Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengajak masyarakat untuk ikut mengawal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang akan dibahas di parlemen.
"Kami sekarang berupaya menggalang dukungan lintas partai untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dukungan yang sama saya juga kami harapkan dari masyarakat," kata Lestari Moerdijat atau Rerie dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Hal itu dikatakannya saat menjadi narasumber dalam diskusi secara daring bertema "Kawal RUU PKS: Gerak Bersama Lindungi Generasi", Kamis (10/12).
Dia mengatakan, selain dukungan kepada para legislator di parlemen, masyarakat juga bisa memberikan dukungan di luar parlemen dengan memperkuat pemahaman tentang isi dan manfaat RUU P-KS kepada masyarakat yang tidak sependapat dengan RUU tersebut.
Baca juga: RUU penghapusan kekerasan seksual kebutuhan mendesak
Baca juga: F-PKS minta RUU HIP tidak masuk dalam Prolegnas 2021
Baca juga: Ketua MPR dukung pengesahan RUU PKS
Hal itu menurut Rerie karena masalah yang dihadapi dalam proses pembuatan RUU P-KS salah satunya adalah belum ada pemahaman publik yang luas terhadap RUU tersebut.
Dia mengakui, salah satu penyebab terhambatnya RUU P-KS disetujui DPR menjadi UU adalah karena pemahaman yang salah terhadap sejumlah pasal di dalamnya.
"Padahal RUU P-KS itu bukan hanya untuk kepentingan perempuan semata, tetapi merupakan perangkat hukum untuk melindungi seluruh warga negara," ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Dian Novita mengatakan penanganan kasus kekerasan seksual akan menghadapi kesulitan ketika memasuki proses hukum.
Dia menjelaskan, berdasarkan catatan LBH APIK, dari 46 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, hanya tujuh kasus yang sampai pada proses hukum.
"Selain itu, dari 103 kasus kekerasan seksual terhadap orang dewasa hanya 8 kasus yang masuk ke proses hukum," katanya.
Menurut Psikolog Klinis Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi menilai tindakan pelecehan tanpa kontak fisik juga sulit ditindaklanjuti, seperti pemaksaan aborsi dan pemaksaan perkawinan.
Dia mengatakan hal itu karena belum ada aturan hukum yang mengatur pelanggaran jenis kekerasan tersebut, sehingga bagaimana masyarakat bisa merasa aman.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020