Jakarta (ANTARA) - Dari berbagai kasus yang ditangani Kejaksaan Agung selama 2020, tercatat ada dua kasus besar yang menyita perhatian publik, yakni kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan kasus Djoko Soegiarto Tjandra yang menyeret oknum Jaksa Kejaksaan Agung.
Pengusutan kasus ini bermula ketika Jaksa Agung mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan kasus Jiwasraya dengan Nomor Trim 33/F2/Fd2/12 tahun 2019 tertanggal 17 Desember 2019.
PT Asuransi Jiwasraya (Persero) telah banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi untuk mengejar keuntungan tinggi, diantaranya penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai Rp5,7 triliun dari aset finansial.
Sejumlah lima persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik, sisanya 95 persen dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk. Selain itu, penempatan reksa dana sebanyak 59,1 persen senilai Rp14,9 triliun.
Sebanyak dua persen dikelola manajer investasi dengan kerja baik. Sementara 98 persen dikelola manajer investasi dengan kinerja buruk. Akibatnya, PT Asuransi Jiwasraya sampai hingga Agustus 2019 menanggung potensi kerugian negara sebesar Rp13,7 triliun.
Pada Januari 2020, Komisaris PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh PT Asuransi Jiwasraya.
Pada hari yang sama mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Jiwasraya.
Kemudian mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Jiwasraya Syahmirwan juga ditetapkan sebagai tersangka.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, kelimanya langsung dibawa ke rutan untuk ditahan. Kelimanya ditahan di rutan yang berbeda.
Kemudian pada Februari, Kejaksaan Agung menahan Direktur PT. Maxima Integra Joko Hartono Tirto usai Joko ditetapkan sebagai tersangka dalam penyidikan kasus ini.
Pada Mei, Kejaksaan Agung menyerahkan lima berkas perkara tahap dua, yakni berupa penyerahan tersangka dan barang bukti kasus Jiwasraya ke penuntut umum.
Lima tersangka yang berkasnya lengkap yakni Benny Tjokrosaputro (kasus korupsi dan pencucian uang atau TPPU), Heru Hidayat (korupsi dan pencucian uang), Hary Prasetyo (korupsi), Hendrisman Rahim (korupsi) dan Syahmirwan (korupsi).
Kemudian di akhir Mei, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan berkas terdakwa Joko Hartono Tirto ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Pada akhir Juni, Kejaksaan Agung menetapkan sebanyak 13 perusahaan sebagai tersangka korporasi dalam penyidikan kasus Jiwasraya lantaran terlibat dalam proses jual beli saham Asuransi Jiwasraya.
Tiga belas perusahaan tersebut adalah PT Dhanawibawa Manajemen Investasi/PT Pan Arcadia Capital (DMI/PAC), PT OSO Manajemen Investasi (OMI), PT Pinnacle Persada Investama (PPI), PT Millenium Danatama Indonesia/PT Millenium Capital Management (MDI/MCM), PT Prospera Asset Management (PAM).
Kemudian PT MNC Asset Management (MNCAM), PT Maybank Asset Management (MAM), PT GAP Capital (GAPC), PT Jasa Capital Asset Management (JCAM), PT Pool Advista Asset Management (PAAA), PT Corfina Capital (CC), PT Treasure Fund Investama Indonesia (TFII) dan PT Sinarmas Asset Management (SAM).
Selanjutnya pada Oktober, Kejagung menetapkan status tersangka terhadap Pieter Rasiman yang merupakan Direktur Utama PT Himalaya Energi Perkasa. Pieter ditetapkan sebagai tersangka karena bekerja sama melakukan korupsi bersama dengan terdakwa Joko Hartono Tirto.
Kemudian Kejagung juga menetapkan status tersangka kepada Deputi Komisioner Pasar Modal II OJK periode Maret 2017 hingga sekarang dan mantan Kepala Departemen Pengawas Pasar Modal 2A periode April 2014 hingga Februari 2017 Fahkri Hilmi.
Pada sidang 12 Oktober 2020, majelis hakim yang dipimpin Ketua Susanti Arwi Wibawani memvonis Hary Prasetyo, Hendrisman Rahim dan Syahmirwan dengan hukuman penjara seumur hidup.
Masih pada hari yang sama, majelis hakim yang dipimpin oleh hakim Rosmina juga memvonis Hartono Tirto dengan hukuman penjara seumur hidup.
Barulah pada 26 Oktober 2020, Rosmina memimpin kembali sidang untuk Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat yang juga dijatuhi vonis penjara seumur hidup.
Keenamnya dinyatakan terbukti melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp16,807 triliun.
Khusus untuk Benny Tjokro, majelis hakim membebankan uang pengganti sebesar Rp6,078 triliun dan kepada Heru Hidayat uang pengganti sebesar Rp10,728 triliun. Keduanya juga terbukti melakukan pencucian uang.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai perbuatan para terdakwa bersifat terstruktur, sistematif dan masif terhadap Asuransi Jiwasraya; merusak dunia pasar modal dengan memanfaatkan transaksi pasar modal dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi; menyebabkan kerugian langsung kepada masyarakat banyak, khususnya nasabah asuransi; bahkan menggunakan KTP palsu untuk menjadi nominee dan menggunakan perusahaan-perusahaan yang tidak punya kegiatan untuk menampung usahanya.
Kasus Jaksa Pinangki
Kasus lain yang tak kalah menghebohkan adalah keterlibatan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus korupsi penerimaan gratifikasi pegawai negeri terkait pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung.
Pinangki yang saat itu menjabat sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan diketahui telah melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin pimpinan sebanyak 9 kali serta bertemu dengan Djoko Tjandra dan kuasa hukumnya, Anita Kolopaking.
Pinangki pun dianggap telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran Jaksa Agung No. 018/JA/11/1982 tentang Kesederhanaan Hidup, Surat Edaran Jaksa Agung Pembinaan No. B-1181/B/BS/07/1987 tentang Petunjuk Pelaksanaan untuk Mendapatkan Izin Bepergian ke Luar Negeri dan Surat Jaksa Agung Muda Intelijen No. B-012/D.1/01/1987 tentang Daftar Isian Clearance.
Pinangki juga melanggar PP No. 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa.
Kronologinya pada sekitar bulan November 2019, Pinangki selaku seorang Jaksa di Kejaksaan Agung bersama-sama dengan pengacara Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya bertemu dengan Djoko Tjandra yang merupakan buronan terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali di kantornya di The Exchange 106 Lingkaran TrX Kuala Lumpur, Malaysia.
Saat itu Djoko meminta Pinangki dan Anita untuk membantu pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung dengan tujuan agar pidana terhadap Djoko berdasarkan Putusan PK Nomor:12 PK/ Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 tidak dapat dieksekusi sehingga Djoko dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman.
Atas permintaan tersebut, Pinangki dan Anita bersedia membantu.
Djoko pun bersedia menyediakan imbalan berupa uang sebesar satu juta dolar AS untuk Pinangki demi mengurus kepentingan perkara tersebut.
Kejagung akhirnya menetapkan Pinangki, Djoko Tjandra dan Andi Irfan sebagai tersangka dalam kasus korupsi penerimaan gratifikasi pegawai negeri.
Pada September, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara pidana korupsi dan pidana pencucian uang dengan terdakwa Pinangki Sirna Malasari ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk segera disidangkan.
Saat ini Pinangki, Djoko dan Andi Irfan masih dalam proses persidangan.
Gedung Utama Kejaksaan Agung terbakar
Sabtu 22 Agustus 2020 pukul 19.00 malam, Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan dilalap si jago merah hingga keesokan hari. Gedung Utama ini ditempati mulai dari lantai 2 adalah unsur pimpinan Kejagung, yakni Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung, kemudian lantai 3 dan 4 Bidang Intelijen dan Jaksa Agung Muda Intelijen. Selanjutnya, lantai 5 dan 6 ditempati Bidang Pembinaan serta Jaksa Agung Muda Pembinaan.
Kejagung memastikan tidak ada data perkara yang terbakar meski salah satu lantai yang terbakar ada yang ditempati bidang Intelijen. Berkas perkara diklaim berada di Gedung Pidana Khusus yang letaknya agak jauh dari Gedung Utama. Selain itu, semua berkas perkara memiliki salinan cadangan.
Dari hasil penyelidikan dan penyidikan Polri, ditetapkan 11 tersangka dalam kasus ini. Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 188 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Namun demikian, polisi menyimpulkan tidak menemukan unsur kesengajaan dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejagung yang menyebabkan kerugian negara Rp1,12 triliun itu.
Penyelamatan uang negara
Kejaksaan Agung tercatat telah menyelamatkan keuangan negara lebih dari Rp19 triliun selama satu tahun kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
"Dalam setahun periode Jaksa Agung Burhanuddin menjabat yakni sejak Oktober 2019 hingga Oktober 2020, Kejaksaan telah melakukan penyelamatan keuangan negara dengan total Rp19.629.250.912.165 dan RM 1.412," kata Hari Setiyono selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung saat itu.
Rinciannya, Bidang Pidana Khusus Kejagung telah berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp18.723.983.669.675,90. Sementara Bidang Pidsus Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp905.267.242.490 dan RM 1.412 dan aset seperti benda bergerak dan tidak bergerak.
Kejaksaan Agung juga tercatat telah mengembalikan keuangan negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama satu tahun terakhir. Uang negara yang dikembalikan Bidang Pidana Khusus di seluruh Indonesia sebesar Rp7.028.705.921.302.
Sementara PNBP yang diperoleh dari denda perkara sebesar Rp48.873.534.660 dan PNBP dari biaya perkara sebesar Rp66.042.761.343.
Pesan Jaksa Agung
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam berbagai kesempatan senantiasa mengatakan pihaknya tidak hanya butuh sosok jaksa pintar namun juga yang memiliki integritas tinggi.
"Dan untuk kesekian kalinya saya tegaskan, saya tidak butuh Jaksa pintar tapi tidak berintegritas, saya butuh Jaksa yang pintar dan berintegritas," kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di acara pelantikan anggota Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Khusus (Satgassus P3TPK) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Ia menjelaskan pembentukan Satgassus P3TPK merupakan upaya konkrit Kejaksaan dalam meningkatkan intensitas percepatan, keakurasian penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi.
Burhanuddin juga membentuk Satgas 53 yang terdiri atas gabungan bidang Jaksa Agung Muda Intelijen, Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Pusat Penerangan Hukum untuk memperkuat dan mempercepat kinerja intelijen dan pengawasan dalam menyajikan informasi, akurasi dan kecepatan bertindak dalam menyelesaikan setiap dugaan pelanggaran disiplin.
Orang nomor satu di Korps Adhyaksa itu pun membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Timsus HAM) untuk mempercepat penuntasan dugaan pelanggaran HAM yang berat.
Pembentukan Timsus HAM ini sebagai upaya Kejaksaan dalam percepatan penuntasan dugaan pelanggaran HAM yang berat sejalan dengan arahan Presiden RI pada pembukaan Rapat Kerja Kejaksaan RI dan peringatan Hari HAM sedunia Tahun 2020.
Pembentukan Timsus HAM ini menegaskan kembali komitmen dan dukungan penegakan hukum oleh Kejaksaan sebagai bentuk penghormatan, pengakuan, dan pemenuhan terhadap HAM.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020