Makassar (ANTARA) - Lembaga masyarakat sipil Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Sulawesi Selatan melansir, sepanjang tahun 2020, jumlah kerugian materiil akibat kerusakan lingkungan hidup, perampasan ruang hingga bencana ekologis yang berdampak pada masyarakat ditaksir mencapai Rp8,24 triliun lebih.
"Data kerugian materil ini dihitung secara akumulasi dan diolah dari data yang ditemukan di lapangan serta beberapa sumber pendukung lainnya, " ungkap Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Ali Amin saat rilis catatan akhir tahun di Makassar, Rabu.
Bila dihitung kerugian masyarakat yang terdampak untuk perampasan ruang mencapai Rp165,7 miliar lebih. Perampasan ruang yang dimaksud, kata dia, seperti proses pembangunan pelabuhan baru, Makassar New Port (MNP). Tercatat ada 984 nelayan tradisional setempat yang terdampak.
Kerugian materiil yang dirasakan nelayan tradisional selama masa pembangunan MNP tahap IB dan IC, terbagi atas nelayan pancing merugi per hari Rp250 ribu, dengan akumulasi Rp64,2 juta lebih. Selanjutnya, nelayan rajungan, merugi per hari Rp300 ribu, diakumulasi Rp77, 1 juta lebih, begitupun perempuan nelayan kerang dan kanjappang merugi Rp35 ribu per hari dengan akumulasi Rp8,9 juta lebih.
Baca juga: Walhi: Kejahatan ekosida bentuk pelanggaran berat HAM
Baca juga: Walhi: Hutan Sulsel makin kritis
"Bila dihitung secara keseluruhan kerugian dialami nelayan dan pesisir Kota Makassar selama 257 hari proses penambang pasir laut oleh Boskalis, ditaksir mencapai Rp54,9 miliar lebih," ujar Amin.
Sementara kerugian materil atas dugaan perampasan ruang dampak penambangan pasir laut dilakukan oleh PT Boskalis, tercatat ada 1.043 nelayan di Pulau Kodingareng dan sekitarnya. Nelayan panah merugi Rp200 ribu per hari, dengan akumulasi Rp51,4 juta. Nelayan bagan merugi Rp2 juta per hari dengan akumulasi Rp514 juta.
Nelayan pancing merugi Rp300 per hari dengan akumulasi Rp77, 1 juta dan nelayan jaring merugi Rp1,4 juta dengan Rp359, 8 juta. Total kerugian keseluruhan yang dialami nelayan Pulau Kodingareng Makassar selama 257 hari proses pengerukan pasir lain sebanyak Rp80,4 miliar lebih.
"Adanya keberpihakan penguasa daerah dan korporasi memuluskan proyek itu, padahal masyarakat di pulau tidak pernah diberitahu apalagi mendapatkan sosialisasi secara terbuka ada penambangan pasir laut. Ironisnya, bahkan ada 12 nelayan diduga dikriminalisasi aparat karena menolak tambang pasir itu," ucap dia.
Selain itu, perampasan ruang dalam hal ini lahan masyarakat adat Pamona dan Pancakarsa di Kabupaten Luwu Timur diduga dilakukan oleh PTPN XIV.
Lahan yang kembali diambil seluas enam hektar dari luas garapan kelapa sawit 500 hektare. Padahal, keuntungan satu hektare lahan pertanian memperoleh keuntungan Rp60 juta. Tercatat ada 214 petani diduga menjadi korban perampasan.
"Artinya, sudah 506 hektare yang diambil perusahaan untuk perluasan perkebunan sawit. Masyarakat adat Pamona dan Pancakarsa telah mengalami kerugian sekitar Rp30,3 miliar lebih. Lahan yang dijadikan HGU oleh perusahaan seluas 814 hektar, diketahui diperoleh dari tanah ulayat masyarakat adat Pamona yang memiliki luas 938 hektare dikuasai sejak 1960-an," paparnya.
Sedangkan untuk kerugian materiil perusakan lingkungan tercatat secara akumulasi sebanyak Rp36,6 miliar lebih. Kerusakan lingkungan terjadi di Gunung Paleteang, Kabupaten Pinrang, karena aktivitas tambang.
Terdata ada 23 petani merugi karena hasil panen menurun. Bila ditotal ada 15 hektare lahan persawahan terdampak dengan kerugian petani sekitar Rp540 juta per tahun.
Begitupun, hadirnya tambang pasir di Sungai Bila, Kabupaten Sidrap. Sebanyak 132 petani menjadi korban sejak tambang itu beroperasi. Ada 502 hektare lahan pertanian ikut terdampak. Total kerugian dialami petani diperkirakan mencapai Rp36, 1 miliar lebih per tahun.
Kerugian untuk bencana ekologi di Sulsel tercatat secara akumulasi senilai Rp8,03 triliun lebih. Bencana ekologi banjir dan tanah longsor terparah di Kabupaten Luwu. Sebanyak 38 korban jiwa, 13.438 warga mengungsi, 1.986 hektare sawah rusak, dan 505 hektare kebun jagung serta 244 hektare kebun kakao dan puluhan fasilitas mengalami kerusakan.
Dari bencana ekologis tersebut, kerugian ditaksir mencapai Rp8 triliun. Bencana banjir juga terjadi di Kabupaten Bantaeng, mengakibatkan dua orang meninggal dunia, 2.333 rumah rusak, 197 hektare sawah dan perkebunan terendam. Kerugian diperkirakan mencapai Rp33 miliar.
Bencana banjir lainnya di BTN Cakra Hidayah Regency berdampak pada 300 Kepala Keluarga. Total kerugian tersebut ditaksir Rp6,6 miliar lebih. Musibah banjir lainnya terjadi pada akhir tahun di Kota Makassar terjadi di Kecamatan Manggala, Tamalanrea dan Biringkanaya, ratusan rumah terendam dan ribuan warga mengungsi.
"Direkomendasikan agar pemerintah provinsi menghentikan perampasan ruang hidup masyarakat, lindungi petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat dan lainnya. Cabut izin tambang menyalahi aturan, serta hentikan pelibatan kolega pada proyek APBN maupun APBD. Tumbuhkembangkan investasi berwawasan lingkungan hidup," tuturnya.*
Baca juga: WALHI Sulsel serukan "perang" terhadap kejahatan lingkungan
Baca juga: Greenpeace desak pemerintah ikut perjanjian laut internasional
Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020