Kita sudah upayakan semua. Sampai sekarang karena produksi masih terbatas, kebutuhan pasar juga belum terlalu luas. Namun nanti kalau mau ada pengembangan, ini akan jadi kendala

Padang (ANTARA) - Angin dingin bertiup makin kencang mempermainkan pucuk-pucuk daun aren di Jorong Tabek, Nagari Talang Babungo, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, akhir Desember 2020.

Suaranya menderu-deru. Cukup untuk membuat ciut nyali. Apalagi remang masih menyelimuti daerah yang berada di lembah Bukit Barisan itu.

Menyuruk dalam selimut hangat sungguh sangat menggoda dalam cuaca yang begitu dingin dan tidak bersahabat. Namun tidak begitu dengan Syahrul (45). Ia sudah harus bersiap pergi ke pinggiran kampung untuk mengambil sadapan nira.

Nira yang disadap dari tangkai bunga pohon aren itu memang tidak bisa menunggu. Tetap harus "dipanen" bagaimana pun kondisi cuaca. Kalau terlambat, rasa airnya akan jadi asam. Kecut. Tidak bisa lagi diolah menjadi gula aren.

Syahrul sudah sangat paham hal itu. Alam yang mengajarinya. "Alam takambang jadi guru" begitu falsafah di kampung halamannya. Begitu pula ia belajar.

Pada awal-awal menyadap dahulu, seringkali ia terlambat "memanen" air nira. Air yang sudah jadi asam itu akhirnya terbuang begitu saja.

Sejak itu, ia tidak pernah terlambat lagi. Meski angin menderu-deru, ia tetap menguatkan hati memanjat pohon setinggi 20 meter itu.

Dengan cekatan namun hati-hati, ia menaiki satu demi satu anak "tangga" dari sebatang bambu yang menjulang hingga pucuk pohon itu.

Pengalaman membuatnya terbiasa untuk bekerja cepat dan efektif. Sebelum Matahari naik tinggi, ia biasanya sudah selesai "memanen" dari empat batang aren miliknya.

Pagi itu, ia bisa mengumpulkan tiga bumbung nira. Sekitar 20 liter. Air itu akan diolah menjadi gula aren secepatnya. Biasanya dari jumlah itu bisa menghasilkan sekitar tiga kilogram gula aren.

Baca juga: Bali belajar "Gula Semut" ke Kulon Progo

Gula aren dijual kepada pengelola Kampung Berseri Astra (KBA) Talang Babungo. Orang sekampungnya juga. Harganya sekarang lumayan, Rp40 ribu per kilogram.

Ia bersyukur karena hasil penjualan itu bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, menjelang padi di sawah bisa dipanen.

Syahrul bukan satu-satunya penyadap nira di Jorong Tabek. Sejak dua tahun lalu, sejak Tabek menjadi Kampung Berseri Astra (KBA), sejak para pegiat dari program itu memulai usaha produksi gula semut, ada belasan warga Tabek yang mulai aktif menyadap aren. Ada seribuan pohon aren di tebing-tebing kampung yang bisa disadap setiap hari.

Seribu memang belum jumlah yang banyak, tetapi setidaknya sudah cukup untuk membantu perekonomian masyarakat. Tidak itu saja. Yang lebih penting bisa menyalakan semangat, memantik ide pemanfaatan potensi daerah yang lama tersia-sia, tenggelam dalam ketidakpahaman.

Ketua KBA Talang Babungo,Kasri mengatakan gula sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Tabek, Talang Babungo. Sebelumnya, mereka sudah memiliki ilmu tentang membuat gula tebu. Ilmu turun-temurun dari nenek moyang sejak zaman Belanda.

Saat ini, produksi gula tebu juga masih berjalan. Sebagian besar dengan cara baru menggunakan peralatan modern. Namun cara lama tetap dipertahankan. Cara tersebut saat ini lebih pada kepentingan pariwisata.

Namun, gula semut benar-benar hal yang baru bagi mereka. Prosesnya sangat berbeda dari gula tebu. Lebih rumit. Lebih butuh waktu dan kesabaran. Risiko gagal juga lebih tinggi. Tetapi dengan hasil yang cukup sepadan.

Gula aren yang dibeli dari masyarakat, diolah lagi dengan cara dikeringkan dalam oven khusus selama 12 jam. Pengeringan itu untuk menurunkan kadar air hingga menjadi sekitar dua persen.

Kadar air yang rendah membuat gula semut bisa tahan lama tanpa menggunakan zat kimia sebagai pengawet. Pengeringan juga membuat aroma aren menjadi lebih pekat, menggoda penciuman.

"Oven ini dibantu oleh PT Astra Internasional tbk," sebut dia.

Ia membuka tutup oven itu. Memperlihatkan bungkah-bungkah gula aren yang sedang dikeringkan. Aroma harum gula karamel segera mengambang di udara, mengusik penciuman. Serasa ingin segera mencicipi. Gula aren yang telah kering itu nantinya digiling lagi hingga halus dan dikemas dengan plastik.

Baca juga: Kemenperin bimbing IKM gula semut pakai mesin otomatisasi

Kapasitas oven lumayan besar. Bisa menghasilkan 15 kilogram gula semut yang belum digiling dalam satu kali proses. Dengan harga gula semut Rp100 ribu per kilogram, sekali proses pengeringan bisa menghasilkan Rp1,5 juta.

Bila dikurangi dengan modal pembelian bahan baku gula aren dari masyarakat, biaya tenaga kerja dan biaya lainnya uang hasil satu kali proses itu masih bersisa bersih Rp500 ribu. Dalam satu bulan tentu sudah Rp15 juta. Lumayan.

Namun, hal itu hitung-hitungan di atas kertas saja. Realitanya belum semanis itu. Cukup banyak kendala yang harus dihadapi dalam memproduksi gula semut di Jorong Tabek, Talang Babungo.

Kedala itu di antaranya pasokan bahan baku yang belum stabil, baik dari segi jumlah maupun standar kualitas. Kemudian dalam hal pemasaran produk.

Meski memiliki cukup banyak pohon aren, sekitar seribu batang, hasil produksi masing-masing batang tidak sama setiap hari. Kadang banyak, kadang sedikit. Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti.

Demikian juga dengan standar kualitas. Ada nira yang baik, diolah menjadi gula aren yang kualitasnya juga baik. Gula aren itulah yang memenuhi syarat untuk dijadikan gula semut.

Namun, ada pula gula aren yang kualitasnya kurang baik. Saat diolah menjadi gula semut, hasilnya tidak maksimal dan tidak mungkin untuk dijual sehingga KBA Tabek harus menanggung rugi.

Untuk dua hal itu, Kasri sangat berharap ada perguruan tinggi yang bersedia serius meneliti dan memberikan solusi pada masyarakat terkait dengan perawatan pohon aren agar tetap memberikan hasil nira yang melimpah dengan kualitas bagus.

"Kami sudah mulai berpikir memperbanyak pohon aren ini. Namun terus saja ragu-ragu. Penyebabnya ilmu tentang bibit unggul dan proses penanaman aren ini belum dikuasai oleh masyarakat. Nanti ditanam, tetapi tidak menghasilkan nira," katanya.

Baca juga: Kucuran kredit menjadikan Kusen tetap eksis di tengah pandemi

Sementara, pemasaran masalah klasik. Gula semut belum terlalu familier di telinga masyarakat. Belum banyak yang kenal dengan produk itu meskipun memiliki banyak keunggulan dari gula tebu. Aman untuk penderita diabetes, misalnya.

Pangsa pasarnya adalah hotel dan kafe, atau masyarakat umum melalui platform digital.

"Kita sudah upayakan semua. Sampai sekarang karena produksi masih terbatas, kebutuhan pasar juga belum terlalu luas. Namun nanti kalau mau ada pengembangan, ini akan jadi kendala," ujarnya.

Meski cukup banyak kendala, KBA Talang Babungo memandang gula semut sebagai suatu peluang baru meningkatkan kesejahteraan keluarga. Peluang untuk rentetan usaha baru yang bisa muncul seiring dengan perkembangan usaha. Peluang untuk hidup yang lebih baik pada masa mendatang.

Peluang diberikan Yang Maha Kuasa itu, seringkali tidak terlihat oleh sebagian besar manusia. Namun ada di antara mereka yang mau belajar memahami, mencari, dan kemudian memanfaatkan peluang itu.

Kampung Berseri Astra Talang Babungo salah satu yang mulai memahami potensi yang dimiliki daerah itu. Mereka belajar untuk bisa memanfaatkan dan memperoleh hasil dari usaha itu.

Kampung Berseri Astra adalah anugerah bagi Jorong Tabek. Anugerah itu bukan untuk dihabiskan, tetapi untuk dikembangkan agar bisa memberikan kesejahteraan yang berkelanjutan pada masyarakat.

Baca juga: Ekspor gula semut naik 27 persen
Baca juga: Menteri Pertanian lepas ekspor gula semut Cilacap ke Brasil

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020