Masuknya bioteknologi ke Indonesia agar kesejahteraan petani meningkat seperti petani di negara-negara lain

Jakarta (ANTARA) - Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) mengharapkan produk hasil bioteknologi atau rekayasa genetika bisa segera diterapkan di Indonesia sebagai salah satu upaya meningkatkan produktivitas hasil pertanian.

"Masuknya bioteknologi ke Indonesia agar kesejahteraan petani meningkat seperti petani di negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu menerapkan teknologi lebih awal yang di fasilitasi negaranya," Ketua KTNA Winarno Tohir di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, bioteknologi sangat dibutuhkan terutama untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian di lahan rawa atau lahan marjinal yang banyak terdapat di luar Pulau Jawa.

Dikatakannya, pertanian padi di lahan rawa tidak dapat disamakan perlakuannya dengan lahan sawah di Pulau Jawa yang kondisi pertanahannya sudah mendukung.

"Lahan rawa merupakan salah satu agrosistem yang teknologinya sangat diharapkan dan ditunggu-tunggu petani Indonesia yang berkeinginan untuk maju dan berkembang untuk meningkatkan kesejahteraan," katanya saat menjadi pembicara dalam webinar bertema “Potensi Bioteknologi Pertanian dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia”.

Webinar digelar oleh Indonesian Biotechnology Information Centre (IndoBIC), bekerjasama dengan SEAMEO BIOTROP, Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Persatuan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI) dan didukung oleh International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) sebagai upaya peningkatan pemahaman masyarakat, terhadap bioteknologi pertanian khususnya bioteknologi dalam penguatan ketahanan pangan nasional.

Winarno menyatakan pemerintah Indonesia sangat berhati-hati untuk dapat merespons masuknya bioteknologi pertanian sehingga sampai belasan tahun hingga saat ini belum dapat diterapkan oleh petani di tanah air.

Menurut dia, regulasi dan perangkatnya memang sudah disiapkan namun hanya sebagai basa-basi saja agar ada kesan serius.

Dia menjelaskan di tahun 2020, Etiopia berada di urutan ke-12 negara adi daya pertanian dan ketahanan pangan versi FSI (Food Sustainability Indeks) setelah menerapkan bioteknologi untuk pertaniannya, sedangkan Indonesia urutan 21.

"Ini menandakan Indonesia yang tertinggal jauh dibandingkan negara di Afrika yang sudah menerapkan teknologi. Semangat petani milenial lebih progresif terhadap teknologi 4.0. Dukungan Teknologi sangat diperlukan bagi pertanian Indonesia," katanya.

Sementara itu Direktur Pusat Informasi Bioteknologi Indonesia (Indobic) Bambang Purwantara menyatakan, untuk bisa memanfaatkan bioteknologi di Indonesia saat ini masih terganjal belum adanya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).

Menurut dia, berdasarkan laporan dari ISAAA, pada 2019, sebanyak 71 negara telah mengadopsi tanaman biotek sejak 1996 yang mana 91 persen dari tanaman tersebut diproduksi oleh 5 negara mega bioteknologi yaitu Amerika Serikat (AS), Brazil, Argentina, Kanada dan India.

Sementara itu, tambahnya, 190,4 juta hektar lahan yang sudah ditanami tanaman biotek dengan lima tanaman biotek utama yaitu jagung, kedelai, kapas, kanola dan alfalfa.

Direktur Seameo Biotrop Irdika Mansur menyampaikan pihaknya telah mengembangkan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi melalui rekayasa genetika atau bioteknologi yakni kayu jati, jabon, sengon, chesnut, anubias, talas satoimo, gaharu, kayu putih dan beberapa tanaman lokal langka.

"Bibit tanaman yang diproduksi oleh lab Kultur Jaringan memiliki tingkat kematian yang sangat rendah," ujarnya.

Baca juga: Penggunaan benih bioteknologi dinilai mampu hemat biaya produksi
Baca juga: Pengamat: Bioteknologi, solusi ketahanan pangan-pelestarian lingkungan
Baca juga: Prof UMM atasi pakan ternak dengan inovasi bioteknologi "5 in1"

Pewarta: Subagyo
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020