Jakarta (ANTARA) - Makanan Korea Selatan kian populer seiring dengan derasnya hallyu (Korean wave) di Indonesia, mulai dari hadirnya sederet film, serial drama, hingga grup idola K-pop.
Kehadiran arus budaya pop ini seakan mampu membuat makanan Korea menjadi familier bagi penggemar di negeri lain, termasuk di Tanah Air.
Sejumlah santapan Korea yang akrab di Indonesia pun biasanya didominasi dengan makanan khasnya seperti ttokpoki, ramyeon, sampai gimbap.
Baca juga: Begini cara bikin mie seperti di drama Korea
Baca juga: Kisah di balik lezatnya semangkuk bibimbap
Namun, pernahkah Anda membayangkan untuk mencicipi hidangan Korea dengan sentuhan modern (fusion) dengan nuansa seperti di negara asalnya? Restoran Moonlight Pocha bisa menjadi alternatifnya.
Seperti namanya, Moonlight Pocha yang berada di Kemang, Jakarta Selatan ini hadir dengan tampilan ala "pocha".
"Pocha" sendiri adalah kependekan dari "pojangmacha" (포장 마차), yang secara harfiah berarti "gerobak tertutup", dan mengacu pada penjual makanan jalanan (street foods) di Korea Selatan. "Pocha" di Korea biasanya menjadi tempat nongkrong para pegawai kantoran selepas bekerja di malam hari.
Tak mengherankan, ketika masuk restoran, pengunjung langsung disambut dengan pemandangan ala jalanan malam hari Negeri Ginseng. Restoran didesain dengan gaya khas namun modern ini seakan berhasil mengusung temanya dengan apik.
Moonlight Pocha yang hadir di Jakarta mulai Oktober 2020 ini mulanya hanya melayani pada sore hingga malam setiap harinya. Namun, baru-baru ini, restoran akhirnya hadir di jam makan siang.
ANTARA pun berkesempatan mencicipi sejumlah hidangan favorit Moonlight Pocha yang dibuat oleh chef asal Korea Selatan, yaitu chef Andy Kwon.
Hidangan pertama adalah stir-fried seafood japchae. Melihat tampilannya, agaknya hidangan ini tak nampak seperti japchae pada umumnya.
Japchae, yang secara literal berarti "sayuran yang dicampur", terdiri dari mi yang terbuat dari ubi, bersama dengan sayuran berwarna-warni dan daging yang dibumbui.
Tampilannya juga terlihat eye-catching dengan sarang telur yang dibuat tipis. Dari tekstur, mi-nya pun kenyal, dipadukan dengan aneka sayuran yang renyah ketika dikunyah. Hidangan ini cocok dimakan dalam keadaan panas maupun dingin.
Bila biasanya japchae hadir dengan daging sapi, ayam, atau bahkan babi, Chef Andy memadukannya dengan seafood. Japchae yang didominasi dengan rasa manis-gurih, menjadi lebih menarik dengan rasa manis yang dihasilkan oleh udang.
Lebih lanjut, ada menu andalan Moonlight Pocha, yaitu spicy bul-dak with cheese. Hidangan ini menjadi salah satu favorit pelanggan di restoran ini.
Sesuai namanya, hidangan ini terdiri dari ayam pedas (fire chicken) yang atasnya dilumuri dengan keju mozzarella leleh.
Bul-dak sendiri secara harfiah diartikan sebagai "ayam api" (fire chicken), di mana "bul" berarti "api" dan "dak" berarti "ayam."
Spicy bul-dak buatan Chef Andy didominasi dengan rasa pedas namun manis. Karena tak hanya ayam, di dalamnya juga ada keju mozzarella leleh serta sejumlah sayuran seperti tauge -- yang menambah tekstur dan sensasi menyenangkan di mulut.
Hidangan ini cocok disantap selagi panas bersama dengan tambahan nasi.
Setelah tubuh dihujani keringat karena rasa pedas dari bul-dak, saatnya menyegarkan diri lewat hidangan selanjutnya. Chef Andy menyajikan "sogogi tangsuyuk" atau fried beef with sweet and sour sauce.
Meski ini bisa dibilang merupakan hidangan utama karena mengandalkan daging sapi goreng, makanan ini terbilang cukup menyegarkan ketika disantap.
Potongan daging sapi dilapisi dengan adonan yang membuatnya renyah saat dimakan. Tangsuyuk disajikan dengan saus asam manis, yang biasanya dibuat dengan merebus cuka, gula, dan air, dengan berbagai buah dan sayuran seperti wortel, mentimun, bawang merah, jamur, dan nanas. Tampilannya juga memanjakan mata.
Sensasi menyantap daging sapi bersama dengan aneka sayuran, buah dan baluran saus asam-manis terbilang cukup menyegarkan dan membuat ketagihan.
Secara keseluruhan, hidangan-hidangan di Moonlight Pocha memiliki cita rasa yang beragam, mulai dari jajanan seperti odeng, aneka gorengan, hingga makanan utama fusion Korea seperti tiga yang telah disebutkan di atas. Harganya sendiri dimulai dari Rp12-200 ribuan.
Ditambah dengan pengalaman baru yang membuat pengunjungnya merasa betah menikmati nuansa malam ala "pocha" seperti layaknya berada di sebuah adegan drama Korea favorit.
Baca juga: Renyah gurih ayam goreng ala Korea dari Moon Chicken
Baca juga: Belajar masak makanan Korea otentik bersama Chef Jun
Berkenalan dengan Chef Andy
Daya tarik dari restoran ini tak hanya bertempat di nuansa "pocha" dan aneka santapan fusion Korea-nya, namun juga pada chef yang berada di baliknya.
Chef muda asal Korea Selatan bernama Dae-yong Kwon -- atau yang akrab disapa dengan Chef Andy merupakan seseorang di balik hidangan-hidangan fusion ini.
Kepada ANTARA, ia menuturkan bahwa karakter seseorang bisa muncul melalui makanan yang dimasak. Pun dengan dirinya. Ia mengaku hidangannya terinspirasi dari pengalamannya memasak di sebuah restoran di Australia -- awal mula ia meniti karir sebagai seorang chef -- dan kecintaannya kepada hidangan dari kampung halamannya di Ilsan, Korea Selatan.
"Saya mulai serius memasak di usia 22 tahun, tak lama setelah saya menyelesaikan wajib militer. Saya lalu banyak berpergian dan akhirnya tiba di Melbourne, Australia. Di sana, saya banyak sekali belajar dan menemukan passion," ujar Andy.
Setelah bertahun-tahun merantau di negeri lain, ia kemudian kembali ke negara asalnya, sebelum akhirnya melanjutkan petualangannya di Jakarta.
Andy mengatakan dirinya masih 4 bulan tinggal di Jakarta, sehingga belum terlalu familier dengan gaya hidup di ibu kota. Namun, ia sudah mempelajari cita rasa makanan Indonesia. Menurutnya, hal itu penting untuk menentukan menu yang nantinya akan ia buat dan sajikan.
"Menurut saya, cita rasa makanan Indonesia agak mirip dengan hidangan Thailand, dan saya sangat menyukainya. Harapannya, menu-menu ini bisa cocok dengan lidah orang Indonesia, karena walaupun ini merupakan masakan Korea, ini ditujukan untuk masyarakat Indonesia," jelas chef berusia 29 tahun itu.
Menjadi seorang chef profesional di usia muda pun ia nilai tidak berjalan semulus yang dibayangkan. Seperti layaknya cita-cita, perlu keberanian dan keinginan untuk terus belajar demi mencapai tujuannya sebagai seorang chef.
"Hal yang saya selalu pegang sejak awal adalah keberanian, kepercayaan diri, dan keinginan untuk terus belajar. Saya pernah memulai dari menjadi seorang pencuci piring di restoran, tapi saya tidak menyerah," kenang Andy.
"Terus belajar dan mengasah diri - seperti layaknya pisau. Dan sekarang, dengan memberikan saya sebuah pisau sudah bisa membuat saya terpacu untuk memasak menu baru lainnya," pungkasnya.
Baca juga: Menu Idul Adha - Olahan daging sapi ala Korea Jangjorim
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020