Jakarta (ANTARA News) - Pasca krisis keuangan 1998, Bank Indonesia (BI) mengalami kelangkaan uang padahal kebutuhan cukup besar sehingga terpaksa mencetak uang di Singapura dan Australia, demikian mantan Direktur Peredaran Uang Bank Indonesia (BI) Herman Yoseph Susmanto, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.

Dia mengatakan saat itu (1998) Perum Peruri mengalami kelebihan kapasitas, sehingga uang pecahan Rp50 ribu seri Soeharto mesti dicetak oleh De La Rue Singapore di Singapura.

Pada saat itu Perum Peruri memproduksi maksimal 4,4 miliar bilyet uang kertas per tahun, sedangkan BI membutuhkan persedian uang hingga enam kali lipat, sehingga uang dicetak di luar negeri.

Saat itu pula masyarakat menolak uang kertas seri Soeharto sehingga BI harus mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk terhadap potensi kelangkaan yang lebih parah, ditambah kekhawatiran Y2K (kekhawatiran gangguan sistem komputer karena pergantian milenium) sehingga bank sentral menaikkan cadangan "bank notes"-nya cukup signifikan.

"Hal ini mengakibatkan harga bank notes dari semua pemasok mengalami peningkatan cukup besar," kata mantan direktur peredaran uang BI yang bertugas pada 1999 itu.

Situasi tersebut membuat pimpinan BI memutuskan untuk menerbitkan pertama kali pecahan Rp100 ribu dengan gambar Soekarno-Hatta yang sangat diterima masyarakat.

Susmanto mengatakan bahwa pimpinan BI memilih antara dua alternatif menggunakan bahan katun (kertas) atau polimer (plastik).

BI memutuskan memakai bahan polimer karena pertimbangan harga katun yang meningkat, banyaknya pemalsuan uang kertas berbahan katun, sementara bahan polimer sulit dipalsukan dan usia edanya empat kali dibanding berbahan katun.

Susmanto mengatakan polimer juga dipakai berbagai negara seperti Selandia Baru, Australia, dan Kanada, sehingga memberikan pembanding dan data tentang harga.

"Jadi, atas dasar studi inilah, antara lain harga kertas polimer Rp100 ribu dipertimbangkan," katanya.

J008/B012/AR09

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010