Ketika hendak naik kapal, berkas kelengkapan mereka untuk menjadi PMI ke Singapura dilihat tidak lengkap
Mataram (ANTARA) - Tim Subdit IV Bidang Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat menangani kasus pengiriman ilegal sembilan calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Singapura.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Pol Hari Brata di Mataram, Jumat, mengatakan, kasus ini terungkap ketika sembilan perempuan asal NTB itu diamankan dari Kapal Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Batam.
"Ketika hendak naik kapal, berkas kelengkapan mereka untuk menjadi PMI ke Singapura dilihat tidak lengkap," ucap Pujawati.
Karenanya, sembilan warga NTB itu langsung diamankan. Dari pengamanan-nya, turut ditangkap seorang pria berinisial IBK (43), yang diduga sebagai perekrut.
"Jadi sekarang prosesnya kita tangani untuk prosedur perekrutan-nya seperti apa," ujarnya.
Baca juga: Hari Migran, Menaker tegaskan PMI pahlawan dan duta bangsa
Baca juga: Indonesia harap larangan masuk PMI ke Taiwan bukan keputusan politis
Dari pemeriksaan sementara, didapatkan keterangan bahwa sembilan warga NTB yang akhirnya gagal bekerja sebagai PMI ilegal di Singapura itu direkrut oleh IBK pada periode Agustus 2020.
Mereka dikatakan Pujawati menerima janji bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji Rp6 juta per-bulan-nya. Berkas keberangkatannya juga dijanjikan diurus oleh IBK. Bahkan untuk berangkat ke Singapura, mereka digratiskan.
"Mereka juga dikasih uang saku Rp2 juta, yang penting bersedia berangkat," ucap-nya.
Setelah setuju, mereka kemudian diberangkatkan lebih dulu ke Batam, Kepulauan Riau pada November 2020. Namun dalam proses tersebut, IBK tidak turut serta mendampingi mereka.
"Korban hanya berkomunikasi dengan IBK melalui telepon. Mereka diarahkan untuk bertemu jaringan IBK yang ada di Batam,"
Selama di Batam, mereka ditampung di salah satu rumah, jaringan IBK. Segala fasilitas mereka dapatkan. Begitu juga dengan makan. "Tidak ada pelatihan apa pun," ucap-nya.
Kepada penyidik, para korban mengaku tidak ada yang mendapat kekerasan fisik. Namun mereka diminta untuk menandatangani perjanjian pemotongan gaji enam bulan pertama.
"Jadi setiap bulan-nya, korban hanya akan mendapatkan gaji Rp1 juta. Setelah enam bulan berjalan, baru mereka mendapatkan gaji penuh," kata Hari.
Baca juga: Kepala BP2MI sesalkan Taiwan perpanjang penangguhan penerimaan PMI
Baca juga: Litigasi lintas negara bisa diupayakan untuk tuntut hak PMI
Lebih lanjut, dari pemeriksaan IBK didapatkan sejumlah dokumen yang berkaitan dengan modal para korban untuk bekerja di Singapura. Dokumen hasil pemeriksaan kesehatan, visa, paspor, dan juga "boarding pass" para korban turut diamankan.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, kini IBK dikatakan telah berstatus tersangka dan menjalani penahanan di Mapolda NTB.
Dalam kasus ini, IBK diduga telah melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), sesuai Pasal 81 dan atau Pasal 83 Undang-Undang RI Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dengan ancaman hukuman sepuluh tahun penjara.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020