Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi mendukung penguatan jaringan negosiator dan mediator perempuan di Asia Tenggara (SEANWPNM) agar lebih banyak perempuan terlibat aktif dalam perundingan perdamaian di kawasan.
Retno menyampaikan dukungan itu kepada enam anggota Southeast Asian Network of Women Peace Negotiators and Mediators (SEANWPNM) lewat pertemuan virtual yang diadakan Rabu (23/12), kata Kementerian Luar Negeri RI melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
SEANWPNM adalah jaringan negosiator dan mediator perempuan di Asia Tenggara yang pembentukannya diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia pada 2019.
Walaupun demikian, anggota SEANWPNM tidak mewakili pemerintah atau negara. Mereka bergabung mewakili individu.
"Perempuan harus diberikan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam proses perdamaian," kata Retno kepada enam anggota komite yang berasal dari Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Timor Leste, dan Thailand.
Dalam kesempatan itu, Retno menyampaikan harapan agar SEANWPNM dapat memperkuat serta melengkapi berbagai inisiatif dan mekanisme terkait isu Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS), yang ada di Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN).
"(SEANWPNM juga diharapkan, red) menjalin kolaborasi dan kemitraan dengan jaringan mediator perempuan, baik di kawasan lain maupun di tingkat global untuk semakin memperkuat gerakan global pemajuan agenda WPS," terang Retno ke enam anggota komite pengurus jaringan.
Retno, menteri luar negeri perempuan pertama di Indonesia, tahun lalu menyampaikan keinginannya membentuk jaringan negosiator perempuan di Asia Tenggara.
Komitmen itu ia sampaikan pada pertemuan Aliansi Global Mediator Perempuan yang berlangsung di sela-sela Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-74 di New York, Amerika Serikat.
Berdirinya SEANWPNM pun menjadikan Asia Tenggara sebagai pelopor jaringan juru runding perempuan di Asia. Jaringan itu pun menambah daftar jejaring juru runding perempuan lainnya yang telah terbentuk di wilayah Afrika, Arab, negara-negara persemakmuran Inggris, Skandinavia, dan Mediterania.
Data terbaru Council on Foreign Relations (CFR) menunjukkan keterlibatan perempuan sebagai penengah dan juru runding masih tertinggal jauh dari laki-laki. Lembaga kajian nonprofit itu menunjukkan keterlibatan perempuan pada perundingan damai di Afghanistan hanya mencapai 10 persen, sementara di Libya sebanyak 20 persen. Bahkan, tidak ada perempuan yang terlibat dalam perundingan damai di Yaman, kata CFR lewat laporannya.
CFR merupakan lembaga kajian yang berkedudukan di Amerika Serikat dan telah berdiri sejak 1921.
Terkait itu, Retno berharap SEANWPNM dapat memberi warna baru dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan di kawasan, yang salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan budaya demi menghindari aksi saling menyalahkan (finger pointing) pada tiap perundingan.
Pendekatan itu, menurut Retno, merupakan salah satu cara menyentuh akar permasalahan konflik sehingga perdamaian dapat terpelihara.
Dalam pertemuan itu, enam anggota komite yang hadir di antaranya adalah Shadia Marhaban (Indonesia), Dr Emma Leslie (Kamboja), Prof Miriam Coronel-Ferrer (Filipina), Lilianne Fan (Malaysia), Leonésia Tecla da Silva (Timor-Leste) dan Angkhana Neelapaijit (Thailand).
Anggota komite asal Indonesia, Shadia Marhaban, menyampaikan SEANWPNM akan memperluas jangkauan dan merangkul lebih banyak penengah dan juru runding perempuan di Asia Tenggara.
Shadia merupakan seorang juru runding yang tergabung dalam Mediators Beyond Borders International. Ia merupakan salah satu negosiator Gerakan Aceh Merdeka pada perundingan damai di Helsinki pada 2005.
Baca juga: Indonesia soroti peran perempuan dalam misi penjagaan perdamaian
Baca juga: Menteri paparkan kemajuan peran, pemberdayaan perempuan di Afghanistan
Upaya Indonesia dalam diplomasi perdamaian dunia
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020