Jakarta (ANTARA) - Masyarakat dunia tak akan menyangka, jika 2020 menjadi tahun terberat yang harus dihadapi bersama karena datangnya pandemi COVID-19. Tanpa terkecuali Indonesia, pandemi COVID-19 menggilas semua sektor dalam lini kehidupan manusia, salah satunya yakni sektor industri pengolahan nonmigas.
Sepanjang tahun, pemerintah bersama pelaku industri tanah air berjibaku menghadapi berbagai terpaan yang menghantam manufaktur nasional. Hal tersebut tercermin dari indeks manajer pembelian atau Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur RI sepanjang tahun.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengeluarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Kewajiban Pelaporan Bagi Perusahaan Industri dan Kawasan Industri terkait Izin Operasional dan Mobilitas Industri (IOMKI) pada April 2020.
IOMKI dikeluarkan agar perusahaan industri dan kawasan industri tetap dapat beroperasi di tengah pandemi COVID-19 sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam masa kedaruratan COVID-19.
Baca juga: Menperin ingin kenaikan PMI manufaktur RI dongkrak pemulihan ekonomi
Dalam surat edaran tersebut, perusahaan industri dan kawasan industri yang telah memiliki IOMKI, wajib menjalankan beberapa prosedur yang ditetapkan, yaitu memiliki standar operasional prosedur (SOP) penanganan COVID-19, memastikan protokol penanganan COVID-19, serta melaporkan pelaksanaan IOMKI setiap akhir minggu secara online melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas).
Selain itu, apabila terdapat pekerja yang terpapar virus COVID-19, perusahaan yang mengantongi IOMKI harus memeriksa kesehatan pekerja yang berpotensi terpapar COVID-19 dan melakukan sterilisasi area kerja yang berpotensi menjadi tempat penularan virus.
Terbitnya IOMKI dilakukan di bulan yang sama ketika perusahaan bidang informasi dan analitik IHS Markit melansir PMI manufaktur RI April 2020. Menurut data IHS Markit, PMI manufaktur RI pada April 2020 berada pada level 27,5 atau jauh di bawah angka netral yakni 50.
Diketahui, PMI manufaktur merupakan salah satu indkator yang memberikan gambaran singkat tentang kondisi bisnis di sektor manufaktur. IHS Markit menghimpun jawaban-jawaban dari kuesioner yang disebar bulanan seputar permintaan, output, ketenagakerjaan, waktu pengiriman dari pemasok, dan inventaris, yang dikirimkan kepada manajer pembelian yang tergabung dalam satu panel dan terdiri dari sekitar 400 perusahaan manufaktur.
Panel tersebut dikelompokkan berdasarkan ukuran sektor dan tenaga kerja perusahaan secara terperinci berdasarkan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tanggapan survei dikumpulkan pada minggu kedua setiap bulan dan menunjukkan arah perubahan dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Dalam membaca nilai PMI manufaktur, yang dijadikan acuan adalah indeks di angka 50. Apabila nilai PMI manufaktur Indonesia di atas 50, maka dapat dikatakan bahwa sektor manufaktur sedang mengalami ekspansi dan pertumbuhan.
Baca juga: Kemenkeu: Ini pertama kali sejak April, aktivitas manufaktur melemah
Sedangkan, apabila nilai PMI manufaktur RI berada di bawah 50, maka dapat diindikasikan bahwa sektor manufaktur di Indonesia sedang mengalami kontraksi atau perlambatan.
Terkait PMI manufaktur RI pada April 2020 yang sebesar 27,5 disinyalir terjadi lantaran menurunnya daya beli masyarakat karena datangnya pandemi COVID-19, di mana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diberlakukan.
Hal tersebut dinilai cukup sulit, karena PMI manufaktur RI tersebut berada pada level terburuk sejak pertama kali dilakukan survei, yakni April 2011.
Mengawali 2020, PMI manufaktur RI Januari berada pada angka 49,3, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya, yakni Desember 2019 yang angkanya 49,5. Angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi manufaktur Indonesia menurun pada awal tahun.
Memasuki bulan kedua, PMI manufaktur RI mencapai angka ekspansif, yakni 51,9. Menurut data IHS Markit, kenaikan PMI manufaktur Indonesia bulan Februari didorong oleh bisnis baru dan kecepatan ekspansi output. Akibatnya, sejumlah perusahaan menambahkan lebih banyak karyawan dan aktivitas pembelian.
PMI manufaktur turun tajam
Awal Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan temuan kasus pertama COVID-19. Provinsi DKI Jakarta dan beberapa wilayah lain memutuskan untuk melakukan PSBB. Sektor industri manufaktur, sebagai penggerak perekonomian diminta tetap melakukan proses produksinya melalui penerapan protokol kesehatan yang ketat. Dengan IOMKI, ribuan perusahaan industri tetap dapat beroperasi.
Namun, upaya itu tak dapat menghindarkan industri nasional dari dampak pandemi yang menerpa hampir seluruh lini. Hal tersebut mulai tercermin dari PMI manufaktur RI Maret 2020 yang mulai turun keangka 45,3, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya. Beberapa industri mengalami penurunan kapasitas produksi hampir 50 persen.
Baca juga: Menperin gembira, PMI manufaktur RI tembus level ekspansif
Tidak hanya di Indonesia, aktivitas manufaktur di Asia juga mengalami kontraksi akibat pandemi. Menurut IHS Markit, PMI manufaktur Jepang anjlok ke level 44,8. Sedangkan PMI Korea Selatan turun ke angka 44,2, yang merupakan level terburuk sejak krisis keuangan global lebih dari satu dekade lalu. Di Asia Tenggara, angka PMI manufaktur Filipina turun menjadi 39,7, terendah sepanjang sejarah. Sedangkan Vietnam merosot ke angka 41,9.
Penurunan aktivitas masyarakat terjadi semakin dalam pada April 2020, yang membuat permintaan akan produk-produk industri dalam negeri semakin rendah, hingga utilitas manufaktur merosot tajam. Indikasi tersebut membuat PMI manufaktur RI April 2020 berada dititik terendah sejak dimulainya survei pada April 2011, yakni 27,5.
Keluarnya IOMKI pada April 2020 bukan tanpa hambatan. Menurut Menperin, banyak pihak menentang apa yang dilakukan Kemenperin karena membiarkan sektor industri tetap beroperasi di tengah pandemi, meskipun dengan ketentuan protokol kesehatan yang ketat. Agus Gumiwang bahkan menyatakan bahwa Kemenperin dituding sebagai "pembunuh massal" kala itu. Namun Menperin tetap berpegangan bahwa sebagai kontributor utama perekonomian, sektor industri non-migas perlu tetap menjalankan tugasnya sebagai tulang punggung perekonomian, tanpa mengesampingkan persoalan kesehatan.
Mulai naik kembali
Memasuki Mei 2020, PMI manufaktur Indonesia mulai naik ke angka 28,6, namun masih jauh dari angka netral. andemi COVID-19 kembali menjadi penyebab umum masih rendahnya angka PMI manufaktur, yang mengakibatkan penutupan besar-besaran sektor bisnis non-utama, kemandekan transportasi, dan berkurangnya permintaan barang-barang manufaktur. Volume produksi dan permintaan baru juga menurun tajam setelah mencatatkan kontraksi terparah pada April.
Sektor industri juga masih banyak yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Hal tersebut juga bersamaan dengan pengurangan besar pada aktivitas pembelian dan inventaris input. Sementara itu, biaya input kembali naik disebabkan oleh kurangnya material dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Memasuki Juni 2020, IHS Markit mencatat PMI manufaktur Indonesia naik 10,5 poin indeks ke level 39,1. Lonjakan angka PMI tersebut diduga berasal dari kebijakan pelonggaran protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Pada periode tersebut, PMI di beberapa negara telah menembus level 50,0 seperti Vietnam (51,1) dan Malaysia (51,0). Sementara itu lima negara lainnya yang mengikuti survey PMI masih menujukkan kontraksi, seperti Filipina (49,7), Myanmar (48,7), Thailand (45,3), Indonesia (39,1) dan Singapura (38,8). Menurutnya, kondisi operasional sekotr manufaktur di Asia Tenggara secara keseluruhan terus memburuk pada akhir semester I/2020.
Angka PMI manufaktur RI terus meningkat pada Juli 2020 ke angka 46,9. Hingga pada Agustus 2020, angkanya kembali melewati level netral yakni 50,8. Hal tersebut terjadi karena operasi bisnis terus menunjukkan pemulihan di tengah pelonggaran PSBB dan aktivitas yang sempat terhenti karena pandemi virus corona.
Pada situasi ini, Menperin kembali meyakinkan bahwa keputusan Kemenperin untuk mengeluarkan IOMKI adalah sesuai untuk berkontribusi maksimal dalam menjaga keberlangsungan perekonomian nasional. Terbukti, sektor industri memberikan kontribusi terbesar pada struktur produk domestik bruto (PDB) nasional sepanjang triwulan II/2020 dengan mencapai 19,87 persen.
Setelah menyentuh angka yang menggembirakan, PMI manufaktur RI merosot meninggalkan angka netral pada September ke angka 47,2 dan naik tipis Oktober 47,8. Kondisi sektor manufaktur di Indonesia yang memburuk pada awal triwulan keempat akibat produksi dan permintaan baru yang menurun kembali di tengah-tengah tindakan penanganan berkelanjutan untuk mengontrol penyebaran COVID-19.
Adanya penurunan permintaan tersebut mengakibatkan perusahaan terus mengurangi jumlah karyawan mereka, dengan banyaknya laporan redundansi. Akibatnya, aktivitas pembelian dan tingkat inventaris juga dikurangi sehingga data harga menunjukkan tekanan margin yang lebih besar.
Memasuki akhir tahun, yakni November 2020, PMI Manufaktur RI kembali menembus angka netral yakni 50,6. Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, kinerja gemilang sektor industri tersebut didukung dengan kebijakan pelonggaran PSBB di Jakarta pada pertengahan Oktober. Artinya, pembukaan kembali jalur produksi dapat memacu penjualan dan volume output.
Kemenperin mengapresiasi sektor manufaktur dalam negeri yang menunjukkan keuletan dan mampu memanfaatkan peluang rebound dengan dukungan pemerintah. Sigit menyampaikan bahwa Kemenperin berkomitmen untuk mempertahankan posisi ekspansif tersebut seiring dengan program vaksinasi dari pemerintah.
Hal senada disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang mengatakan, industri di Indonesia mulai bergerak setelah dihantam pandemi COVID-19. Menurutnya, operasional perusahaan rata-rata menunjukkan sinyal positif karena permintaan masyarakat mulai pulih.
Untuk menjaga momentum perbaikan indeks PMI, tambah Airlangga, pemerintah akan terus memberikan dukungan kepada industri kecil menengah (IKM) dan padat karya. Pemerintah juga akan tetap memberikan dukungan dalam pembiayaan usaha, insentif fiskal, dan penyederhanaan aturan.
Sejumlah pihak berharap agar pemerintah betu-betul mampu mempertahankan tren akspansif tersebut, di mana turunnya harga gas industri dipercaya turut berkontribusi dalam pemulihan perekonomian nasional dari dampak pandemi. Adapaun pembuktian komitmen pemerintah dan pelaku industri dalam memulihkan industri dan ekonomi nasional, akan tercermin pada data PMI manufaktur RI di Bulan Desember 2020 yang akan terbit dalam hitungan hari.
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020