Kalau sebatas konsep sudah sangat banyak, tapi untuk tindakan masih bisa kita hitung jumlahnya
Bengkulu (ANTARA) - Berjarak 156 kilometer atau 90 mil laut di barat daya Pulau Sumatera, badai pekat disertai hujan deras dan angin kencang menyemai di Pulau Enggano nan sunyi, wangi tanah menyeruak ke udara.

Pulau Enggano adalah pulau terluar di Indonesia yang terletak di Samudera Hindia dengan badai ganas dan gelombang laut tinggi mencapai enam meter kala cuaca ekstrem. Pulau seluas 400,6 kilometer persegi ini merupakan satu kecamatan dalam wilayah Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.

Keanekaragaman hayati masih terjaga seperti hutan mangrove, pantai, riparian, hutan pamah, dan rawa air tawar.

Di Indonesia, tak banyak pulau yang memiliki ekosistem pesisir yang komplet seperti di Enggano dengan varian hutan mangrove di darat, padang lamun di pantai, dan terumbu karang di laut.

Kepala Laboratorium Perikanan Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu Mukti Dono Wilopo menjelaskan tutupan terumbu karang di sisi timur pulau masih di atas 70 persen pada 2014. Namun, dua tahun berselang banyak terumbu karang mati akibat perubahan iklim.

Rentang 2015 hingga 2016, peningkatan suhu air laut dampak fenonema atmosferik El Nino menyebabkan banyak terumbu karang di Pulau Enggano rapuh, kemudian mati.

Hasil penelitian akademisi Universitas Bengkulu, luas tutupan terumbu karang turun menyisakan 47-50 persen. Meski penurunan masih kategori sedang, kondisi ini jauh menurun jika dibandingkan dengan kondisi sebelum El Nino.

Sejak empat tahun lalu hingga sekarang, Universitas Bengkulu terus mendampingi masyarakat lokal dalam melakukan perbaikan terumbu karang. Kerusakan ekosistem bawah laut akibat perubahan iklim menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan.

Ada 16 spesies ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang pascadegradasi, di antaranya ikan napoleon dan kepe-kepe.

Hasil penelitian Universitas Bengkulu juga menunjukkan saat El Nino telah selesai di kawasan Pasifik pada April 2016, perairan di Pulau Enggano justru baru terdampak.

"Dampak El Nino bisa beragam di setiap daerah, setelah tempat lain selesai, Enggano justru baru terdampak," kata Mukti saat diwawancarai di Pulau Enggano, Bengkulu, pada awal Desember 2020.

Perbaiki Terumbu Karang

Pasca- El Nino, kalangan akademisi dan ilmuan terus berupaya memperbaiki kondisi terumbu karang yang menjadi rumah bagi banyak biota laut.

Kalangan mahasiswa, komunitas pencinta lingkungan, hingga pemuda lokal yang tergabung dalam karang taruna turut dilibatkan dalam upaya perbaikan terumbu karang.

Pada Agustus 2016, transplantasi terumbu karang mulai dilakukan di Desa Malakoni, Pulau Enggano. Kegiatan itu sebagai upaya pelestarian ekosistem bawah laut di pulau terdepan Indonesia.

Bibit terumbu karang ditanam pada media rak besi dengan substrat semen, kemudian bibit diikat menggunakan kabel ties.

Kini media pembibitan tak hanya ditumbuhi karang hasil transplantasi, tapi juga tumbuh secara alami.

Cikal bakal kegiatan transplantasi terumbu karang, awalnya dilakukan oleh para pemuda desa melalui kegiatan karang taruna, lalu akhirnya terbentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) dan klub menyelam.

Diketahui, luas ekosistem terumbu karang di Pulau Enggano lebih kurang 5.097 hektare dengan nilai manfaat ekonomi mencapai Rp176,9 miliar per tahun.

Kekayaan ekosistem terumbu karang merupakan salah satu sumber daya alam yang dominan --memberikan manfaat besar bagi kehidupan masyarakat di pulau tersebut.

Kegiatan rehabilitasi terumbu karang dilakukan agar habitat ikan dan biota laut yang menjadi sumber pangan masyarakat tetap tersedia.

Baca juga: Kisah perburuan penyu hijau di Pulau Enggano

Upaya merawat terumbu karang juga mendapat dukungan dari pemerintah desa melalui alokasi anggaran Dana Desa senilai Rp10 juta-Rp15 juta per tahun. Selain itu, peraturan desa juga melarang nelayan menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem bawah laut.

Ekosistem mangrove

Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi Bengkulu Zamdial Ta'alidin menjabarkan potensi sumber daya alam Pulau Enggano juga terletak dalam bidang ekosistem hutan mangrove.

Keberadaan hutan mangrove dinilai penting sebagai habitat beragam biota, pelindung, dan penahan dari intrusi air laut, perangkap sedimen, melindungi pantai dari abrasi, serta merupakan salah satu penyuplai nutrisi berupa serasah pada ekosistem laut.

Merujuk hasil penelitian yang dipublikasi Universitas Bengkulu terkait dengan jumlah, analisis, dan peta kerapatan vegetasi mangrove di sisi tenggara Pulau Enggano pada 2009 hingga 2016, disimpulkan bahwa kerapatan vegetasi mangrove di kawasan itu mengalami perubahan cukup signifikan.

Kelas kerapatan jarang berkurang seluas 445,34 hektare dan kerapatan sedang berkurang seluas 88,88 hektare. Adapun kerapatan lebat justru mengalami pertambahan seluas 556,76 hektare.

Perubahan kerapatan pohon dan presentase tutupan tajuk mangrove dalam lima tahun itu terjadi bukan hanya karena bertambahnya populasi, tetapi juga karena tajuk kian lebat.

Kondisi vegetasi hutan mangrove yang lestari dan terjaga dengan baik tak lepas dari peran pemerintahan desa dan masyarakat lokal yang semakin paham tentang pentingnya ekosistem pesisir.
Warga menanam propagul buah mangrove jenis Rhizophora di muara sungai Kuala Besar, Pulau Enggano, Bengkulu pada Selasa (8/12/2020). Pembibitan mangrove ini memerlukan waktu dua bulan sebelum ditanam di kawasan muara dan pesisir sebagai upaya melindungi pantai dari ancaman bencana. (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Pihak desa membuat peraturan yang melarang warga membabat mangrove, sedangkan para pemuda yang tergabung dalam kegiatan karang taruna terus melakukan upaya penanaman mangrove.

Kerapatan mangrove yang terletak di sisi tenggara Pulau Enggano menjadi benteng alami yang melindungi pulau dari ancaman abrasi. Merawat mangrove sama artinya dengan menjaga daratan pulau terdepan Indonesia untuk selalu ada.

Potensi maritim

Kekayaan sumber daya alam (SDA) maritim yang terkandung di Pulau Enggano merupakan potensi besar yang semestinya bisa dimanfaatkan secara tepat guna.

Tahun 2005, Zamdial Ta'alidin bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah menyusun konsep agrowisata maritim untuk Pulau Enggano.

Baca juga: Akses internet tak memadai hambat kemajuan Pulau Enggano

Namun, minimnya keberpihakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat kepada masyarakat pulau membuat implementasi konsep itu tak berjalan mulus.

"Kalau sebatas konsep sudah sangat banyak, tapi untuk tindakan masih bisa kita hitung jumlahnya. Walaupun dulu dengan dibangunnya bandara sebenarnya itu sudah mulai membuka peluang besar, tapi setelahnya (arus wisatawan, red.) surut lagi," kata Zamdial Ta'alidin yang juga Kepala Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu itu.

Sementara itu, Zulvan (41), pengelola wisata di Pulau Enggano menyesalkan terkait dengan minimnya peran pemerintah dalam mengelola potensi sumber daya alam tersebut.

Dia mengkritik buruknya infrastruktur transportasi, listrik, dan jaringan internet. Kondisi ini menyebabkan bisnis pariwisata yang digerakkan oleh masyarakat lokal menjadi terhambat.

Sebagai gambaran, ada dua pilihan aksesibilitas menuju pulau, pertama kapal yang berlayar dua kali dalam sepekan dengan durasi pelayaran selama 12 jam. Kedua, pesawat perintis yang juga beroperasi dua kali dalam sepekan dengan lama penerbangan 50 menit.

Kondisi elektrifikasi juga masih terbatas di mana listrik menyala setiap enam jam, lalu padam setiap enam jam. Artinya dalam sehari listrik hanya menyala 12 jam, kemudian padam 12 jam.

Kondisi jaringan internet hanya sebatas EDGE atau 2G dengan kecepatan data transfer antara 120 Kbps sampai dengan 384 Kbps.

Terdapat tiga tower telekomunikasi yakni di Desa Banjarsari, Malakoni, dan Ka'ana. Padahal luas wilayah Pulau Enggano mencapai 400,6 kilometer persegi, sedangkan jaringan 4G yang cepat dan stabil hanya ada di Banjarsari dan Ka'ana.

Bahkan Pelabuhan Ferry ASDP di Desa Kahyapu tak terjangkau sinyal provider.

Sebanyak tiga wisatawan asal Prancis pernah menghubungi Zulvan, saat mereka tiba di Indonesia. Surat elektronik mereka masuk, tapi saat coba dibalas, surel justru tak terkirim karena terkendala koneksi internet.

Ia mengelola ekowisata pengamatan burung secara mandiri di Pulau Enggano. Berbekal pengalaman saat menjadi pemandu wisata di Bali, Yogyakarta, dan Krui, dia mendatangkan turis ke Pulau Enggano.

"Enggano punya banyak potensi, tapi pasar belum jelas. Mayoritas pengelolaan wisata di sini bersifat mandiri," kata Zulvan yang telah menetap di Pulau Enggano selama 12 tahun.

Tumpang tindih kebijakan dan kewenangan antara adat dengan pemerintah menjadi alasan Enggano kurang berkembang.
Wisatawan menikmati pesona laguna biru Bak Blau di Desa Meok, Pulau Enggano, Bengkulu, Minggu (6/12/2020). Bak Blau adalah kolam alami batu gamping di tepi laut yang memiliki sumber mata air tawar di bagian dasar. (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Dalam publikasi ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2015, Pulau Enggano memiliki beragam flora dan fauna, di antaranya 35 jenis burung, 13 jenis mamalia kecil, tiga jenis mamalia besar, 13 jenis reptil, dua jenis amfibi, 24 jenis moluska, 25 jenis krustasea dan kelompok serangga, serta 52 jenis ikan.

Pemanfaatan potensi maritim di Pulau Enggano perlu dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan masyarakat lokal, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan pihak swasta.

Jangan sampai kekayaan alam yang ada ini justru salah urus, agar ke depan tak mendatangkan malapetaka.

Baca juga: Aktivis : hentikan penambangan terumbu karang Pulau Enggano
Baca juga: LIPI ekspos keanekaragaman hayati Pulau Enggano
Baca juga: Burung gosong kian langka di Pulau Enggano

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020