Jakarta (ANTARA) - Akademisi Ilmu Politik Universitas Nasional Profesor Syarif Hidayat mengatakan partisipasi pemilih di gelaran pemilu maupun pilkada masih minus kualitas suara.

"Adanya kecenderungan terjadi yang disebut dengan 'vote minus voice'," kata Syarif Hidayat dalam seminar bertajuk “Refleksi Akhir Tahun: Capaian Indeks Demokrasi Indonesia dan Evaluasi Pilkada Serentak 2020” yang digelar Universitas Nasional di Jakarta, Kamis.

Artinya, katanya, Indonesia memang telah berhasil menyelenggarakan pemilu, baik itu pilpres, pemilu legislatif maupun pilkada yang bentuknya demokrasi prosedural, namun minus kualitas suara.

Baca juga: Akademisi: KPU harus mendesain pemilu tanpa korban

"Kita sudah cukup berhasil melaksanakan pemilu secara prosedural dan dalam pemilu tersebut juga sudah cukup berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat 'vote', kita lihat angka partisipasi cukup tinggi rata-rata di atas 70 persen," katanya.

Tetapi suara yang dituai pada saat pemilu dengan angka partisipasi tinggi tersebut, kata Syarif, masih sangat muskil menghasilkan suara atau "voice" ketika sudah duduk di kursi kekuasaan.

"Nah itu yang kemudian akhirnya kalau di DPR yang sebagian besar anggota DPR dan DPRD kita dihantarkan oleh pemilih dengan partisipasi suara bahkan angka di atas 70 persen, tetapi setelah duduk suara konstituen yang 70 persen tadi sangat muskil disuarakan bahkan bisa saja minus," katanya.

Baca juga: Akademisi: KPU harus mendesain pemilu tanpa korban

Bahkan lanjut dirinya yang diproduksi bukanlah suara atau "voice", dalam banyak kasus malah lebih menjadi "noise" atau kebisingan.

"Jadi 'political noises', jadi kebisingan-kebisingan. Mengapa terjadi vote minus voice, kok bisa begitu besar partisipasi tetapi suara itu tidak ditindaklanjuti atau disuarakan, apakah suara tadi sudah dibeli sehingga tidak ada tanggung jawab lagi untuk menyuarakan, nah ini ke depan perlu untuk dikaji," ujarnya.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020