lagi panen raya, jadi over produksi
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 di Indonesia yang telah 10 bulan berlalu telah meluluhlantakkan hampir semua sendi kehidupan masyarakat. Tidak hanya masyarakat global, tetapi juga masyarakat secara nasional bahkan sampai kepada masyarakat di pelosok desa.

Pandemi yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 itu tidak hanya mengancam dari sisi kesehatan, tetapi juga mengancam keberlangsungan ekonomi warga karena banyak di antara mereka kehilangan pekerjaan akibat penularan virus yang sangat cepat sehingga memaksa pemerintah untuk membatasi aktivitas yang berpotensi menimbulkan kerumunan, sehingga berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja.

Akibatnya, pengangguran ada di mana-mana. Itu terjadi tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga sampai ke desa-desa. Daya beli masyarakat merosot, hingga krisis ekonomi juga semakin tak terelakkan.

Di tengah carut marut kondisi ekonomi tersebut, pemerintah dan seluruh komponen bangsa harus berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dari ketidakpastian krisis yang tampaknya masih akan lama lagi berlangsung.

Dalam upaya itulah, pemerintah telah banyak mengambil kebijakan darurat untuk dapat mencegah dan mengendalikan penyebaran COVID-19 serta dampaknya terhadap kondisi ekonomi dan sosial warga.

Terutama di desa, salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) untuk memulihkan ekonomi di desa adalah dengan mendorong aktivitas ekonomi warga desa itu sendiri.

"Diawali dengan kebijakan menjaga kesempatan kerja di masa pandemi COVID-19, yang kita sebut dengan Padat Karya Tunai Desa (PKTD)," tutur Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar dalam sebuah konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/12).

Padat Karya Tunai Desa merupakan salah satu program prioritas pemerintah untuk merespons dampak ekonomi dari pandemi di desa dengan cara memberdayagunakan warga desa.

Warga desa yang miskin, menganggur, setengah menganggur dan warga marginal lainnya di desa diberi pekerjaan melalui program padat karya sehingga mereka bisa terus menghidupi keluarga masing-masing.

Melalui program tersebut, masyarakat diberi pekerjaan dan upah setiap hari sehingga mereka diharapkan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari.

Selain PKTD, Kemendes PDTT juga mencoba mendorong daya beli warga desa melalui penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa. Program tersebut diinisiasi pada awal masuknya pandemi di Indonesia guna memastikan warga desa bisa terus melakukan aktivitas daya beli sehingga perekonomian tetap berjalan.

Lainnya, Kemendes PDTT juga mengupayakan inovasi desa untuk dapat menangani COVID-19 secara mandiri, meningkatkan permodalan ke desa melalui transformasi Unit Pengelola Kegiatan (UPK) eks-Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM) menjadi Lembaga Keuangan Desa (LKD), menguatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), hingga penetapan protokol adaptasi kebiasaan baru agar aktivitas ekonomi yang dilakukan warga bisa berjalan beriringan dengan upaya pencegahan penularan COVID-19 di desa.

Baca juga: Gandeng Astra, Mendes optimistis kesejahteraan warga desa meningkat

Baca juga: Astra International berupaya dorong perekonomian desa



Desa Sejahtera
Sejumlah petani di Desa Klareyan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah tampak sedang beristirahat di tepian sawah pada Minggu (23/1/2017). (ANTARA/Katriana)

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk memastikan desa tetap aman dari COVID-19 dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan warga dan menguatkan ketahanan ekonomi warga di tengah pandemi.

Namun demikian, upaya penguatan untuk mewujudkan desa yang sejahtera bahkan di tengah gejolak pandemi COVID-19 membutuhkan dukungan dari banyak pihak, mulai dari swasta, lembaga swadaya masyarakat hingga dari masyarakat itu sendiri.

Dan salah satu kontribusi nyata dalam upaya meningkatkan kesejahteraan warga desa ditunjukkan oleh petani sekaligus penggerak Desa Sejahtera Astra (DSA), Khafidz Nasrullah.

Bahkan sebelum ada pandemi COVID-19, upaya pemberdayaan yang dilakukannya terhadap warga di desa tempat tinggalnya telah memberikan kontribusi sangat besar untuk warga. Terlebih di masa pandemi seperti saat ini, upaya yang telah ia lakukan sangat berarti bagi warga desa.

Lahir dari keluarga petani, orang tua Hafidz dan juga warga lainnya di Desa Ngargosari, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, sehari-hari bekerja sebagai petani yang mengandalkan tembakau sebagai salah satu produk utama pertanian di daerah tersebut.

Sehari-hari para petani merajang tembakau, mengeringkan, lalu menjualnya ke tengkulak untuk menambah pendapatan guna mencukupi kebutuhan setiap hari.

Meski berabad-abad mengolah tembakau, tetapi kondisi ekonomi warga di desa itu tidak juga meningkat. Karena itulah warga di sana mencoba peruntungan lain dengan mencoba menanam sayuran seperti bawang merah, bawang putih, cabai, terong dan jagung.

Namun sayangnya, meski telah berulang kali mengganti produk pertanian sebagai mata pencaharian, tetapi upaya keras mereka sering tidak membuahkan hasil yang semestinya.

"Jadi ada dua PR di masyarakat ketika berbicara tentang pertanian. Pertama ketika menanam cabai atau sayur, apakah mau panen atau enggak. Untuk bisa panen saja sudah butuh perjuangan yang luar biasa agar tidak kena hama. Kedua, ketika sudah panen harganya menguntungkan atau enggak. Misalnya cabai dan jambu. harga jambu merah di daerah tersebut hanya dihargai Rp300 per kilogram saat musim hujan. Dan lagi panen raya, jadi over produksi," kata Hafidz dalam Workshop Wartawan Lingkungan 2020 secara virtual, Jakarta, Selasa (10/11).

Ia mengatakan meski daerahnya memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah ruah, warga desa di Kabupaten Kendal dihadapkan dengan banyak keterbatasan ekonomi.

Mayoritas warga di daerah itu banyak memilih bekerja sebagai buruh bangunan di kota karena sulit mengembangkan potensi pertanian dan perkebunan yang ada.

Mulai dari permainan tengkulak, hingga harga jual yang lebih rendah dari harga produksi membuat para petani enggan untuk menghasilkan produk pertanian tersebut.

Untuk itu, dengan berbekal motivasi untuk meningkatkan pendapatan warga desa, Khafidz mencari alternatif produk yang dapat dikembangkan dari ribuan hektare perkebunan cengkeh milik pemerintah dan swasta yang menjadi salah satu potensi SDA di daerah itu.

Khafidz bersama warga, didukung program Desa Sejahtera Astra yang dikembangkan oleh PT Astra untuk membantu memberdayakan warga, akhirnya memanfaatkan sampah dari daun cengkeh dan rumput sereh wangi sebagai bahan baku untuk produk minyak atsiri yang bernilai guna.
Tangkapan layar bergambar petani yang sedang memproduksi daun cengkeh menjadi minyak atsiri di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Katriana)

Melalui produksi sampah daun cengkeh dan rumput sereh menjadi minyak atsiri tersebut, Khafidz dapat sekaligus memberdayakan warga sehingga kesejahteraan mereka juga semakin meningkat.

Saat ini, produk minyak atsiri tersebut tidak hanya dijual di dalam negeri tetapi juga diekspor ke beberapa negara seperti Jerman, Prancis dan Spanyol.

Selain berhasil meningkatkan kesejahteraan warga, inovasi produk yang dikembangkan Khafidz melalui PT NARES Essential Oils juga membantu kehidupan warga di 10 Desa Sejahtera Astra di Kabupaten Kendal menjadi semakin harmonis dan semakin berdaya saing.

Sementara itu, selain Hafidz, ada juga Rizki Hamdani, aktivis lingkungan penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards ke-11 bidang lingkungan yang berjuang meningkatkan daya saing warga desa dengan meregenerasi petani dari para santri di pondok pesantren tradisional.

Berawal dari kegelisahannya dengan proses regenerasi sistem pertanian yang ada saat ini, Hamdani kemudian mencoba mengajak para santri di pondok pesantren untuk mengembangkan sistem pertanian terpadu atau dikenal dengan integrated farming system.

Alasannya untuk mengajak para santri adalah karena mereka cenderung patuh dengan setiap arahan yang diberikan oleh para kyai mereka. Oleh karena itu, Hamdani mencoba mengajak para kyai yang juga bertekad melestarikan lingkungan untuk mengajak para santrinya melakukan aktivitas pertanian di sela-sela kegiatan mengaji.

"Jadi kami menyediakan unit-unit usaha di lingkungan pondok pesantren sesuai dengan passion yang diinginkan oleh santri. Jadi bukan kita mengarahkan atau memaksa santri, tapi kita mewujudkan apa yang menjadi keinginan santri," kata Hamdani.

Dalam program itu, Hamdani mendorong para santri untuk berwirausaha dengan menjalankan beberapa unit usaha, mulai dari budidaya air tawar seperti ikan gurame, nila, lele dan juga ikan patin.

Di peternakan ada juga usaha memelihara sapi, kambing, bebek, ayam dan ternak lainnya. Di pertanian juga Hamdani mengajak para santri untuk mengembangkan produk-produk pertanian pangan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

Melalui sistem pertanian terpadu tersebut, Hamdani bermaksud menciptakan keterpaduan antara komoditas dan juga antara pelaku usaha.

Untuk komoditas, Hamdani mencoba memadukan usaha menghasilkan komoditas pertanian dengan upaya pelestarian lingkungan sehingga proses pengembangannya tidak merusak lingkungan di sekitar.

Sementara untuk kelompok unit usaha itu sendiri, Hamdani membentuk kelompok santri milenial agar para santri yang diberdayakan dapat memberikan sinergi yang baik satu sama lainnya.

Melalui sistem pertanian terpadu, Hamdani mencoba meningkatkan kesejahteraan para santri sekaligus meningkatkan daya saing mereka dalam berwirausaha.

Selain Hafidz dan Hamdani, masih banyak lagi para pejuang yang mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha dan peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

Sehingga dengan upaya terpadu dari pemerintah dan seluruh komponen bangsa, maka cita-cita untuk mewujudkan desa yang sejahtera diharapkan dapat tercapai, sehingga desa bisa pulih dari keterpurukannya secara ekonomi dan semakin berdaya saing sehingga bisa turut memberikan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Baca juga: Berdayakan warga, petani Kendal ubah sampah jadi produk bernilai guna

Baca juga: Kemendes dan Astra lanjutkan kerja sama bangun Desa Sejahtera

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020