Jakarta (ANTARA) - Juru bicara bidang iklim dan energi Greenpeace Indonesia Bondan Adriyanu mengatakan bahwa langit biru cerah di DKI Jakarta yang terjadi akhir-akhir ini tidak berarti Ibu Kota terbebas dari polusi udara.
"Data dari Jakarta Pusat selama Januari sampai 12 Desember rata-rata tahunan (PM 2.5) itu 35, di Jakarta Selatan rata-rata tahunannya 43. Kalau kita mengacu baku mutu nasional PM 2.5, yaitu 15 mikro, artinya ini sudah melebihi baku mutu," kata Bondan merujuk data yang didapat dari pantauan kualitas udara yang dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika Serikat saat menyoroti topik tentang langit biru Jakarta di beberapa media sosial pada awal Desember ini dalam acara virtual Catatan Akhir Tahun Koalisi Ibu kota, dipantau dari Jakarta, Senin.
Baca juga: Langit biru Jakarta
Bonda merujuk pada Peraturan Pemerintah RI No 41 Tahun 1999 yang menetapkan baku mutu PM 2.5 tahunan pada 15 mikrogram (mkg) per meter kubik udara. Sedangkan standar nasional acuan adalah 0-65 mkg/meter kubik untuk kategori baik, 66-100 mkg/meter kubik untuk sedang, 101-150 mkg/meter kubik untuk tidak sehat , 151-200 mkg/meter kubik untuk sangat tidak sehat dan 200 mkg/meter kubik ke atas untuk kategori berbahaya.
Hal itu berbeda dengan acuan dari Kedutaan Besar AS atau US Air Quality Index yang memakai 0-35 mkg/meter kubik untuk udara kategori baik, 36-55 mkg/meter kubik kategori sedang, 56-65 mkg/meter kubik kategori tidak sehat, 66-100 mkg/meter kubik kategori sangat tidak sehat, serta 100 mkg/meter kubik ke atas dalam kategori berbahaya.
Bondan menegaskan bahwa langit cerah bukan berarti kualitas udara yang baik, karena berbagai faktor mempengaruhi dalam udara yang sehat. Selain itu, kondisi angin juga mempengaruhi kondisi langit.
Baca juga: DKI kolaborasi dengan swasta asing sediakan data kualitas udara
Baca juga: Konsentrasi rata-rata polusi udara Kota Bekasi lampaui Jakarta
"Apakah ketika langit biru serta merta pasti bagus kondisi udaranya dari semua polutan, mungkin perlu kita cek lagi," tegasnya.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020