Pandemi ini mengubah pola konsumsi masyarakat dari offline ke online. Pemenuhan kebutuhan yang awalnya dilakukan dengan cara konvensional bergeser ke digital. Adaptasi wajib dilakukan KUKM dan pemerintah berperan sebagai akselerator.

Jakarta (ANTARA) - Belum genap setahun sejak badai pandemi COVID-19 menghantam Ibu Pertiwi yang mengakibatkan seluruh sektor kehidupan seperti dikembalikan pada titik awal bermula, tapi dampaknya demikian keras dirasakan terutama bagi para pelaku usaha koperasi serta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Semua terasa kembali jatuh ke titik nol bahkan banyak di antaranya minus alias lebih buruk dari awal atau permulaan merintis usaha.

Kondisinya demikian berbeda dengan badai krisis moneter yang pernah menghantam lebih dari 22 tahun lalu, ketika itu sektor koperasi dan UMKM justru menjadi penumpu kebangkitan ekonomi Indonesia.

Ketika perusahaan dan pemodal besar ambruk lantaran ketergantungan yang besar pada perbankan yang kolaps, UMKM yang mandiri demikian fleksibel menggerakkan terus ekonomi Indonesia di level terbawah. Indonesia pun pulih karenanya.

Namun keadaan sungguh berbeda saat ini ketika pandemi COVID-19 justru menghantam mereka yang berada di sektor riil dengan amat keras. UMKM, koperasi, dan startup yang awalnya seperti cendawan di musim hujan tiba-tiba jatuh berguguran. Utamanya mereka yang tak terkoneksi langsung dengan teknologi digital.

Kementerian Koperasi dan UKM dalam dua bulan sejak awal terjadi pandemi di Indonesia misalnya tercatat menerima aduan dari sebanyak 163.713 UMKM dan 1785 koperasi yang melaporkan diri secara langsung terdampak.

Baca juga: Upaya Menteri BUMN Erick Thohir membantu sektor UMKM pada tahun 2020

Turunnya permintaan secara signifikan menjadi permasalahan utama dari aduan yang diterima oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Arahan pemerintah untuk bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah secara langsung mengurangi kesempatan KUMKM untuk menjalankan aktivitasnya.

Merespons hal itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki bergerak cepat dengan mendorong shifting platform pemasaran dan model berjualan pelaku KUMKM ke arah digital.

“Pandemi ini mengubah pola konsumsi masyarakat dari offline ke online. Pemenuhan kebutuhan yang awalnya dilakukan dengan cara konvensional bergeser ke digital. Adaptasi wajib dilakukan KUKM dan pemerintah berperan sebagai akselerator,” kata Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki.

Salah satu program andalannya pada awal pandemi COVID-19 adalah menggandeng marketplace dan penyedia platform digital agar menyediakan ruang khusus untuk KUMKM melalui program KUMKM Hub.

Pemetaan Persoalan

Pemerintah berusaha memetakan persoalan para pelaku KUMKM di lapangan, bagi mereka yang jatuh ke titik kebangkrutan akibat pandemi akan terkategori dalam penerima bantuan sosial.

Pelaku KUMKM yang masih dapat terselamatkan dibekali bantuan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), sedangkan mereka yang bisa terus menjalankan usahanya didukung melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dari regulasi yang memihak.

Baca juga: Antusiasme UMKM tinggi, plafon KUR naik jadi Rp253 triliun tahun 2021

Beberapa program yang dikembangkan di antaranya Gerakan Nasional #BanggaBuatanIndonesia dan Gerakan 100.000 UMKM Go Online. “Pemerintah sedang menggerakkan program belanja dan bangga buatan Indonesia. Pemerintah mencoba ringankan beban keuangan UMKM. Kami dorong untuk tetap bertahan dan tumbuh. Terbukti, sektor kuliner, makanan dan bahan pokok adalah sektor yang tetap tumbuh, di masa pandemi COVID-19,” kata Teten.

Selain itu, tambah Teten, di tengah pandemi ini digitalisasi menjadi solusi, tercatat ada tambahan 2 juta UMKM masuk ke dalam ekosistem digital sehingga ada 10,25 juta UMKM yang sudah terhubung dengan ekosistem digital atau sekitar 16 persen dari total populasi UMKM.

“Hal ini menunjukkan tren ekonomi digital selama pandemi tumbuh positif. Ini merupakan peluang baru di masa pandemi COVID-19, di mana porsi ekonomi digital Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara,” kata Teten.

Pada 2025, Google, Temasek mengestimasikan nilai transaksi ekonomi digital mencapai Rp1.826 triliun. Selain itu pada 2019, Bank Indonesia mencatat nilai transaksi ekonomi digital mencapai Rp265 triliun. Dengan ataupun tanpa pandemi, transformasi digital adalah keniscayaan.

Ini sejatinya menunjukkan peluang besar di tengah pandemi melalui digitalisasi. Terutama untuk beberapa produk yang sangat dibutuhkan di antaranya pangan dan produk pertanian.

Wajar jika kemudian saat pandemi ini justru banyak bermunculan sejumlah start up digital yang kreatif dan inovatif pada sektor-sektor yang menjanjikan.

Baca juga: Menkop UKM ingin dorong koperasi jadi pilihan kegiatan usaha publik

Startup Digital

Selain koperasi pertanian yang mendapat peluang berkembang dengan baik pada masa pandemi COVID-19, bisnis melalui platform berteknologi tinggi juga amat menjanjikan.

Pengamat bisnis dan industri start up yang juga Business Representative dari VC FasterCapital Karim Taslim menilai potensi berkembangnya start up di Indonesia masih sangat besar terutama di tengah pandemi.

Ketika dunia dihadapkan pada wabah pandemi COVID-19, tidak terkecuali Indonesia, perkembangan start up menghadapi tantangan sekaligus mendapatkan momentum yang tak terduga.

Ada bidang-bidang tertentu yang terdampak sangat parah, bahkan beberapa start up besar dalam industri pariwisata terpaksa gulung tikar. Sementara Startup-Startup e-Commerce, Educational, Fintech, hingga On Demand Services, mendapatkan momentum luar biasa.

Pembatasan sosial selama masa pandemi menyebabkan aktivitas masyarakat di luar rumah berkurang. Hal ini justru berdampak positif pada tren penjualan dari e-Commerce di Indonesia, terutama di sektor ritel.

Startup-startup di bidang e-Commerce, kata Karim, membukukan penjualan hampir 5 kali lipat dari kuartal sebelumnya. Barang-barang kebutuhan pokok, makanan minuman, kesehatan dan kebutuhan rumah tangga adalah barang-barang yang paling banyak dicari konsumen.

Bahkan tercatat ada 51 persen konsumen baru yang baru pertama kalinya berbelanja secara online, tidak semua konsumen baru ini tercatat sebagai pengguna e-commerce formal, namun sebagian di antaranya merupakan pengguna e-commerce nonformal (toko online melalui Instagram, Facebook, atau situs pribadi).

Baca juga: Teten: UMKM harus masuk ekosistem digital menatap era usai pandemi

Tercatat pada 2018, hampir 90 persen produk yang listing di e-commerce Indonesia, didominasi oleh produk impor sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perdagangan RI saat itu. Kadin bahkan memberikan angka yang lebih tinggi, yaitu 93-94 persen.

Beberapa upaya nyata telah dilakukan oleh Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan produk-produk lokal, tetapi hasilnya belum maksimal. Produk lokal, mikro, kecil dan menengah, pun faktanya belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Pendiri Start up Sensa.id Syahroni yang merupakan marketplace produk-produk dari desa menyatakan ingin mengambil peluang dengan menggarap potensi-potensi kecil yang tak dilirik usaha besar di tengah pandemi.

Ia mendapati marketplace yang dikembangkan bersama enam orang rekannya itu mulai dikenal masyarakat lantaran menyediakan produk-produk unik langsung dari petani atau UMKM di perdesaan serta ditawarkan melalui daring.

Produk-produk yang dipasarkan melalui Sensa.id, dapat dipastikan merupakan produk-produk lokal, dan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi bagi pemerintah untuk mengimbangi gempuran produk impor.

Bahkan sensa.id juga mendorong para petani, peternak, pengrajin, agar tidak semata-mata menjual produk-produk mentah.

Hal yang paling dibutuhkan saat ini adalah upaya inovasi dalam bidang promosi agar marketplace yang dikembangkannya yang merupakan singkatan dari Sentra Desa itu semakin luas pasarnya.

Ia mengatakan, selain inovasi dalam bidang promosi, juga perlu dukungan dari pemerintah dalam hal mengkurasi dan mengembangkan produk pertanian dan pedesaan karena sifatnya yang lokalistik mesti mendapat perlakukan khusus.

Jadi pandemi tak melulu cerita tentang keterpurukan melainkan kisah mengenai kekuatan untuk bisa bangkit setelah jatuh akibat pandemi. Terlebih bahwa koperasi dan UMKM adalah tulang punggung perekonomian bangsa ini.


Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020