TPS. Tersedia pula hand sanitizer (penyanitasi tangan), tempat mencuci tangan beserta sabun, dan kursi yang penataannya berjarak kurang lebih 1 meter.
Setidaknya, upaya ini menimbulkan rasa aman atau tidak khawatir akan terjadinya penularan COVID-19 di arena TPS. Apalagi, anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) jauh hari telah menjalani rapid test atau tes cepat COVID-19. Apa yang telah dilakukan penyelenggara pilkada ini merupakan salah satu faktor pemilih datang ke TPS.
Pelibatan Lembaga Survei
Peran lembaga survei ini tidak kalah pentingnya ketika partai politik akan menentukan bakal pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah agar berpeluang memenangi pilkada sekaligus legitimasi politik yang kuat.
Sebagai contoh Partai Golkar menggandeng PolMark ketika melihat potensi pasangan calon pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Semarang. Bahkan, jauh hari PolMark Research Center (PRC) melakukan survei sebelum masa kampanye pilkada, 26 September sampai dengan 5 Desember 2020.
Partai Golkar merupakan salah satu partai pengusung pasangan Hendrar Prihadi-Hevearita G. Rahayu (Hendi-Ita) bersama PDIP, Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PAN, NasDem, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan PKS.
PRC melakukan survei pada tanggal 17—24 Agustus 2020 dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error ±4,8 persen pada selang kepercayaan 95 persen.
Survei, sebagaimana dirilis oleh Ketua DPP Partai Golkar H.M. Iqbal Wibisono, tidak saja mengetahui peluang pasangan Hendi-Ita memenangi pilkada, tetapi juga ingin mengetahui pandangan masyarakat Kota Semarang tentang berbagai masalah pokok di bidang sosial, ekonomi, politik, serta kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang tersebut.
Selain itu, mengetahui penilaian masyarakat Kota Semarang, Jateng, terhadap para calon wali kota dan calon wakil wali kota untuk memetakan tingkat popularitas dan "kedisukaan" serta potensi elektabilitas para calon tersebut.
Begitu pula sejumlah sifat kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang calon kepala daerah. Dalam hal ini mayoritas dari jumlah responden sebanyak 440 orang dengan proporsi imbang (50:50) laki-laki dan perempuan menginginkan pemimpin yang merakyat, peduli, dekat dengan warga sebesar 17,1 persen, kemudian jujur, bersih, tidak korupsi (16,2 persen), amanah dan tidak layak (10,9 persen).
Hal lain yang diinginkan responden adalah pemimpin yang bijaksana sebesar 8,8 persen; bersikap adil dan bertanggung jawab (7,8 persen); tegas (4,9 persen); religius, taat beragama (3,8 persen); pintar, cerdas (3,8 persen); ramah (2,8 persen); profesional (2,8 persen); rendah hati (2,7 persen); disiplin (2,5 persen); pekerja keras (2,4 persen); sabar (2,3 persen); berwibawa (2,0 persen); santun (1,6 persen), sederhana (0,9 persen); berani (0,7 persen); dan tidak tahu/tidak jawab 0,5 persen.
Janji-Janji Politik
Meski pada masa kampanye Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Semarang 2020 tidak begitu semarak jika dibandingkan suasana pada Pilkada 2015, angka partisipasi mencapai 68,62 persen dari total DPT sebanyak 1.174.068 pemilih.
Berdasarkan laman KPU RI, pasangan Hendi-Ita meraih 714.531 suara (91,4 persen), sementara kolom kosong alias kotak kosong sebanyak 67.407 suara (8,4 persen). Tingkat kehadiran pemilih dan kemenangan mutlak pasangan ini yang mencapai 91,4 persen merupakan garansi utama legitimasi politik ketika mereka menjalankan roda pemerintahan.
Begitu pula pasangan calon yang terpilih pada pilkada di 130 daerah yang capaian partisipasi pemilihnya melebihi target nasional. Seperti, Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Sulawesi Utara yang mencapai 81,83 persen dan Pilgub Bengkulu mencapai 79,69 persen.
Berdasarkan data KPU, lima kabupaten yang angka partisipasi tertinggi, yakni Pegunungan Arfak, Papua Barat (99,25 persen), Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara (94,94 persen), Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara (94,54 persen), Raja Ampat, Papua Barat (93,67 persen), dan Dompu, Nusa Tenggara Barat (93,53 persen).
Untuk pilkada di tingkat kota, Tomohon, Sulawesi Utara (91,98 persen), Tidore Kepulauan, Maluku (91,34 persen), Ternate, Maluku Utara (83,82 persen), Sungai Penuh, Jambi (82,81 persen), dan Blitar, Jawa Timur (79,20 persen).
Mereka yang menang dalam pilkada, baik tingkat partisipasinya di atas maupun di bawah target nasional, seyogianya tidak cukup puas dengan apa yang diraih. Namun, yang lebih penting adalah kepala daerah produk Pilkada 2020 menepati janji-janjinya pada masa kampanye agar memperkuat legitimasi politik ketika memimpin daerahnya hingga 2024.
Baca juga: MK terima 128 permohonan sengketa hasil Pilkada 2020
Baca juga: Analis: Kotak kosong Pilkada Semarang diprediksi mendapatkan suara
Copyright © ANTARA 2021