Jakarta (ANTARA) - Penempatan tenaga kerja atau pekerja migran meski acap menjadi kontroversi, namun menjadi harapan bagi pekerja, keluarganya, bahkan pemerintah Indonesia.
Diakui atau tidak, penempatan pekerja migran menjadi upaya keluarga Indonesia untuk mengubah nasibnya agar bisa keluar dari kemiskinan atau pengangguran.
Jika dibuat daftar alasan mengapa seseorang bekerja ke luar negeri, maka akan panjang. Di sisi lain pemerintah pernah memberi julukan kepada pekerja migran sebagai Pahlawan Devisa.
Bekerja di mana pun, baik di dalam maupun luar negeri, merupakan hak asasi manusia karena itu diaspora berkembang ke seluruh penjuru dunia. Dan kewajiban negara melindungi setiap anak bangsa yang bekerja secara legal dan sah di mana saja.
India merupakan salah satu negara dengan diaspora terbesar saat ini. Mereka bermigrasi dan bekerja di berbagai sektor di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang lainnya, hingga ke benua Afrika.
Di sisi lain, di dalam negeri, ada kalangan yang memandang sebelah mata perjuangan anak bangsa memperbaiki taraf hidup dan mengaktualisasi diri. Upaya memperlebar pasar kerja di timur tengah, misalnya, hingga saat ini masih menemui jalan buntu.
Pemerintah seperti kagok untuk membuka pasar kerja terbesar bagi Indonesia itu. Moratorium selama belasan tahun sepertinya berubah menjadi penghentian penempatan sama sekali, tanpa ada kemungkinan dibuka kembali.
Di sisi lain, ketika Taiwan menghentikan sementara penerimaan pekerja migran asal Indonesia di masa pandemi membuat banyak kalangan kebakaran jenggot.
Jika penempatan pekerja migran menjatuhkan marwah kemanusiaan bangsa ini, maka penempatan ke semua negara harusnya dihentikan, tetapi jika penempatan dibutuhkan untuk mengatasi pengangguran karena lapangan kerja dalam negeri masih sangat terbatas, maka semua peluang kerja manca negara hendaknya segera dibuka sehingga jika satu dua negara memghentikan penempatan sepihak maka tidak terlalu berpengaruh.
Adalah Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani pada 18 Desember 2020 melalui media mempertanyakan apakah perpanjangan penangguhan penempatan pekerja migran ke Taiwan terkait masalah politik.
Benny juga menyatakan kekecewaannya atas keputusan Taiwan yang memperpanjang penangguhan penerimaan pekerja migran Indonesia dalam jangka waktu tidak ditentukan.
Dia kecewa karena kebijakan tersebut dibuat tanpa menunggu hasil investigasi dari pemerintah Indonesia atas kasus 85 pekerja Indonesia yang dikirim 14 perusahaan penempatan dinyatakan positif COVID-19 setelah diperiksa di negara tersebut.
Baca juga: Pemerintah sayangkan keputusan Taiwan tangguhkan penerimaan PMI
Baca juga: Taiwan tolak sementara pekerja migran dari Indonesia
Pertimbangan medis
Taipei Economic and Trade Office (TETO) menyatakan Taiwan dan Indonesia memiliki hubungan bilateral yang erat. Perpanjangan periode penangguhan penempatan PMI ke Taiwan adalah semata-mata berdasarkan pertimbangan pencegahan epidemi dan tidak memiliki implikasi politik.
Pemerintah Taiwan bersedia untuk membuka kembali penempatan pekerja migran Indonesia jika kedua negara mencapai konsensus tentang langkah-langkah pencegahan epidemi.
Pekerja migran Indonesia, menurut rilis TETO di Jakarta, sudah menjadi sumber utama kasus COVID-19 dari luar (impor). Sejak 16 Oktober hingga 17 Desember 2020, telah ditemukan total 226 kasus impor, 127 orang (50 persen) diantaranya adalah pekerja migran asal Indonesia.
Dari 127 itu, 76 (60 persen) diantaranya membawa hasil pemeriksaan PCR negatif dari Indonesia, namun setelah diperiksa di Taiwan dikonfirmasi positif.
Hal ini mengejutkan dan menimbulkan perhatian serius dari masyarakat Taiwan.
Negara pulau itu juga menerima pekerja dari Filipina, Vietnam, dan Thailand, namun tidak ada kasus (nol) positif dari dua negara terakhir pada periode tersebut.
Sedangkan Filipina memiliki 34 kasus, namun hanya 4 kasus (9 persen) yang membawa hasil pemeriksaan PCR negatif dari Filipina yang terkonfirmasi positif setelah melakukan pemeriksaan di Taiwan.
Jauh lebih rendah dibandingkan proporsi 60 persen dari Indonesia. Larangan pekerja Indonesia masuk ke Taiwan semata-mata karena terlalu banyak kasus impor dari Indonesia dan tingkat perbedaan hasil pemeriksaan PCR terlalu tinggi.
Taiwan berharap Indonesia (BP2MI) memberikan rekomendasi lembaga pemeriksaan PCR (tidak lebih dari 50) dari 500 lembaga pemeriksaan yang ada agar dapat memastikan kualitas pemeriksaan dan memfasilitasi pelacakan lanjutan.
TETO menyebut Maskapai Garuda Indonesia yang merekomendasikan penumpangnya untuk menjalani pemeriksaan PCR di lembaga tertentu dengan kualitas hasil pemeriksaan yang baik.
Contoh tindakan ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi BP2MI.
Baca juga: Taiwan jelaskan pemberhentian sementara penerimaan TKI dari empat P3MI
Baca juga: KDEI Taipei data pekerja migran hendak pulang ke Tanah Air
Menanggung biaya
Pemerintah Taiwan akan terus meneliti apakah terdapat perbedaan standar dan reagen dalam pemeriksaan PCR antara Taiwan dan Indonesia, serta menilai kelayakan pemeriksaan PCR saat tiba di bandara Taiwan.
Harapannya, kedua negara bisa menyelesaikan masalah ini dengan sikap rasional, ilmiah dan kooperatif.
Taiwan menyatakan sangat ramah terhadap pekerja migran. Setelah pekerja migran masuk ke Taiwan dan terkonfirmasi COVID-19, akan mendapat perawatan medis berkualitas tinggi dan biayanya ditanggung pemerintah setempat.
Rata-rata, setiap pekerja migran yang terkonfirmasi COVID-19 akan menghabiskan biaya medis sekitar Rp400 juta. Sejauh ini sudah 127 pekerja Indonesia yang positif COVID-19 dan total biaya medis yang sudah dikeluarkan lebih dari Rp50 miliar.
Kasus impor dari pekerja Indonesia begitu besar, tidak hanya menimbulkan kepanikan di masyarakat Taiwan, tetapi juga menyebabkan beban keuangan Pemerintah Taiwan menjadi berat.
Berdasarkan pertimbangan pencegahan epidemi, sumber daya medis yang terbatas, dan keselamatan seluruh masyarakat, maka Taiwan terpaksa memperpanjang periode penangguhan penempatan pekerja Indonesia ke Taiwan.
BP2MI diharapkan dapat menyelesaikan masalah ini dengan Taiwan secara tulus dan rasional. Setelah kedua pihak mencapai kesepakatan bersama, maka Pemerintah Taiwan menyatakan bersedia membuka kembali penempatan pekerja Indonesia ke Taiwan secepatnya.
Baca juga: Indonesia harap larangan masuk PMI ke Taiwan bukan keputusan politis
Baca juga: Pemerintah harap Taiwan segera cabut penangguhan penerimaan PMI
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020