Pertempuran dilaporkan masih berlanjut, khususnya di beberapa daerah utara, tengah, dan selatan Tigray

Jakarta (ANTARA) - Konflik bersenjata di Tigray antara tentara Pemerintah Ethiopia dan pasukan pemberontak Barisan Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) selama tujuh pekan terakhir dilaporkan masih berlanjut sehingga menyebabkan ratusan warga sipil tewas dan puluhan ribu orang terusir dari rumahnya.

Informasi itu disampaikan oleh Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet melalui pernyataan tertulis yang disiarkan oleh laman resmi PBB, Selasa (22/12).

"Pertempuran dilaporkan masih berlanjut, khususnya di beberapa daerah utara, tengah, dan selatan Tigray," kata Bachelet. Ia juga menyebutkan pemadaman listrik dan pemutusan akses komunikasi masih terjadi di beberapa daerah dan berdampak pada kehidupan warga sipil di Tigray.

Bachelet menerangkan laporan itu menambah daftar pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional yang diduga dilakukan oleh Pemerintah Ethiopia, tentara pemerintah, pasukan milisi/bersenjata pro pemerintah di Amhara, dan pasukan bersenjata pro TPLF.

TPLF merupakan partai politik yang sempat berkuasa di Ethiopia selama puluhan tahun. Namun, dominasi itu berakhir sejak Abiy Ahmed terpilih sebagai perdana menteri pada 2018.

Dalam kesempatan terpisah, Juru Bicara Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) Elizabeth Throssell saat jumpa pers di Jenewa, Swiss, Selasa (22/12), kembali menyoroti berbagai serangan terhadap warga sipil yang diyakini dilakukan oleh tentara pemerintah dan pasukan dari Amhara sepanjang bulan lalu.

OHCHR menerima laporan serangan terhadap warga sipil diyakini terjadi di beberapa kota di Tigray, di antaranya Humera, Adigrat, dan Mai Kadra, kata Throssell. Lewat beberapa kesaksian warga dan laporan yang diterima Badan HAM PBB, tentara pemerintah dan pasukan bersenjata Amhara diyakini bertanggung jawab atas aksi pembunuhan dan penjarahan massal yang mengorbankan ratusan warga sipil.

Namun, Komisi HAM Ethiopia dan Pemerintah Ethiopia berulang kali menegaskan bahwa pasukan TPLF bertanggung jawab atas seluruh serangan terhadap warga sipil, khususnya yang terjadi di Mai Kadra.

Walaupun demikian, OHCHR masih belum dapat memverifikasi laporan Pemerintah Ethiopia dan berbagai informasi yang masuk karena terbatasnya akses komunikasi dan transportasi ke Tigray.

Laporan dan berbagai kesaksian yang diterima OHCHR menunjukkan rangkaian serangan artileri diluncurkan dari Eritrea dan menargetkan pemukiman padat penduduk serta rumah sakit di Kota Humera pada 9-11 November 2020.

Serangan yang sama juga berlangsung di Kota Adigrat pada awal November hingga menyebabkan banyak keluarga mengungsi ke daerah pegunungan.

Banyak pengungsi akhirnya tewas karena mereka terjebak di tengah-tengah adu tembak antara pasukan TPLF dan tentara pemerintah pada 20-24 November 2020, sebut OHCHR.

Ratusan warga sipil juga diyakini tewas akibat pembunuhan dan serangan terhadap etnis/kelompok tertentu di Mai Kadra pada 9 November 2020.

Pemerintah Ethiopia pada 28 November 2020 mengumumkan operasi militer di Tigray telah berakhir. PM Abiy mengatakan tentara pemerintah telah mengendalikan Kota Mekelle, wilayah penting di Tigray yang sebelumnya dikendalikan oleh TPLF.

Terkait pengumuman itu, pemimpin TPLF Debretsion Gebremichael melalui pernyataan tertulis, sebagaimana dikutip dari Reuters, mengatakan pihaknya tidak akan menyerah dan akan terus melawan.

"Tentu ini perkara mempertahankan hak kami untuk menentukan nasib sendiri," kata Gebremichael, seorang veteran militer dan eks tentara gerilya di Ethiopia.


Baca juga: Ethiopia tolak berunding setelah Uni Afrika umumkan tiga utusannya

Baca juga: Ethiopia tuduh dirjen WHO dukung pemberontak di Tigray

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020