Pemerintah juga perlu mengevaluasi berbagai kebijakan subsidi pertanian. Berdasarkan penelitian CIPS di 2017 lalu, pemerintah sudah mengeluarkan anggaran senilai Rp 52,2 triliun untuk subsidi pertanian.

Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Amanta menyatakan pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan subsidi pertanian yang dinilai belum terlalu efektif mendongkrak kinerja sektor pertanian nasional.

"Pemerintah juga perlu mengevaluasi berbagai kebijakan subsidi pertanian. Berdasarkan penelitian CIPS di 2017 lalu, pemerintah sudah mengeluarkan anggaran senilai Rp 52,2 triliun untuk subsidi pertanian. Jumlah ini merupakan 2,5 persen dari total nilai APBN. Sayangnya subsidi dengan nilai fantastis ini juga dinilai tidak efektif oleh petani," kata Felippa Amanta dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.

Felippa mencontohkan subsidi pupuk, yang dinilai lebih banyak dinikmati oleh petani kaya yang memiliki memiliki lahan antara 0,75 sampai 2 hektare, padahal sasaran utama dari subsidi pertanian adalah para petani miskin.

Baca juga: Mentan luncurkan integrasi data dan RDKK NIK permudah distribusi pupuk

Ia berpendapat bahwa subsidi yang berlebihan tanpa melihat kondisi pasar justru rawan disalahgunakan karena mengundang penggunaan pupuk berlebihan yang dapat mengakibatkan pencemaran.Selain itu, hal ini juga membebani anggaran negara.

"Hal ini sejalan dengan laporan terbaru World Bank (Bank Dunia) yang menyatakan belanja publik di bidang pertanian telah digunakan untuk pemberian subsidi, dengan subsidi irigasi dan pupuk mencapai antara setengah dan tiga perempat dari keseluruhan belanja pemerintah pusat," katanya.

Menurut dia, fokus yang begitu besar pada subsidi telah mengesampingkan pengeluaran publik yang sangat dibutuhkan yang merupakan pendorong pertumbuhan kritis seperti penciptaan dan adopsi teknologi-teknologi baru, penyuluhan, pemrosesan dan pemasaran.

Baca juga: Mentan pacu produksi hingga hilirisasi beras di food estate Kalteng

Akibatnya, kebijakan sisi penawaran yang ditempuh sejauh ini belum menghasilkan peningkatan produktivitas pertanian, diversifikasi dan daya saing yang merupakan pendorong utama ketahanan pangan jangka panjang.

"Walaupun demikian, kita tetap perlu mengapresiasi perubahan paradigma pemerintah untuk mereformasi sistem pertanian dan pangan lewat UU Cipta Kerja. UU Cipta memberikan sejumlah perubahan yang memungkinkan impor sebagai salah satu sumber pemenuhan pangan dan fokus pemerintah untuk mendahulukan hasil produksi petani dan juga nelayan," tegas Felippa.

Ia mengemukakan UU Cipta Kerja juga mengakui pentingnya mengutamakan peningkatan produksi pertanian dalam negeri, alih-alih pembatasan impor, untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Hal tersebut, lanjut Felippa Amanta, diharapkan akan terwujud dalam bentuk investasi pemerintah yang semakin besar terhadap petani.

Felippa menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah sebagai strategi perlindungan petani, seperti penelitian dan pengembangan inovasi dan teknologi, penyediaan prasarana dan sarana produksi pertanian, penguatan penyuluhan pertanian, menjamin kepastian usaha lewat penyederhanaan rantai distribusi, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, asuransi pertanian dan peningkatan pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk memberikan kesempatan kepada petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas yang ditanamnya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020