Jakarta (ANTARA) - Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam lingkungan pengadilan yang di antaranya mengatur pengambilan foto, rekaman maupun video saat sidang harus seizin hakim dinilai mengekang kebebasan pers.
Pewarta Foto Indonesia (PFI) dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, menilai kebijakan yang ditetapkan Mahkamah Agung tersebut akan menghambat fungsi dan peran pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik.
"Jika semua dibatasi dan ditutupi, publik akan bisa membuat opini-opini liar terkait peraturan ini," ujar Ketua Umum PFI Reno Esnir.
Baca juga: Penerapan permanen sidang perkara pidana secara daring
Ia menegaskan kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Mahkamah Agung, kata dia, tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio mau pun video sebagai gangguan terhadap peradilan karena justru jurnalis berperan meminimalisasi praktik mafia peradilan.
Larangan mengambil foto, rekaman audio atau pun video hanya boleh pada kasus kesusilaan atau anak, kata Reno Esnir, sementara untuk kasus pidana umum dinilainya tidak relevan apabila harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim.
Baca juga: MA buat aturan korupsi di atas Rp100 miliar dapat dihukum seumur hidup
Untuk itu, PFI mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut Perma Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkup Pengadilan karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Selain itu, PFI juga meminta Mahkamah Agung memperhatikan peran jurnalis sebagai perwakilan mata dan telinga publik.
Baca juga: KPK dorong keluarnya Perma soal barang rampasan
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020